Makmur (41), nelayan yang baru pulang dari mencari ikan di Pulau Buru mengaku, terjadi penurunan hasil tangkapan.
Tahun-tahun sebelumnya, dia bisa mendapat ikan 3 sampai 4 ton, sekarang hanya bisa dapat 1 ton.
Dia biasa mencari ikan sampai Laut Buru dan Pulau Taliabo, Maluku Utara. Cuaca yang tidak menentu tidak menjadi kendala dalam melaut.
Penurunan hasil tangkapan ikan, kata Makmur, disebabkan oleh adanya kapal nelayan dari luar Sulawesi Tenggara.
"Kapal mereka hampir sama ukurannya dengan kapal kami, tapi mereka banyak dan tangkap ikan pakai perahu kecil yang sudah disiapkan. Baru ikannya masih segar dan mereka jual ikan dengan harga murah, jadi otomatis kita juga mengikuti," ungkap Makmur.
Dia mengatakan, sistem kontrak yang selama ini dilakukan para nelayan tidak bisa dihindari.
"Kan ada bos tempat kami ambil modal dulu. Biasanya dipotong 12 persen dari harga ikan, tangkapan kami," terangnya.
Makmur mengaku, selama ini perhatian pemerintah terhadap nelayan masih kurang, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Dia mengungkapkan, pernah bermohon bantuan ke dinas perikanan dan kelautan kota Kendari, namun hingga saat ini tidak ada respons.
"Pernah saya masukkan proposal, tidak ada tanggapan sampai sekarang. Bahkan ada yang dapat bantuan, tapi bukan nelayan, mungkin karena dia dekat dengan pejabat di sana," terangnya.
Bantuan yang diterima warga tersebut, lanjut Makmur, berupa kapal tapi sekarang tidak jelas karena dia sewakan ke orang lain dan mungkin tidak saling percaya akhirnya kapal bantuan itu tidak bisa digunakan lagi.
Suardi (56), nelayan asal Kelurahan Talia, Kecamatan Abeli, kota Kendari terpaksa berhenti melaut karena tak sanggup lagi membiayai izin kelayakan kapalnya.
Biaya pengurusan izin kapal sampai jutaan, sementara kapal yang dimiliki hanya 18 gros ton.
Sesuai aturan kapal miliknya tidak butuh dana banyak, tapi faktanya dia harus mengeluarkan biaya.
Baca juga: Nelayan Minta Bantuan Alat Tangkap, Pemkab Flores Timur: Tak Bisa Langsung Dipenuhi
Saat ini, kapal miliknya sudah dua tahun tidak memiliki izin kelayakan.
Suardi mengaku, sejak pandemi Covid-19 tak lagi melaut. Selain hasil tangkapan yang menurun, biaya operasional dan logistik di laut menjadi kendala.
"Bosnya kita sudah tidak mau mi kasih ongkos karena selalu berutang, tidak sesuai hasil dengan penjualan. Baru saingannya kapal- kapal besar dari selatan, sementara kapal kami punya kapal tradisional, kapal tonda," tutur Suardi.