Ayah tiga anak itu bercerita, pekerjaan sebagai nelayan dimulai pada 1995, setelah lulus SMA.
Sebagai nelayan, Muliadi sudah cukup merasakan pahitnya kehidupan, mulai dari minimnya hasil tangkapan dan harus bertarung nyawa di tengah laut yang ganas.
Ia mengatakan, dari tahun ke tahun hasil tangkapan ikan mengalami penurunan.
Sebelumnya, ia bersama rekan nelayan lain bisa membawa pulang ikan 2 sampai 4 ton, namun sekarang hanya bisa dapat 1 ton sampai 700 kilogram.
"Tahun 2000-an awal saya pernah sendiri melaut ke Pulau Bacan, Maluku Utara, sampai dapat ikan 3 ton. Tapi sekarang setelah banyak rumpon dan kapal besar (Pagai) semakin berkurang mi hasil tangkapan," tuturnya.
Baca juga: Kampung Nelayan Semarang Dipenuhi Sampah Plastik Kiriman
Selain itu, wilayah tangkapan nelayan tradisional juga semakin jauh, dan kapal berkapasitas besar dari luar Sulawesi Tenggara juga menjadi kendala.
Muliadi menjelaskan, dulu bisa mendapat ikan di perairan Pulau Saponda, Kabupaten Konawe dan Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan.
Sekarang para nelayan harus mencari ikan sampai ke Pulau Taliabo, Maluku Utara.
"Penyebabnya ikan sudah tidak masuk ke perairan Kendari, sebab sudah banyak orang pasang rumpon dan setiap hari dilingkar jadi ikannya tidak masuk mi ke perairan dekat Kendari," kata Muliadi.
Soal cuaca yang tak menentu, Muliadi mengaku tetap pergi melaut karena hal itu sudah menjadi resiko nelayan.
Terkait sistem kontrak, dia menyebutkan hal itu tidak bisa dihindari, sebab nelayan juga membutuhkan modal besar untuk logistik selama di laut.
"Kami ada bos yang bisa kasih modal awal selama melaut. Kan kita cari ikan biasanya sampai 13 hari, setelah dapat ikan kita langsung bawa mi ke bos yang ada di pelelangan di Kendari," ujarnya.
Baca juga: Kelangkaan Solar Tekan Nelayan, KKP Tambah Stasiun BBM dan Kuota Solar ke Pertamina
Hasil tangkapan sebenarnya bisa menutupi biaya operasional selama di laut, dan sedikit membantu kebutuhan di rumah.
Namun, sebelum pergi melaut, para nelayan terlebih dahulu mengurus izin kelayakan kapal yang diperbarui setiap tiga bulan.
Biaya pengurusan administrasi izin kelayakan ini menjadi masalah buat nelayan.
"Urusnya lewat agen di kantor Syahbandar, biayanya sampai Rp 1,3 juta. Sementara di daerah lain tidak segitu, pernah saya ke Sinjai, nelayan di sana urus izinnya tidak sampai ratusan ribu, dan berlaku sampai 6 bulan, apalagi kapal kami tidak sampai 35 GT," ungkapnya.