Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Perempuan Positif HIV di Papua, Masih Ingin Hidup dan Melihat Anak Beranjak Dewasa

Kompas.com - 04/12/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

"Reagen ini selama satu tahun terakhir kosong, baik di puskesmas maupun di rumah sakit, sebenarnya ini di seluruh Indonesia," ujar Siti.

"Kalau pun ada, kami suruh pasien pergi ke klinik swasta dan itu bayarnya mahal, Rp300 ribu. Jadi yang mampu saja yang bisa. Jadi ini juga dilema, jadi akhirnya pasien tidak bisa didiagnosis," aku Siti.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa sejak pandemi - bukan hanya program HIV, tapi hampir semua program-program esensial, termasuk tuberculosis, imunisasi, dan malaria - "sedikit terganggu".

"Di sisi lain, masyarakat juga agak sedikit takut untuk datang ke layanan fasilitas kesehatan, karena takut tertular Covid dan isu-isu lain, bahwa nanti malah terpapar dan sebagainya. Jadi ini memang tantangan-tantangan yang kita hadapi," kata Nadia.

Baca juga: 4 Perbedaan HIV dan AIDS yang Perlu Diketahui

Strategi pelayanan di tengah pandemi

Betapapun, Nadia menegaskan bahwa pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.

Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.

Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.

"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," katanya.

Bagi mereka yang khawatir untuk mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengakses obat, Nadia mengatakan, petugas di layanan kesehatan akan mengirim obat tersebut.

Baca juga: 8 Tahun Didiagnosis dengan HIV, Seorang Wanita Mampu “Sembuh” dari Virus Secara Alami

"Atau alternatif kedua, kalau dia punya dampingan, artinya punya teman-teman kelompok dukungan sebaya, melalui kelompok dukungan sebaya inilah dititipkan obatnya untuk dipastikan juga bahwa mereka betul-betul minum obat," ujar Nadia.

Adapun, bagi ODHA yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan - seperti pemeriksaan CD4 (tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi sistem imun orang dengan HIV) atau viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) - mereka bisa tetap menjalani pemeriksaan sebagaimana mestinya di fasilitas kesehatan, dengan protokol kesehatan yang ketat.

Strategi pelayanan semacam itu, juga diterapkan di RSUD Jayapura, ujar Siti Soltif, perawat di rumah sakit tersebut.

Baca juga: 11 Tahun Hidup dengan HIV/AIDS, Emu Dirikan Rumah Singgah untuk ODHA, Ini Ceritanya

"Jadi obat saya kasih umpamanya biasanya satu bulan, kita kasih jadi dua bulan. Kalau dia sangat sehat sekali dan rumahnya jauh, kita kasih tiga bulan." katanya.

"Tapi kalau yang ada keluhan, ya seperti biasa, ada yang satu minggu, dua minggu, tergantung kebutuhan. Yang pasti dengan adanya pandemi ini, pelayanan kami tetap jalan."

Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan pemberian obat multi-bulan, atau dikenal dengan istilah WHO multimonth dispensing, adalah "sebuah pendekatan yang sangat baik".

Ia mengatakan, metode ini sudah dijalankan di luar negeri sebelum Covid, dengan tujuan agar pasien-pasien yang dinilai sudah stabil, artinya mereka sudah tidak lagi banyak membutuhkan monitor dari dokter setiap bulan, itu bisa diberikan obat setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali.

Baca juga: Kisah Pria di NTT Divonis Sisa Hidup Hanya 3 Hari akibat HIV/AIDS

"Tujuannya supaya jelas itu memangkas biaya, memangkas waktu. Juga kita tahu bahwa masih tinggi stigma dan diskriminasi di lapangan, kalau dia semakin jarang ke layanan kan semakin baik. Jadi sebenarnya ini strategi yang disarankan WHO," kata Aditya.

Belum ada 'greget' tangani HIV/AIDS di Papua

Ibu hamil dan bayi diperiksa di RS pada 3 Oktober 2009 di Merauke, PapuaULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Ibu hamil dan bayi diperiksa di RS pada 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua
Kesehatan adalah salah satu dari empat bidang prioritas dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, selain pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur.

Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 triliun pada 2020 kemarin.

Dana Otsus itu, diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Alokasi anggaran kesehatan yang sebelumnya dialokasikan sekurang-kurangnya 15% dalam Undang-Undang Otsus Papua, kini direvisi menjadi 20% dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua jilid II.

Baca juga: Orang dengan HIV/AIDS hingga Transpuan Antusias Ikut Vaksinasi di Kota Serang

Akan tetapi, menurut mantan kepala dinas kesehatan Papua, Aloysius Giay, dalam implementasi Otsus Papua jilid I, "hanya beberapa kabupaten yang bisa mencapai minimal 15%.

"Di kabupaten tertentu, anggaran di bidang kesehatan kadang-kadang 10%, 8%. Yang mencapai 15% ke atas itu sedikit.

"Pada kabupaten tertentu, saya tidak melihat program prioritas menjawab masalah masyarakat, apalagi yang menghilangkan nyawa masyarakat seperti HIV/AIDS, malaria, atau kurang gizi."

"Saya lihat belum greget untuk menangani ini tuntas secara luar biasa," ungkap Aloysius.

Lantas, bagaimana anggaran kesehatan itu terimplementasi dalam penanganan HIV/AIDS di Papua?

Baca juga: Selama Pandemi, Layanan HIV/AIDS di Jabar Dilakukan Terbatas

Siswa dididik tentang HIV/AIDS di sebuah sekolah pada tanggal 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua.ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Siswa dididik tentang HIV/AIDS di sebuah sekolah pada tanggal 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua.
Aloysius mengungkapkan bahwa dana Otsus untuk instansi dinas kesehatan dan rumah sakit terbilang sedikit. Sebab, dana tersebut lebih banyak untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah.

"Sehingga ya paling di dinas kesehatan itu dulu kita sifatnya hanya bimkes, evaluasi. Hanya itu, tidak ada langsung tindakan ke masyarakat."

Adapun, pada akhir Oktober silam, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Yanuel Matuan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah AIDS Papua tahun 2019 oleh Kejaksaan Tinggi Papua.

Kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 miliar itu diduga dilakukan dengan modus pembelian obat oleh Ketua KPA Papua pada tahun 2019.

Baca juga: Pasien Pertama AIDS Diklaim Tentara Perang Dunia I yang Kelaparan

Akan tetapi, obat tersebut memiliki izin edar dan tanpa melalui proses lelang.

Siti Soltif menganggap KPA Papua "mati suri" selama beberapa tahun terakhir. Sebab, dana yang semestinya digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, justru disalahgunakan untuk membeli obat yang efektivitasnya dipertanyakan.

"Dana yang dikucurkan ke KPA untuk kepentingan penanggulangan, disalahgunakan untuk membeli obat MLM Purtier Placenta. Jadi pasien dikejar untuk minum Purtier Placenta, padahal kita sudah punya ARV," terang Siti.

Jika sebelumnya KPA memfasilitasi sejumlah program dan pelatihan untuk ODHA, lanjut Siti, kini program-program tersebut tak ada lagi.

Baca juga: Bayang-bayang AIDS di Papua Saat Pandemi Corona...

Ilustrasi HIV/AIDSthinkstock/vchal Ilustrasi HIV/AIDS
"Dana itu digunakan oleh segelintir orang di KPA untuk kepentingan mereka," kata Siti.

Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah pusat hanya bisa memberikan petunjuk, dan mensinkronkan program di pemerintah pusat dengan program prioritas di daerah, baik di provinsi dan kabupaten kota.

"Saya rasa pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten kota, sudah sangat paham bahwa HIV/AIDS itu adalah masalah yang memang harus menjadi prioritas di Tanah Papua karena melihat angka kejadian baik kasus HIV, juga kasus AIDS. Kasus AIDS terjadi karena kita sering terlambat," katanya.

Nadia melanjutkan bahwa pemerintah pusat telah mewajibkan kabupaten dan kota melakukan testing secara rutin kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten kota.

Baca juga: Kisah Rizti, 9 Tahun Dampingi Suami Pengidap HIV/AIDS, hingga Bangun Komunitas Pita Merah

"Ini harapannya kalau kita bisa melakukan testing dengan dini, kita bisa segera mendapatkan kasus orang dengan HIV/AIDS lebih dini," katanya.

Akan tetapi, Agustinus Adil, yang telah lama berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS di Papua, mengatakan kendati alokasi dana untuk kesehatan tersedia, namun seringkali tak dibarengi dengan ketersediaan alat kesehatan, seperti keterbatasan ketersediaan reagen untuk pengetesan HIV yang terjadi beberapa bulan terakhir.

"Yang penting ada reagen. Daripada penanganan sudah baik tiba-tiba terkendala dengan [tidak ada reagen] itu artinya tidak mencapai sasaran."

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.

Laporan tambahan untuk tulisan ini oleh wartawan Alfonso Dimaradi Jayapura.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

6 WNI Jadi Tersangka Penyelundupan WN China ke Australia

6 WNI Jadi Tersangka Penyelundupan WN China ke Australia

Regional
Korban Tungku Meledak di Lampung Bertambah Jadi 4 Orang, Polisi Selidiki Penyebabnya

Korban Tungku Meledak di Lampung Bertambah Jadi 4 Orang, Polisi Selidiki Penyebabnya

Regional
Pilkada Demak: Dua Orang Mendaftar ke Gerindra, Ada yang Diantar Klub Sepak Bola

Pilkada Demak: Dua Orang Mendaftar ke Gerindra, Ada yang Diantar Klub Sepak Bola

Regional
Nekat Rebut Kalung Emas Lansia, Jambret di Brebes Babak Belur Dihakimi Massa

Nekat Rebut Kalung Emas Lansia, Jambret di Brebes Babak Belur Dihakimi Massa

Regional
Mawar Camp Gunung Ungaran di Semarang: Daya Tarik, Aturan, dan Harga Tiket

Mawar Camp Gunung Ungaran di Semarang: Daya Tarik, Aturan, dan Harga Tiket

Regional
Tak Hafal Lagu Indonesia Raya Saat Bikin KTP, Gadis di Nunukan Mengaku Dilecehkan ASN Disdukcapil

Tak Hafal Lagu Indonesia Raya Saat Bikin KTP, Gadis di Nunukan Mengaku Dilecehkan ASN Disdukcapil

Regional
Sabtu, Wali Kota Semarang Bakal Daftar Pilkada 2024 di DPC PDI-P

Sabtu, Wali Kota Semarang Bakal Daftar Pilkada 2024 di DPC PDI-P

Regional
Polisi Tangkap Preman yang Acak-acak Salon Kecantikan di Serang Banten

Polisi Tangkap Preman yang Acak-acak Salon Kecantikan di Serang Banten

Regional
Rumah Pembunuh Pelajar SMK Diserang Puluhan Massa Bersenjata Parang

Rumah Pembunuh Pelajar SMK Diserang Puluhan Massa Bersenjata Parang

Regional
Maju Bakal Calon Wakil Wali Kota Semarang, Ade Bhakti Mendaftar ke PDI-P

Maju Bakal Calon Wakil Wali Kota Semarang, Ade Bhakti Mendaftar ke PDI-P

Regional
Teka-teki Pria Ditemukan Terikat dan Berlumpur di Semarang, Korban Belum Sadarkan Diri

Teka-teki Pria Ditemukan Terikat dan Berlumpur di Semarang, Korban Belum Sadarkan Diri

Regional
Menikah Lagi, Pria di Sumsel Luka Bakar Disiram Air Keras oleh Istrinya

Menikah Lagi, Pria di Sumsel Luka Bakar Disiram Air Keras oleh Istrinya

Regional
Duduk Perkara Rektor Unri Laporkan Mahasiswa yang Kritik Soal UKT

Duduk Perkara Rektor Unri Laporkan Mahasiswa yang Kritik Soal UKT

Regional
Truk Dipalak Rp 350.000 di Jembatan Jalinteng, Polisi 'Saling Lempar'

Truk Dipalak Rp 350.000 di Jembatan Jalinteng, Polisi "Saling Lempar"

Regional
9 Orang Daftar Pilkada 2024 di PDIP, Tak ada Nama Wali Kota Semarang

9 Orang Daftar Pilkada 2024 di PDIP, Tak ada Nama Wali Kota Semarang

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com