Bagi Jekek, buku yang ditulis anak semata wayangnya itu menjadi refleksi bagi dirinya sendiri.
Terlebih saat Jekek masih kecil hingga sekarang belum pernah merasakan kasih sayang seorang bapak.
“Itu merefleksikan banyak waktu masa kecil saya yang hilang. Saya lahir dari keluarga yang pincang artinya saya lahir dari keluarga yang tidak utuh. Sampai saat ini saya belum pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Maka saat ruang bawah sadar saya kesentuh masalah itu pasti saya pasti lemah,” ungkap Jekek.
Bagi Jekek, protes yang dituangkan Nugrah dalam bukunya menggambarkan menjadi orangtua yang utuh tidak semudah yang dibayangkan.
Apalagi setiap harinya, Nugrah lebih banyak tinggal dengan istrinya di Yogya.
Sementara Jekek lebih banyak disibukkan dengan urusan pekerjaannya sebagai Bupati Wonogiri.
"Nugrah sukses mengkritik orangtuanya dengan menorehkan kegalauannya dan bentuk protesnya dalam bentuk buku. Tulisan sederhana ini jadi satu momentum buat keluarga untuk melakukan autokritik ada konsekuensi logis saat ayah menjabat bupati. Ada konsekuensi mahal yang harus dibayar waktu. Saya tidak bisa menemani tumbuh kembang anak saya," ungkap Jekek.
Baca juga: Kompas Gramedia dan Kalbe Farma Gelar Vaksinasi di Bantul
Kendati demikian, Jekek selalu memberikan ruang berdiskusi bagi istri dan anaknya sehingga keluarganya dapat memahami kesibukannya bekerja sebagai seorang kepala daerah.
“Kita melihat Nugrah menuangkan kegalauan, cerita dan harapannya pada sebuah buku. Bagi saya ini satu hal yang harus saya renungkan. Hampir saja sedikit merasakan kesedihan waktu kecil. Masa tumbuh Nugrah itu tidak punya waktu yang ideal karena jabatan dan tanggung jawab saya (sebagai bupati Wonogiri),” ungkap Jekek.