TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 berimbas kepada semua sektor perekonomian, tak terkecuali pembudidaya ulat sutera dan pembuat kain tenun sutra di Karanganyar 2, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya.
Kain sutra yang dulunya bisa menghasilkan uang Rp 15 juta per minggu, saat pandemi ini menurun drastis.
Sekarang, dapat uang Rp 5 juta dalam waktu dua minggu saja sudah sulit.
Baca juga: Cara Hotel di Blitar Bertahan di Tengah Pandemi, Buka Layanan Cuci Mobil hingga Tes Covid-19
Namun pembudidaya ulat sutera dan pembuat kain sutra yang tergabung dalam Kelompok Tani Mardian Putera, tak tinggal diam.
Mereka terus berinovasi untuk menghasilkan pendapatan.
Caranya, mereka mengolah daun murbei yang dijadikan pakan ulat sutera, menjadi teh murbei.
Baca juga: Bertahan di Masa Pandemi, Mantan Chef Hotel Buka Warung Makan Rumahan
Selain itu, mereka juga menjual batang pohon murbei.
"Kami juga ada bantuan dari PT PGE (Pertamina Geothermal Energy) Area Karaha," kata Ketua Kelompok Tani Mardian Putera, Kholib saat ditemui di tempat pembuatan tenun sutra di Kampung Karanganyar 2, Rabu (15/9/2021).
Baca juga: Kisah Siboen, YouTuber Lulusan SD Berpenghasilan Capai Rp 150 Juta per Bulan (1)
Dia menceritakan, sejak tahun 1997 sudah mengenal tanaman murbei. Tanaman itu, sudah ditanam sebelumnya oleh orang tua di kampungnya.
Sejumlah warga kemudian menggeluti usaha benang sutra. Hal ini mengingat banyaknya pakan ulat sutera di kampungnya.
"Tahun 2006 kita mulai ada tenun. Jadi pemanfaatan kepompongnya dibikin benang, kita bikin tenun sutra," jelas Kholib.
Baca juga: Saat Penjual Gorengan hingga Pedagang Minuman Kibarkan Bendera Putih…
Mereka lalu membentuk kelompok pembudidaya dan perajin tenun. Awalnya hanya beberapa orang yang punya alat tenun.
"Saat itu baru tiga orang perajin. Sekarang ada 11 perajin yang punya tenun. Ada bantuan dari PT PGE," jelas Kholib.
Dulu sampai tak bisa penuhi pesanan, saat pandemi pesanan sulit
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, usaha kain tenun mereka terbilang lancar. Banyak pesanan yang datang. Bahkan mereka tak sanggup memenuhi pesanan itu.
"Awal dapat bantuan, pasar sangat bagus. Dari 11 perajin tak sanggup memenuhi pesanan," kata Kholib.
Saat itu, total para perajin memiliki 40 alat tenun. Rata-rata, setiap alat menghasilkan dua potong kain sutra per minggunya. "Jadi bisa 80 potong kain per minggu," jelasnya.
Saat terjadinya pandemi, usaha tenun sutra mulai terkena dampak. Pesanan yang mayoritas berasal dari Jakarta, berkurang.
"Juni-Juli kita di-nol (tak ada pesanan). Baru awal Agustus ada pesanan lagi," kata Kholib.
Dia menambahkan, tahun 2020 dan awal 2021, pihaknya kembali mendapat bantuan berupa modal kerja, bahan baku benang, penanaman murbei hingga perbaikan kandang ulat sutera.
Saat ini, para perajin tetap memproduksi kain sutra. Hanya saja produksinya tidak maksimal mengingat berkurangnya pesanan.
"Kendalanya kita masa pandemi sejak 2020, jadi pasar ada tapi terbatas. Jadi sekarang, kita dalam kondisi bertahan," kata Kholib
Kain sutra dipesan desainer beken
Untuk memasarkan produk kain tenun sutra, Kholid dan anggota kelompoknya mengikuti sejumlah even yang digelar di Bandung maupun Jakarta. Dari mengikuti even tersebut, produk kain tenun mereka mulai dikenal desainer.
"(Dipesan) Itang Yunaz, Harry Ibrahim, karena kita sering ikut pameran," kata Kholib.
Harga kain sutra produksi warga Kampung Sutra Karanganyar bervariasi. Menurut Kholib, kain sutra sulam satu stel ada yang dibanderol Rp 1,6 juta.
Jenis kain sutra yang diproduksi baru empat jenis, yakni sulam, bulu, organdi dan bulu batang. "Rata-rata beli jenis bulu, karena harga enggak terlalu mahal. Di kisaran Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu per potong," kata Kholib.
Olah daun murbei menjadi teh
Di saat kondisi sulit, karena pesanan berkurang, Kholib dan kelompoknya tak tinggal diam. Mereka kemudian mengolah daun murbei menjadi teh.
"Daun kita pakai pakan ulat. Namun masih banyak sisa. Kita manfaatkan pucuknya untuk teh murbei," kata Kholib.
Selain teh, lanjut dia, ada juga konsumen yang mau beli daunnya saja. Mereka kemudian mengolah sendiri daun tersebut.
Selain daun, Kholib dan anggota kelompok juga menjual batang pohon murbei. Murbei ditanam dengan cara stek, sehingga batangnya bisa dijual dan ditanam kembali.
"Bulan April kemarin ada pesanan dari Bali, kemudian dari Lampung," kata Kholib.
Dihajar Krismon dan Pandemi Covid-19
Goverment & Public Relations PGE Area Karaha, Asmaul Husna menyampaikan, pembudidaya ulat sutera di kampung tersebut awalnya terkena krisis moneter tahun 1997. Warga kampung kemudian memilih bekerja di luar kota.
"Jadi mereka sebenarnya desa yang sudah tersentra untuk sutra. Teman dari Kabupaten Garut, mengambil sutra dari mereka. Namun mereka kena krisis moneter, down sama sekali," kata Asmaul Husna.
Pihaknya kemudian memberikan bantuan kepada warga kampung itu agar usaha yang sudah ada bisa dihidupkan kembali. Bantuan saat itu, berupa ulat sutera, hingga peremajaan alat tenun. "Usaha mereka kembali berjalan," ucapnya.
Kini, saat pandemi Covid-19, perajin tenun itu terkendala bahan baku. Oleh karenanya PT PGE area Karaha memberi bantuan berupa bibit, pupuk untuk murbei, hingga perbaikan rumah ulat sutera.
"Sekarang mereka sudah mandiri bahan baku, sudah ada lahan murbei. Mereka bisa mandiri untuk pengadaan benang sutera," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.