Keunikan kubur milik Umbu Mehanguru Mehataku
Hampir semua kubur batu megalitikum di Kabupaten Sumba Timur berada di tengah pemukiman warga.
Namun, kubur milik Umbu Mehanguru Mehataku berada di tengah hutan.
Pada zaman dahulu, hutan tersebut merupakan kampung yang menjadi tempat tinggal warga Suku Tabundung.
"Uniknya, kuburan ini terdapat di bawah pohon beringin. Akar dari pohon beringin ini, sebagiannya tumbuh ke dalam tanah dan sebagian lagi menutupi atau menyelubungi kuburan Umbu Mehanguru Mehataku. Seakan-akan akar dari pohon beringin tersebut melindungi kuburan itu," ungkap Yudi.
Kemudian, terdapat sejumlah tiang rumah adat yang masih berdiri kokoh di lokasi itu. Tiang tersebut berupa batang kayu yang sudah keras.
Selain tiang rumah, ada juga sekitar puluhan kubur batu megalitikum di sana.
"Relief ikan itu bagian dari motif kuburan bagi Umbu Mehanguru Mehataku. Motif tersebut khusus bagi seseorang yang memiliki tautan sejarah masyarakat tradisional," kata Yudi.
"Dipakai relief ikan karena ada hubungannya dengan Ritual Karaki di wilayah sana, yaitu di Desa Wahang, Kecamatan Pinupahar," Yudi menambahkan.
Baca juga: Sebuah Gudang di RSUD Umbu Rara Meha Sumba Timur Ludes Terbakar
Ritual Karaki
Kata Karaki berasal dari ungkapan "Wiri Bara Rau Karaki” yang dimaknai sebagai perintah leluhur untuk tidak melakukan kegiatan apa pun dalam masa tertentu, terutama mengambil hasil alam.
Bagi masyarakat Desa Wahang dan sekitarnya, salah satu wujud penghormatan kepada Sang Pencipta adalah dengan melaksanakan Ritual Karaki.
Karaki adalah sebuah bentuk kearifan lokal tentang pelestarian lingkungan. Prosesi Ritual Karaki dimulai sejak tanggal 31 Desember hingga Maret.
Pada periode tersebut seluruh masyarakat dilarang untuk mengambil hasil alam.
Mereka berpantang untuk makan dari hasil kebun, mengambil hasil laut, dan tidak diperkenankan untuk menggelar adat perkawinan.
"Pada masa tersebut, para tokoh adat melakukan berbagai persiapan seperti sirih pinang, babi, kambing, ayam, tali yang terbuat dari kulit kayu serta daun kelapa, dan lain-lain," jelas Yudi.
Setelah itu, masyarakat melalui petunjuk tokoh adat diperbolehkan untuk menangkap ikan pada saat yang telah ditetapkan menurut perhitungan bulan.
"Pada hari pelaksanaan yang ditentukan melalui perhitungan bulan purnama itu tiba, para ratu (pemimpin ritual) melakukan prosesi hamayang (ritual adat) yang menandakan berakhirnya larangan tersebut," ungkap Yudi.
Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali
Tahapan prosesi itu dimulai dengan hamayang di Desa Wahang. Hal itu ditandai dengan pemotongan hewan kurban, biasanya ayam.
Setelah itu, masyarakat dan para pemimpin ritual menuju ke lokasi Karaki di pinggir laut.
Mereka menyimpan sirih pinang (banjal pahappa) di beberapa tempat tertentu sebagai wujud penghormatan kepada leluhur.
Kemudian, ada kegiatan menjala ikan di tempat yang telah ditentukan (waikaba).
Hasil ikan yang terbaik dari tangkapan pada saat itu akan diberikan kepada para ratu untuk selanjutnya dipersembahkan kepada leluhur.
"Keesokkan harinya, para ratu mempersiapkan tali cukup panjang dan pada jarak tertentu (pada tali tersebut) diikat daun kelapa yang masih muda untuk dibentangkan melingkar sepanjang area penangkapan ikan," jelas Yudi.
Kemudian dilakukan hamayang dengan media berupa telur ayam, ayam, kambing, dan babi.
Para ratu akan memprediksi hasil tangkapan dengan melihat kondisi hati hewan kurban tersebut.
Selanjutnya, masyarakat diperkenankan untuk menangkap ikat pada saat air laut surut dan setelah mendapat ijin dari para ratu.
Baca juga: Jejak dr Soetomo di Desa Ngepeh Nganjuk