Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Reti Iyang, Kuburan Batu Megalitikum dengan Relief Ikan di Sumba Timur dan Kisah Umbu Mehanguru Mehataku

Kompas.com - 21/08/2021, 06:30 WIB
Kontributor Sumba, Ignasius Sara,
Pythag Kurniati

Tim Redaksi

WAINGAPU, KOMPAS.com - Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang masih merawat tradisi megalitikum.

Mengutip pemberitaan Kompas.com pada 6 April 2021, istilah megalitikum berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang artinya batu.

Oleh karena itu, zaman megalitikum biasa disebut dengan zaman batu besar, di mana masyarakatnya menggunakan peralatan dari batu yang berukuran besar.

Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali

Kepala Bidang Destinasi dan Industri Pariwisata pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur Yudi Umbu T T Rawambaku menyebutkan, Sumba adalah negeri seribu megalitik.

"Bali dikenal sebagai Negeri 1.000 Pura, Lombok dikenal sebagai Negeri 1.000 Masjid, dan Sumba adalah Negeri 1.000 Megalitik," kata Yudi kepada Kompas.com, di Waingapu, Kamis (19/8/2021).

Sebutan itu bukan tanpa dasar. Beberapa kubur batu megalitikum pun hingga kini banyak dijumpai tersebar di empat kabupaten yang berada di wilayah Sumba.

Mulai dari Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya.

Mengenal kubur batu megalitikum di Kabupaten Sumba Timur

Situs kubur batu megalitikum dapat dijumpai di beberapa lokasi di Kabupaten Sumba Timur.

Antara lain, Praiyawang- Rende di Kecamatan Rindi dan Kampung Raja Prailiu, Kecamatan Kambera.

Kemudian ada juga Kampung Lailara, Kecamatan Katala Hamu Lingu dan Kampung Umabara di Kecamatan Umalulu, dan Kampung Lewa Paku di Kecamatan Lewa.

Situs kubur batu megalitikum juga terdapat di Kampung Mondu dan Kampung Prainatang, Kecamatan Kanatang.

Yudi menjelaskan, pada kuburan anggota keluarga maramba (bangsawan) biasanya terdapat relief hewan.

"Biasanya kuburan bangsawan itu reliefnya ayam, buaya, kura-kura, dan kuda. Motif atau relief itu melambangkan kebesaran. Misalnya buaya disebut Ana Wuya Rara. Kemudian, kura-kura disebut Ana Karawulang," ungkap Yudi.

Baca juga: Ritual Barong Wae di Manggarai, Harmonisasi dengan Sang Pencipta, Alam, Leluhur, dan Roh Penjaga Mata Air

Kubur batu di Kampung Raja Prailiu, Waingapu, Sumba Timur, Sabtu (13/7/2019). Kuburan batu besar yang identik dengan jaman megalitikum, bisa dengan mudah ditemui di Pulau Sumba.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Kubur batu di Kampung Raja Prailiu, Waingapu, Sumba Timur, Sabtu (13/7/2019). Kuburan batu besar yang identik dengan jaman megalitikum, bisa dengan mudah ditemui di Pulau Sumba.
Ia menambahkan, ada tiga kasta masyarakat berdasarkan keturunan di Sumba Timur.

Ketiganya meliputi Maramba (raja atau bangsawan), Kabihu (suku bangsawan sebagai penopang Maramba), dan Ata (pembantu atau abdi dalam keluarga Maramba).

Reti iyang

Dalam dialek setempat, reti berarti kubur dan iyang adalah ikan. Reti iyang dapat diartikan sebagai kuburan dengan relief ikan.

Adapun, reti iyang terdapat di Desa Praingkareha, Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur, NTT.

"Kubur atau makam dengan relief ikan merupakan kuburan seorang leluhur atas nama Umbu Mehanguru Mehataku. Beliau adalah salah satu bangsawan di wilayah Mahu-Karera hingga Tabundung," kata Yudi.

Selain kuburan milik Umbu Mehanguru Mehataku, ada juga kuburan lain di sekitar lokasi tersebut yang memiliki relief ikan.

Yudi menuturkan, Umbu Mehanguru Mehataku adalah bagian dari cerita rakyat bersama Umbu Pahar dan Rambu Niwa.

Baca juga: Terdapat 1.073 Kasus Aktif Covid-19 di Sumba Timur, 14 Pasien Meninggal dalam Sepekan

Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial dan Pendidikan Kecamatan Tabundung, Umbu Manggana membenarkan hal tersebut.

Umbu Manggana juga merupakan warga Kampung Praureha, Desa Praingkareha, Tabundung dan mengklaim dirinya adalah anggota Suku Tabundung.

"Kalau menurut cerita orangtua, kami ini adalah generasi sekitar ke-15 atau ke-16 (dari keturunan Umbu Mehanguru Mehataku)," kata Umbu.

"Kuburan (reti iyang) itu ada di tengah hutan. Itu dulunya kampung besar yang dihuni oleh Suku Tabundung, namanya Kampung Praibakul," ujar Umbu lagi.

Saat ini, hutan tersebut masuk dalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa).

Lokasi kuburan Umbu Mehanguru Mehataku berada di selatan Kampung Praureha, Desa Praingkareha, Tabundung.

Akses menuju ke sana adalah jalan setapak dan pengunjung harus berjalan kaki agar bisa memasuki tempat tersebut.

Baca juga: Jojong Dao dan Latung, Makanan Tradisional Warga Manggarai yang Terancam Punah

Tampak akar pohon beringin membingkai kuburan milik Umbu Mehanguru Mehataku.Kompas.com/DOKUMEN YUDI UMBU T T RAWAMBAKU Tampak akar pohon beringin membingkai kuburan milik Umbu Mehanguru Mehataku.
Keunikan kubur milik Umbu Mehanguru Mehataku

Hampir semua kubur batu megalitikum di Kabupaten Sumba Timur berada di tengah pemukiman warga.

Namun, kubur milik Umbu Mehanguru Mehataku berada di tengah hutan.

Pada zaman dahulu, hutan tersebut merupakan kampung yang menjadi tempat tinggal warga Suku Tabundung.

"Uniknya, kuburan ini terdapat di bawah pohon beringin. Akar dari pohon beringin ini, sebagiannya tumbuh ke dalam tanah dan sebagian lagi menutupi atau menyelubungi kuburan Umbu Mehanguru Mehataku. Seakan-akan akar dari pohon beringin tersebut melindungi kuburan itu," ungkap Yudi.

Kemudian, terdapat sejumlah tiang rumah  adat yang masih berdiri kokoh di lokasi itu. Tiang tersebut berupa batang kayu yang sudah keras.

Selain tiang rumah, ada juga sekitar puluhan kubur batu megalitikum di sana.

"Relief ikan itu bagian dari motif kuburan bagi Umbu Mehanguru Mehataku. Motif tersebut khusus bagi seseorang yang memiliki tautan sejarah masyarakat tradisional," kata Yudi.

"Dipakai relief ikan karena ada hubungannya dengan Ritual Karaki di wilayah sana, yaitu di Desa Wahang, Kecamatan Pinupahar," Yudi menambahkan.

Baca juga: Sebuah Gudang di RSUD Umbu Rara Meha Sumba Timur Ludes Terbakar

Ritual Karaki

Kata Karaki berasal dari ungkapan "Wiri Bara Rau Karaki” yang dimaknai sebagai perintah leluhur untuk tidak melakukan kegiatan apa pun dalam masa tertentu, terutama mengambil hasil alam.

Bagi masyarakat Desa Wahang dan sekitarnya, salah satu wujud penghormatan kepada Sang Pencipta adalah dengan melaksanakan Ritual Karaki.

Karaki adalah sebuah bentuk kearifan lokal tentang pelestarian lingkungan. Prosesi Ritual Karaki dimulai sejak tanggal 31 Desember hingga Maret.

Pada periode tersebut seluruh masyarakat dilarang untuk mengambil hasil alam.

Mereka berpantang untuk makan dari hasil kebun, mengambil hasil laut, dan tidak diperkenankan untuk menggelar adat perkawinan.

"Pada masa tersebut, para tokoh adat melakukan berbagai persiapan seperti sirih pinang, babi, kambing, ayam, tali yang terbuat dari kulit kayu serta daun kelapa, dan lain-lain," jelas Yudi.

Setelah itu, masyarakat melalui petunjuk tokoh adat diperbolehkan untuk menangkap ikan pada saat yang telah ditetapkan menurut perhitungan bulan.

"Pada hari pelaksanaan yang ditentukan melalui perhitungan bulan purnama itu tiba, para ratu (pemimpin ritual) melakukan prosesi hamayang (ritual adat) yang menandakan berakhirnya larangan tersebut," ungkap Yudi.

Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali

Tahapan prosesi itu dimulai dengan hamayang di Desa Wahang. Hal itu ditandai dengan pemotongan hewan kurban, biasanya ayam.

Setelah itu, masyarakat dan para pemimpin ritual menuju ke lokasi Karaki di pinggir laut.

Mereka menyimpan sirih pinang (banjal pahappa) di beberapa tempat tertentu sebagai wujud penghormatan kepada leluhur.

Kemudian, ada kegiatan menjala ikan di tempat yang telah ditentukan (waikaba).

Hasil ikan yang terbaik dari tangkapan pada saat itu akan diberikan kepada para ratu untuk selanjutnya dipersembahkan kepada leluhur.

"Keesokkan harinya, para ratu mempersiapkan tali cukup panjang dan pada jarak tertentu (pada tali tersebut) diikat daun kelapa yang masih muda untuk dibentangkan melingkar sepanjang area penangkapan ikan," jelas Yudi.

Kemudian dilakukan hamayang dengan media berupa telur ayam, ayam, kambing, dan babi.

Para ratu akan memprediksi hasil tangkapan dengan melihat kondisi hati hewan kurban tersebut.

Selanjutnya, masyarakat diperkenankan untuk menangkap ikat pada saat air laut surut dan setelah mendapat ijin dari para ratu.

Baca juga: Jejak dr Soetomo di Desa Ngepeh Nganjuk

Ilustrasi lautShutterstock Ilustrasi laut
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, biasanya ikan tidak bisa kembali ke laut lepas apabila sudah masuk ke dalam area yang telah dibatasi dengan tali yang diikat dengan daun kelapa.

"Jika keluar dari area tersebut, dengan sendirinya ikan itu akan mati," tutur Yudi.

Konon, alat dan tata cara menentukan waktu penangkapan ikan merupakan pemberian Umbu Mehanguru Mehataku kepada Umbu Lapuruh.

Saat itu, hubungan keduanya terjalin karena garis perkawinan.

Umbu Lapuruh mempersunting saudari dari Umbu Mehanguru Mehataku untuk dijadikan istrinya.

"Saat Umbu Lapuruh memperisteri saudari dari Umbu Mehanguru Mehataku, dia mendapat katidi yiwit (barang pemberian). Barang itu berupa 'raungu dangu liku nduma patangara wangu wulang pangadu wangu mehi', yaitu tali dan daun serta bagaimana cara menentukan waktu yang tepat untuk mencari hasil laut agar mendapatkan hasil yang maksimal," ungkap Yudi.

Baca juga: Dengan Mata Kepala, Aku Melihat Pesawat Catalina RI 005 Jatuh Menabrak Kapal Tongkang di Sungai Batanghari

Cerita rakyat

Yudi menjelaskan, Umbu Mehanguru Mehataku adalah bagian dari cerita rakyat bersama Umbu Pahar dan Rambu Niwa.

Rambu Niwa merupakan istri dari Umbu Pahar.

Dalam cerita rakyat tersebut dikisahkan bahwa suatu ketika terjadilah perdebatan antara Umbu Mehanguru Mehataku dengan Umbu Pahar.

Mereka berdebat tentang orang yang berhak memiliki Tana Humba, Matawai Amahu Pada Njara Hamu (Matawai Amahu Pada Njara Hamu berarti mata air yang melimpah dan padang yang luas).

Perdebatan itu berakhir dengan sebuah kesepakatan di antara keduanya.

Baca juga: Kisah Gerilyawan Wanita, Sri Ngestoe Padinah, Dipukul Tentara Belanda gara-gara Kelapa

Mereka secara bergilir berteriak dengan melontarkan pertanyaan "Siapa pemilik Tana Humba, Matawai Amahu Pada Njara Hamu?" masing-masing sebanyak tiga kali di puncak bukit.

Apabila terdengar jawaban setelah berteriak, berarti orang yang memberikan pertanyaan pada saat itu menjadi pemenang atau berhak memiliki Tanah Humba, Matawai Amahu Pada Njara Hamu.

Sementara yang kalah akan pindah atau harus beranjak ke wilayah bagian barat.

Saat itu, Umbu Pahar yang sakti menjadi penanya pertama. Dia berteriak sambil melontarkan pertanyaan sebanyak tiga kali.

Namun, pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban dari bawah kaki bukit.

Setelah itu, giliran Umbu Mehanguru Mehataku yang berteriak sembari melontarkan pertanyaan sebanyak tiga kali.

Kemudian terdengar jawaban dari kaki bukit setelah pertanyaan yang ke-3 dilontarkan oleh Umbu Mehanguru Mehataku.

Kalimat jawaban tersebut berbunyi "Nyumu dummu Umbu" yang berarti kau sudah Umbu.

Akhirnya, Umbu Mehanguru Mehataku keluar sebagai pemenang. Sementara itu, Umbu Pahar dan Rambu Niwa sangat kecewa.

Pasangan suami dan istri tersebut berpindah ke wilayah barat yang meliputi Anakalang di Kabupaten Sumba Tengah. Kemudian Loli, Wanokaka, dan Lamboya di Kabupaten Sumba Barat.

Namun, nama Umbu Pahar dan Rambu Niwa diabadikan sebagai wilayah di bagian selatan Kabupaten Sumba Timur, yaitu Pinupahar dan Mahaniwa.

Baca juga: Mengintip Ponten, Toilet Umum Pertama di Solo pada Masa Kolonial

Tanggapan Balai Taman Nasional Matalawa

Kepala Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) Memen Suparman mengatakan, reti iyang masuk dalam zona religi atau budaya di kawasan taman nasional tersebut.

"Di taman nasional itu ada zona religi, zona budaya untuk lokasi yang memang secara turun temurun masyarakat mempercayai lokasi tersebut sebagai tempat ibadah atau tempat untuk kebutuhan-kebutuhan keyakinan masyarkat," ujar Memen.

Ia mengatakan, pihaknya mengizinkan masyarakat untuk memasuki zona tersebut.

Namun, setiap orang yang masuk ke dalam kawasan taman nasional harus tetap menjaga ekosistem di sana.

Memen menjelaskan, pihaknya akan mengelola tempat tersebut apabila menjadi destinasi pariwisata pada masa mendatang.

"Karena itu di dalam kawasan taman nasional, ya dikelola oleh taman nasional. Tapi nanti pelaksanaannya bisa saja dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memang terbiasa melakukan kegiatan ritual (adat) di situ," tutur Memen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kakek yang Hilang di Pantai Rogan Flores Timur Ditemukan Meninggal Dunia

Kakek yang Hilang di Pantai Rogan Flores Timur Ditemukan Meninggal Dunia

Regional
Perampok Bersenjata Api yang Gasak Toko Emas di Blora Masih Buron

Perampok Bersenjata Api yang Gasak Toko Emas di Blora Masih Buron

Regional
Dugaan Dosen Joki di Untan Pontianak, Mahasiswa Tidak Kuliah tapi Tetap Dapat Nilai

Dugaan Dosen Joki di Untan Pontianak, Mahasiswa Tidak Kuliah tapi Tetap Dapat Nilai

Regional
Lebaran Kelar, Harga Bumbu Dapur Terus Melambung di Lampung

Lebaran Kelar, Harga Bumbu Dapur Terus Melambung di Lampung

Regional
Dendam dan Sakit Hati Jadi Motif Pembunuhan Wanita Penjual Emas di Kapuas Hulu

Dendam dan Sakit Hati Jadi Motif Pembunuhan Wanita Penjual Emas di Kapuas Hulu

Regional
Kerangka Manusia Kenakan Sarung dan Peci Ditemukan di Jalur Pendakian Gunung Slamet Tegal, seperti Apa Kondisinya?

Kerangka Manusia Kenakan Sarung dan Peci Ditemukan di Jalur Pendakian Gunung Slamet Tegal, seperti Apa Kondisinya?

Regional
Bupati Purworejo Temui Sri Sultan, Bahas soal Suplai Air Bandara YIA

Bupati Purworejo Temui Sri Sultan, Bahas soal Suplai Air Bandara YIA

Regional
Prabowo Minta Pendukungnya Batalkan Aksi Damai di MK Hari Ini, Gibran: Kita Ikuti Aja Arahannya

Prabowo Minta Pendukungnya Batalkan Aksi Damai di MK Hari Ini, Gibran: Kita Ikuti Aja Arahannya

Regional
Pimpin Apel Bulanan Pemprov Sumsel, Pj Gubernur Agus Fatoni Sampaikan Apresiasi hingga Ajak Pegawai Berinovasi

Pimpin Apel Bulanan Pemprov Sumsel, Pj Gubernur Agus Fatoni Sampaikan Apresiasi hingga Ajak Pegawai Berinovasi

Kilas Daerah
Suami Bunuh Istri di Riau, Sakit Hati Korban Hina dan Berkata Kasar ke Ibunya

Suami Bunuh Istri di Riau, Sakit Hati Korban Hina dan Berkata Kasar ke Ibunya

Regional
Di Hadapan Ketua BKKBN Sumsel, Pj Ketua TP-PKK Tyas Fatoni  Tegaskan Komitmen Turunkan Prevalensi Stunting

Di Hadapan Ketua BKKBN Sumsel, Pj Ketua TP-PKK Tyas Fatoni Tegaskan Komitmen Turunkan Prevalensi Stunting

Regional
Banyak Pegawai Tak Gunakan Seragam Korpri Terbaru, Pj Wali Kota Pangkalpinang: Kalau Tak Mampu, Saya Belikan

Banyak Pegawai Tak Gunakan Seragam Korpri Terbaru, Pj Wali Kota Pangkalpinang: Kalau Tak Mampu, Saya Belikan

Regional
Warga 2 Desa Diimbau Waspada Banjir Lahar Gunung Lewotobi Laki-laki

Warga 2 Desa Diimbau Waspada Banjir Lahar Gunung Lewotobi Laki-laki

Regional
Petugas Rutan Tangkap Pengunjung Selundupkan Sabu ke Penjara

Petugas Rutan Tangkap Pengunjung Selundupkan Sabu ke Penjara

Regional
Prakiraan Cuaca Batam Hari Ini Jumat 19 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Prakiraan Cuaca Batam Hari Ini Jumat 19 April 2024, dan Besok : Siang ini Hujan Petir

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com