Perang paling kejam
Hasan Ali dalam buku Sekilas Perang Puputan Bayu (2002) menuliskan, Puputan Bayu adalah perang habis-habisan masyarakat Banyuwangi melawan VOC di wilayah Bayu, yang sekarang masuk Kecamatan Songgon.
Perang yang menelan puluhan ribu korban ini, tulis Hasan, merupakan gambaran tragis dari politik devide et impera Belanda.
Karena yang berperang dan menjadi korban dalam perang puputan itu, hampir seluruhnya adalah bangsa sendiri.
Perang ini diakui Belanda sebagai yang paling kejam dan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Baca juga: Perang Ganter, Perlawanan Ken Arok untuk Meruntuhkan Kerajaan Kediri
Belanda menghabiskan dana 8 ton emas untuk operasi perebutan Blambangan ini.
Mereka mengerahkan 10.000 pasukan bersenjata lengkap dan berat.
Pasukan ini didatangkan dari garnisun-garnisun di Batavia, Semarang, Yogyakarta, Madura, Surabaya, Surakarta, dan daerah utara Jawa.
Dalam perang ini, tidak kurang 60.000 pejuang Banyuwangi gugur, hilang, dan menyingkir ke hutan.
Hal ini berdasar komentar seorang pejabat Belanda di Bondowoso bernama J.C. Bosch yang ditulis Benedict Anderson, dalam tulisan berjudul “Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” (Prisma 1982: 75-76).
"........Daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali.”
Awal mula peperangan
Perang ini bermula ketika wilayah Blambangan hendak direbut Belanda pada tahun 1767.
Pangeran Agung Wilis yang waktu itu diangkat menjadi Pangeran Blambangan memimpin rakyatnya melawan Belanda.
Sayangnya, ia ditangkap dan diasingkan.
Setelah Agung Wilis diasingkan, Belanda menerapkan kerja paksa tanpa upah membangun benteng, membuat jalan, hingga membersihkan hutan.
Kekejaman itu ditambah dengan kesewenang-wenangan para penguasa VOC terhadap wanita setempat.
Hal di atas membuat Rempeg yang saat itu bekerja untuk Ki Samila menyingkir ke Bayu menyusun kekuatan untuk mengusir penjajah.
Rupanya hal tersebut membuat banyak pejuang mengikuti jejaknya dan berkumpul di Bayu.
VOC dibuat khawatir dan menganggap apa yang terjadi di Bayu adalah bahaya. Mereka lantas mendatangkan bala bantuan untuk menyerang Bayu.
Kronologi Puputan Bayu
Masih menurut Hasan, Pada Mei 1771, VOC mengetahui adipati yang diangkatnya (Sutanegara, Wangsengsari, dan Patih Surateruna), memihak ke Rempeg dan menjalin hubungan dengan Bali.
Pada Juni, ketiganya yang masih keturunan Tawang Alun ini diasingkan ke Sri Lanka.
Lalu 3 Agustus 1771, VOC mengirim 70 pasukan pribumi menyerang Bayu. Namun mereka justru membelot dan bergabung dengan pasukan Rempeg.
Pada 5 Agustus, residen Blambangan mengirim pasukannya menyerang Bayu. Penyerangan itu tanpa hasil karena tangguhnya pertahanan Bayu.
Hal ini membuat wakil residen Blambangan saat itu Schophoff pergi ke desa-desa meminta warga tak memihak Rempeg. Namun ia justru diserang pasukan Blambangan.
Agustus 1771, para bupati di Pantai Utara Jawa mengirim pasukannya ke Blambangan di bawah komando Letnan Imhoff dan Letnan Montro.
Baca juga: Jejak dr Soetomo di Desa Ngepeh Nganjuk