Salin Artikel

Sejarah Perang Bayu di Banyuwangi, Perang Paling Kejam yang Dialami Belanda

Dulu kawasan ini dikenal dengan nama Blambangan.

Perang tersebut dikenal dengan sebutan Perang Bayu, yang terjadi pada 1771-1772.

Perang terjadi antara VOC Belanda yang dibantu pasukan pribumi dari pesisir utara Jawa Timur dan Madura melawan masyarakat Blambangan yang dipimpin Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati.

Pertempuran ini memakan banyak korban jiwa. Penduduk Blambangan saat itu hanya tersisa 5.000 dari 65.000 penduduk total.

Arkeolog sekaligus Kurator Museum Blambangan, Bayu Ariwibowo menyebutkan, secara garis besar penyebab perang ini yakni masyarakat Blambangan ingin lepas dari cengkraman penjajah yang semena-mena.

Kemudian, saat itu Blambangan masyarakatnya mayoritas masih beragama Hindu.

Lalu ada kebijakan dari VOC bahwa siapa pun yang ingin jadi bupati harus beragama Islam. Aturan ini ditentang oleh masyarakat Blambangan.

"Ada pertentangan internal, siapa yang sebenarnya berhak berkuasa," katanya saat dihubungi, Senin (16/8/2021).

Ia mengatakan, saat itu wilayah Blambangan diperebutkan banyak pihak.

VOC ingin menguasai perdagangan dengan menduduki Blambangan. Saat itu mereka menguasai Blambangan setelah ada perjanjian dengan penguasa Mataram.

Sementara Kerajaan Mengwi di Bali memiliki kepentingan agar pengaruh Islam tak masuk ke Bali melalui Blambangan.

"Bali punya kepentingan karena Blambangan menjadi benteng terakhir agar tak dimasuki Mataram Islam," kata dia.

VOC lantas bergerak ke Blambangan. Kedatangan VOC ini membuat rakyat Blambangan marah dan melancarkan perlawanan.

Hasan Ali dalam buku Sekilas Perang Puputan Bayu (2002) menuliskan, Puputan Bayu adalah perang habis-habisan masyarakat Banyuwangi melawan VOC di wilayah Bayu, yang sekarang masuk Kecamatan Songgon.

Perang yang menelan puluhan ribu korban ini, tulis Hasan, merupakan gambaran tragis dari politik devide et impera Belanda.

Karena yang berperang dan menjadi korban dalam perang puputan itu, hampir seluruhnya adalah bangsa sendiri.

Perang ini diakui Belanda sebagai yang paling kejam dan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.

Belanda menghabiskan dana 8 ton emas untuk operasi perebutan Blambangan ini.

Mereka mengerahkan 10.000 pasukan bersenjata lengkap dan berat.

Pasukan ini didatangkan dari garnisun-garnisun di Batavia, Semarang, Yogyakarta, Madura, Surabaya, Surakarta, dan daerah utara Jawa.

Dalam perang ini, tidak kurang 60.000 pejuang Banyuwangi gugur, hilang, dan menyingkir ke hutan.

Hal ini berdasar komentar seorang pejabat Belanda di Bondowoso bernama J.C. Bosch yang ditulis Benedict Anderson, dalam tulisan berjudul “Sembah Sumpah, Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” (Prisma 1982: 75-76).

"........Daerah inilah barangkali satu-satunya di seluruh Jawa yang suatu ketika pernah berpenduduk padat yang telah dibinasakan sama sekali.”

Awal mula peperangan

Perang ini bermula ketika wilayah Blambangan hendak direbut Belanda pada tahun 1767.

Pangeran Agung Wilis yang waktu itu diangkat menjadi Pangeran Blambangan memimpin rakyatnya melawan Belanda.

Sayangnya, ia ditangkap dan diasingkan.

Setelah Agung Wilis diasingkan, Belanda menerapkan kerja paksa tanpa upah membangun benteng, membuat jalan, hingga membersihkan hutan.

Kekejaman itu ditambah dengan kesewenang-wenangan para penguasa VOC terhadap wanita setempat.

Hal di atas membuat Rempeg yang saat itu bekerja untuk Ki Samila menyingkir ke Bayu menyusun kekuatan untuk mengusir penjajah.

Rupanya hal tersebut membuat banyak pejuang mengikuti jejaknya dan berkumpul di Bayu.

VOC dibuat khawatir dan menganggap apa yang terjadi di Bayu adalah bahaya. Mereka lantas mendatangkan bala bantuan untuk menyerang Bayu.

Kronologi Puputan Bayu 

Masih menurut Hasan, Pada Mei 1771, VOC mengetahui adipati yang diangkatnya (Sutanegara, Wangsengsari, dan Patih Surateruna), memihak ke Rempeg dan menjalin hubungan dengan Bali.

Pada Juni, ketiganya yang masih keturunan Tawang Alun ini diasingkan ke Sri Lanka.

Lalu 3 Agustus 1771, VOC mengirim 70 pasukan pribumi menyerang Bayu. Namun mereka justru membelot dan bergabung dengan pasukan Rempeg.

Pada 5 Agustus, residen Blambangan mengirim pasukannya menyerang Bayu. Penyerangan itu tanpa hasil karena tangguhnya pertahanan Bayu.

Hal ini membuat wakil residen Blambangan saat itu Schophoff pergi ke desa-desa meminta warga tak memihak Rempeg. Namun ia justru diserang pasukan Blambangan.

Agustus 1771, para bupati di Pantai Utara Jawa mengirim pasukannya ke Blambangan di bawah komando Letnan Imhoff dan Letnan Montro.



Namun di waktu yang sama, pasukan yang berkumpul di Bayu makin banyak.

Peperangan antar kedua pihak terus terjadi hingga puncaknya terjadi pada 18 Desember 1771.

Tanggal ini yang kemudian dipilih menjadi hari jadi Kabupaten Banyuwangi.

Saat itu pejuang Blambangan mengerahkan serangan puputan atau habis-habisan ke VOC. Mereka bersenjatakan golok, keris, tombak, hingga senjata api rampasan.

Sayangnya saat itu Rempeg gugur akibat luka-luka yang dideritanya.

Dalam perang itu, pasukan penjajah juga dihancurkan. Bahkan komandan pasukan VOC, Van Schaar dan Letnan Kornet Tinne terbunuh.

Pertempuran terus berlanjut hingga tahun berikutnya.

Bedanya, pasukan Bayu mulai terdesak dengan serangan VOC yang terus mendapatkan bala bantuan dari luar. Hingga pada 11 Oktober 1771, benteng Bayu direbut VOC.

Sisa pasukan Bayu yang selamat menyingkir ke hutan. Sementara yang tertangkap disiksa dan dibunuh.

https://regional.kompas.com/read/2021/08/16/172241778/sejarah-perang-bayu-di-banyuwangi-perang-paling-kejam-yang-dialami-belanda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke