(Christy Yuhas Dini, asal Jakarta, kelahiran 1994, penganut agama Bahai)
Semenjak enam tahun lalu, Dini — sapaannya — menggeluti aktivitas lintas iman, dan awal tahun ini dia diundang mengikuti Peace Train Indonesia (PTI) di Temanggung, Jateng.
Sebelum terlibat dalam aktivitas kebinekaan, Dini mengaku sering ditanya "agama Bahai itu seperti apa", dan dirinya saat itu mengaku lebih banyak berkelit, karena merasa bingung untuk menjelaskannya.
Posisi agamanya yang minoritas juga membuatnya kala itu merasa insecure — tidak aman. "Saya dulu merasa paling beda sendiri."
Baca juga: Ada Aliran Kepercayaan Penghayat dalam E-KTP, Kemendagri Bantah Pemerintah Tak Lagi Akui Agama Lain
Dia lalu teringat berbagai pertanyaan yang diajukan teman-temannya: "Kamu menyembah siapa? Bagaimana cara ibadahnya?"
Belakangan dia mengaku lebih leluasa untuk mengungkap latar belakang agamanya. Percaya dirinya kemudian tumbuh perlahan.
"Banyak yang saya dapat [dalam kegiatan lintas iman], membuat saya berubah, seperti sudut pandang, sudut pandang melihat perbedaan itu sendiri, juga pola pikir saya," ujar Dini kepada BBC News Indonesia.
Salah-satu yang menguatkannya adalah frasa yang sering diulang-ulang selama PTI yaitu 'kalau saya benar, apakah orang lain salah'.
Baca juga: DKI Terima Pembuatan E-KTP bagi Penganut Aliran Kepercayaan
Di situlah, Dini lantas berucap bahwa "perbedaan itu indah dan kalau tidak ada perbedaan, bukanlah Indonesia".
Dalam berbagai aktivitas di ICRP, dia mendapatkan pengetahuan baru bahwa agama atau kepercayaan di Indonesia tak hanya enam atau tujuh, tapi bahkan lebih dari 10.
"Jadi kenapa kalian merasa insecure? Kenapa merasa beda sendiri? Enggak kok, banyak [sekali kepercayaan di Indonesia].
Baca juga: Kampanye Muslim Friendly Korea, Cara Korea Gaet Wisatawan Indonesia
"Dan ini enggak salah. Jadi enggak ada yang berani menyalahkan juga. Kita harus membuka mata dan hati kita," ungkap Dini, mengisahkan salah-satu materi diskusinya dengan teman-temannya setelah terlibat dalam kegiatan lintas iman.
Hal lain yang dia dapatkan selama mengikuti PTI dan kegiatan interfaith lainnya adalah "penerimaan" terhadap keyakinannya. "Dan saya juga menghargai keyakinan lainnya."
Dalam forum-forum itu, Dini mengaku lebih berani berbicara untuk berbagi tentang agama atau keyakinannya.
"Saya benar-benar merasa bahwa kita semua dihargai."
Di lingkungan terdekatnya, seperti Karang Taruna, Dini kini membagikan apa yang dia dapatkan selama mengikuti acara-acara lintas iman, utamanya frasa 'kalau saya benar, apakah orang lain salah' yang begitu membekas pada dirinya.
Baca juga: Belajar Toleransi dari Kaki Gunung Kawi, Warga Beragam Agama Gotong Royong Bangun Masjid