(Ertheo Siswadi, kelahiran 1997, penganut Kristen Protestan, baru selesai kuliah di AS dan kini bekerja di Indonesia)
"Saya mau belajar lebih mengenal tentang Indonesia," ucapan inilah yang mengantar Ertheo Siswadi mengikuti Peace Train Indonesia yang digelar di kota Malang pada 2018 lalu.
Saat itu dia tengah liburan dan memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Dia mendapat informasi mengenai PTI dari sesama jemaat gereja di Jakarta.
"Saya mau lebih mengenal [antara lain, masalah keagamaan di Indonesia], karena dari dulu saya memang tumbuh di lingkungan yang lumayan eksklusif dan saya hidup dalam bubble saya sendiri," ujarnya.
Baca juga: 10 Kota dengan Skor Toleransi Tertinggi Menurut Setara Institute
Dia mengaku sejak belia tumbuh di lingkungannya sendiri, seperti sekolah yang dikelola yayasan Kristen atau teman-temannya sesama Kristen. "Lingkungannya, ya, itu-itu saja."
"Jadi saya mendengar azan tiap hari, tapi saya enggak mengerti apa itu," ujar Ertheo kepada BBC News Indonesia, awal Juni lali.
Semula dia membayangkan mendiskusikan soal agama itu sebagai sesuatu yang sensitif, rawan konflik, dan bisa membuat orang tersinggung.
"Tapi setelah ikut PTI, saya menjadi lebih terbuka. 'Oh ternyata belajar dan diskusi tentang agama itu bisa'. Dan bisa dilakukan secara saling hormat, saling toleransi, bisa dengan mudah," paparnya.
Baca juga: Potret Toleransi di Gereja Kudus, Viral di Medsos, Ini Penjelasannya
"Kalau kita tak saling mengenal, bisa menimbulkan kecurigaan."
Dia kemudian mengungkapkan pengalaman yang membuatnya terharu, yaitu tatkala mendatangi tempat-tempat ibadah agama selain Kristen — tak pernah dia alami sebelumnya. "Damai sekali, saya terharu."
Ketika saya tanya apa yang dia pikirkan ketika mengalami hal seperti itu, namun di sisi lain membaca berita tentang kasus intoleran di Indonesia, Ertheo mengatakan semua agama mengajarkan cinta kasih.
Baca juga: Bima Arya: Seolah ke Mana-mana di Dahi Saya Dicap Wali Kota Intoleran
"Kalau melihat berita seperti itu, di benak saya, hal itu tidak akan mempengaruhi citra agama tersebut. Saya belajar bahwa semua agama mengajarkan kasih, kedamaian dan toleransi," jelasnya.
Dalam program itu, Ertheo lebih banyak mengajukan pertanyaan seputar cara beribadah serta kebiasaan yang dilakukan.
Dia mencontohkan saat menginap di sebuah pesantren. "Jadi saya lebih paham, dengan bertanya jawab dengan ustaznya."
Pertanyaan yang diajukan semua peserta, katanya, betul-betul didasari oleh rasa ingin tahu dan tidak ada motif untuk menjatuhkan agama lain. "Karena kita tahu itu datang dari rasa saling menghormati."
Baca juga: Riset PPIM UIN Jakarta: 30,16 Persen Mahasiswa Indonesia Intoleran
Ertheo mengharapkan dia dapat lebih bersemangat dan berani untuk keluar dari lingkungan eksklusifnya.
"Bukan saja agama, tapi juga mengenal budaya dan etnis lain di Indonesia dan orang-orang dengan latar status yang berbeda," katanya.
"Dalam lingkungan saya, saya akan lebih vokal. Misalnya, kalau ada ucapan di lingkungan saya yang diskriminatif atau stereotype yang tidak benar, saya akan lebih vokal untuk mengoreksi."
Dia mengharapkan agar lebih banyak masyarakat Indonesia dapat mengikuti acara-acara lintas iman, seperti PTI, sehingga "dapat saling mengenal, lebih rukun dan tidak saling curiga, serta tidak membikin stereotype sendiri."
Baca juga: Soal Kewajiban Jilbab bagi Siswi Nonmuslim, Ketua Komisi X: Kami Prihatin atas Sikap Intoleran