KOMPAS.com - Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 diyakini sebagai yang terparah dalam 50 tahun terakhir.
Komunitas adat Dayak Meratus diklaim sebagai yang paling terdampak. Selain tinggal di kawasan hilir yang disebut semakin gundul, bencana alam ini merusak sumber kehidupan warga Dayak Meratus, seperti ladang dan rumah.
Bantuan gawat darurat kepada mereka pun terhambat karena akses menuju desa hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama beberapa jam.
Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pemerintah daerah gagap, bukan cuma kala mempertahankan ekosistem penyangga banjir, tapi juga saat menyiasati anomali cuaca akibat perubahan iklim.
Baca juga: Update Banjir Kalsel, Danrem: Sudah Tidak Ada Daerah Terisolasi
Pemerintah lokal kini berencana merelokasi permukiman warga Dayak Meratus agar mereka tidak lagi rentan dihantam banjir dan tanah longsor.
Dini hari, sekitar pukul empat pagi, tanggal 15 Januari 2021, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, kocar-kacir meninggalkan rumah mereka.
Banjir bandang menerjang kampung itu seiring hujan deras yang turun terus-menerus. Arus deras air juga memicu tanah longsor di desa itu.
Baca juga: Sudah Turun ke Lapangan, Bareskrim Sebut Banjir Kalsel karena Cuaca
Saat proses evakuasi dilakukan secara swadaya di desa itu, lima orang dinyatakan meninggal karena rumah mereka tertimbun longsor. Mereka berasal dari satu keluarga yang sama.
"Jika keluarganya tidak cepat-cepat melarikan diri dari rumah, dini hari itu, jumlah korban meninggal mungkin akan lebih banyak," kata Julius, warga Dayak Meratus.
"Di rumah mertua saya waktu itu ada 10 orang. Biasanya rumah itu juga kena banjir, tapi tidak sampai terbawa arus. Empat lumbung padi kami juga rusak," ujar Julius.
Desa Patikalain adalah satu dari dua kampung adat Dayak Meratus yang paling terdampak banjir dan tanah longsor, Januari ini.
Baca juga: Banjir Mulai Surut, Jalur Trans-Kalimantan di Tanah Laut Kalsel Sudah Bisa Dilalui
Permukiman komunitas adat Dayak Meratus tersebar di berbagai desa di Pegunungan Meratus, termasuk yang masuk wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Sebagian besar tempat tinggal kelompok yang juga dikenal sebagai Dayak Bukit ini tidak dapat diakses kendaraan. Tidak ada pula sambungan listrik dan sinyal telekomunikasi di kawasan ini.
Baca juga: Tiga Kapal TNI AD Angkut Bantuan ke Kalsel dan Sulbar, Ini Rinciannya
Julius tinggal di Desa Pembakulan, Kecamatan Batang Alai Timur. Untuk mencapai Desa Patikalain, dia harus berjalan kaki sejauh 11 kilometer dari desa terdekat yang masih bisa dilalui sepeda motor.
Sebelum tiba di Desa Patikalain, sehari setelah banjir dan longsor itu, Julius tak tahu apakah keluarganya selamat dari bencana alam tersebut.
"Ini kejadian yang paling parah dibandingkan sebelumnya. Tidak menduga akan seperti ini. Di Kecamatan Barabai (pusat pemerintahan kabupaten), air bahkan hampir setinggi atap rumah," kata Julius.
Baca juga: Pemerintah Pusat Akan Tambah Dapur Umum di Pengungsian Korban Banjir Kalsel
Menurut Hadi Irawan, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, terdapat sekitar 303 orang di kampungnya yang terdampak bencana ini. Setengah dari jumlah itu kini mengungsi, kata dia.
Hadi berkata, longsor memutus akses menuju Desa Patikalain. Selama beberapa hari pertama setelah bencana, warga desa menanggung kebutuhan makan hingga tenda pengungsian secara bersama-sama.
"Untuk sementara, keluarga yang lumbung padinya masih ada membantu korban," ujar Hadi saat dihubungi dari Jakarta.
Dia harus berjalan ke titik tertinggi di desanya agar dapat dikontak via telepon.
Baca juga: Tinjau Banjir Kalsel, Menko PMK: Pengelolaan Alam yang Sembrono Timbulkan Malapetaka
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.