Salin Artikel

Terdampak Banjir Kalsel, Desa Dayak Meratus Rusak Diterjang Longsor, Warga: 4 Lumbung Padi Kami Rusak

Komunitas adat Dayak Meratus diklaim sebagai yang paling terdampak. Selain tinggal di kawasan hilir yang disebut semakin gundul, bencana alam ini merusak sumber kehidupan warga Dayak Meratus, seperti ladang dan rumah.

Bantuan gawat darurat kepada mereka pun terhambat karena akses menuju desa hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama beberapa jam.

Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pemerintah daerah gagap, bukan cuma kala mempertahankan ekosistem penyangga banjir, tapi juga saat menyiasati anomali cuaca akibat perubahan iklim.

Pemerintah lokal kini berencana merelokasi permukiman warga Dayak Meratus agar mereka tidak lagi rentan dihantam banjir dan tanah longsor.

Dini hari, sekitar pukul empat pagi, tanggal 15 Januari 2021, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, kocar-kacir meninggalkan rumah mereka.

Banjir bandang menerjang kampung itu seiring hujan deras yang turun terus-menerus. Arus deras air juga memicu tanah longsor di desa itu.

Saat proses evakuasi dilakukan secara swadaya di desa itu, lima orang dinyatakan meninggal karena rumah mereka tertimbun longsor. Mereka berasal dari satu keluarga yang sama.

"Jika keluarganya tidak cepat-cepat melarikan diri dari rumah, dini hari itu, jumlah korban meninggal mungkin akan lebih banyak," kata Julius, warga Dayak Meratus.

"Di rumah mertua saya waktu itu ada 10 orang. Biasanya rumah itu juga kena banjir, tapi tidak sampai terbawa arus. Empat lumbung padi kami juga rusak," ujar Julius.

Desa Patikalain adalah satu dari dua kampung adat Dayak Meratus yang paling terdampak banjir dan tanah longsor, Januari ini.

Permukiman komunitas adat Dayak Meratus tersebar di berbagai desa di Pegunungan Meratus, termasuk yang masuk wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Sebagian besar tempat tinggal kelompok yang juga dikenal sebagai Dayak Bukit ini tidak dapat diakses kendaraan. Tidak ada pula sambungan listrik dan sinyal telekomunikasi di kawasan ini.

Julius tinggal di Desa Pembakulan, Kecamatan Batang Alai Timur. Untuk mencapai Desa Patikalain, dia harus berjalan kaki sejauh 11 kilometer dari desa terdekat yang masih bisa dilalui sepeda motor.

Sebelum tiba di Desa Patikalain, sehari setelah banjir dan longsor itu, Julius tak tahu apakah keluarganya selamat dari bencana alam tersebut.

"Ini kejadian yang paling parah dibandingkan sebelumnya. Tidak menduga akan seperti ini. Di Kecamatan Barabai (pusat pemerintahan kabupaten), air bahkan hampir setinggi atap rumah," kata Julius.

Menurut Hadi Irawan, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, terdapat sekitar 303 orang di kampungnya yang terdampak bencana ini. Setengah dari jumlah itu kini mengungsi, kata dia.

Hadi berkata, longsor memutus akses menuju Desa Patikalain. Selama beberapa hari pertama setelah bencana, warga desa menanggung kebutuhan makan hingga tenda pengungsian secara bersama-sama.

"Untuk sementara, keluarga yang lumbung padinya masih ada membantu korban," ujar Hadi saat dihubungi dari Jakarta.

Dia harus berjalan ke titik tertinggi di desanya agar dapat dikontak via telepon.

"Akses untuk keluar desa sangat susah, menempuh 11 kilometer, sekitar 4-5 jam untuk mengambil sembako di posko mandiri yang dibangun komunitas," ujar Hadi.

Menurut catatan Robby, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Hulu Sungai Tengah, terakhir kali banjir bandang melanda kawasan Dayat Meratus terjadi tahun 2017.

Ketika itu, kata Robby, Sungai Labuan Amas meluap. Namun dampak banjir itu tidak sebesar yang terjadi pertengahan Januari ini.

Robby berkata, komunitas Dayak Meratus berada dalam posisi yang sangat rentan jika dilanda bencana alam.

Walau memiliki tradisi gotong-royong dan persediaan kebutuhan dasar di hutan, Robby menyebut warga adat tetap membutuhkan layanan pemerintah.

"Mereka yang rumahnya hilang bisa menumpang rumah keluarga. Ada juga yang membangun tenda di sekitar hutan," ujar Robby.

"Masyarakat adat selama ada hutan, mereka bisa membangun rumah sementara dari bambu untuk bertahan. Ini butuh sekitar dua minggu atau satu bulan. Tapi ukurannya hanya 4x6 meter untuk satu keluarga.

"Tapi untuk membangun rumah permanen, karena ekonomi sulit, akses jalan tidak ada, kami hanya bisa berdoa semoga Tuhan memberikan solusi yang terbaik," ujar Robby.

Guru besar Institut Pertanian Bogor di bidang limnologi, Profesor Hefni Effendi, menyebut Pegunungan Meratus sebagai penyangga keseimbangan alam di Kalimantan Selatan.

Meski begitu, dalam bukunya yang terbit tahun 2016, Lingkungan dalam Perspektif Kekinian, Hefni menyebut Pegunungan Meratus "sangat ringkih terhadap eksploitasi berlebihan".

Hefni menyebut pegunungan ini sebagai menara air. Wilayahnya meliputi sejumlah kabupaten dan kota, yaitu Hulu Sungai Tengah, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Tapin, Tanah Bumbu, serta Banjar.

"Dapat dibayangkan jika eksploitasi hutan masif terjadi bersamaan dengan penambangan terbuka yang marak dilakukan, entah banjir seperti apa yang akan dialami masyarakat seantero Kalimantan Selatan karena tidak ada lagi daerah resapan air yang dapat membendung dan menyerap tumpahan air dari langit," kata Hefni.

Dalam data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), delapan wilayah yang disebut Hefni tadi termasuk yang terendam banjir Januari ini.

Berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan dikuatkan kajian yang dilakukan peneliti Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2017 dengan menggunakan data citra satelit Landsat antara 1973-2015. Kajian itu menyebutkan tutupan hutan di Kalimantan jauh berkurang akibat deforestasi.

"Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan bagian dari DAS Barito Kalsel seluas 6,2 juta hektare," begitu pernyataan KLHK.

"DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 kawasan hutan dan 60,7% area penggunaan lain bukan hutan.

"Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel, yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA0 Riam Kiwa, Kurau, dan Barabai terjadi karena curah hujan ekstrem dan sangat mungkin karena recurrent periode 50-100 tahun," tulis KLHK.

Namun pemerintah semestinya tidak menihilkan pengaruh berkurangnya tutupan hutan dalam bencana ini, kata Fakhrudin, ilmuwan di Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Menurutnya, pemerintah semestinya justru membuat kebijakan komprehensif untuk memitigasi anomali cuaca akibat perubahan iklim. Pengelolaan ekosistem hutan, kata dia, seharusnya masuk dalam perencanaan itu.

"Memang betul, merujuk data hujan di Stasiun Klimatologi Banjarbaru dan Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, curah hujann di Kalsel memang sangat tinggi dan bisa dikatakan ekstrem.

"Lima hari sebelum banjir bandang, di sana sudah hujan. Artinya tanah sudah jenuh air," kata Fakhrudin.

"Pemicu terbesar banjir ini curah hujan. La Nina sekarang terjadi Januari dan Februari, itu sudah diinformasikan BMKG. Artinya semua pemangku kepentingan semestinya sudah siap," ujarnya.

Fakhrudin berkata, dalam jangka panjang, pemerintah mesti mengevaluasi semua faktor tadi. Salah satu yang terpenting, kata dia, adalah pemahaman bahwa daerah aliran sungai di bagian hulu sungai merupakan kantong air.

Karena DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, jika kondisi hulu berubah, maka perubahan juga akan terjadi hingga hilir, kata Fakhrudin.

"Setiap tahun bencana seperti ini akan terulang jika tidak segera dilakukan terobosan. Gradasi perubahan iklim kan tidak langsung besar, sejak lama sudah terjadi," ujarnya.

"Yang paling rentan tentu orang yang tinggal di kawasan risiko besar bencana. Banjir berarti orang di daerah rendah, longsor berarti permukiman di daerah topografi tinggi.

"Yang tidak punya akses terhadap pembangunan biasanya rentan. Orang di kawasan kumuh atau orang yang rendah secara sosial-ekonomi tidak punya pilihan selain tinggal di situ. Jadi mereka rentan terdampak bencana alam," kata Fakhrudin.

"Kami akan mendata masyarakat yang tinggal di pinggir sungai. Pemerintah pusat katanya akan membantu korban yang rumahnya rusak berat dan rusak ringan," kata Sekretaris Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Farid Fakhmansyah.

"Kami akan usahakan agar mereka tidak lagi berada di pinggir sungai," tuturnya.

Namun Fakhrudin menyebut program relokasi itu tidak akan berjalan tanpa hambatan. Pendekatan kepada tokoh adat menurutnya penting untuk memuluskan rencana tersebut.

"Kami akan merangkul tokoh adat dan camat untuk menegosiasikan itu. Kami tidak ingin ada reaksi berlebihan jadi kami ingin merangkul pihak yang tepat untuk berbicara.

"Kami butuh suasana yang kondusif untuk membangun ulang," kata Farid.

Merujuk bencana alam yang pernah menerjang komunitas adat di beberapa daerah lain, relokasi memang bukan urusan sederhana.

Setelah gempa dan tsunami besar di Kepulauan Mentawai tahun 2010 misalnya, komunitas adat di sana menggugat rencana pemerintah memindahkan mereka ke "daerah yang lebih aman".

Menurut riset riset Perkumpulan Skala--lembaga nirlaba di bidang perubahan iklim, bencana alam, dan kearifan lokal--relokasi masyarakat adat kerap terhambat karena minimnya pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat mereka.

Dalam konteks Dayak Meratus, bukan cuma hak tenurial, status mereka sebagai masyarakat adat pun belum disahkan oleh pemerintah setempat.

Mitigasi bencana yang terkait dengan urusan tenurial masyarakat adat juga mencuat saat banjir bandang melanda pegunungan Cyclop di Jayapura, Papua, tahun 2019.

https://regional.kompas.com/read/2021/01/23/06060051/terdampak-banjir-kalsel-desa-dayak-meratus-rusak-diterjang-longsor-warga--4

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke