Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terdampak Banjir Kalsel, Desa Dayak Meratus Rusak Diterjang Longsor, Warga: 4 Lumbung Padi Kami Rusak

Kompas.com - 23/01/2021, 06:06 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Banjir dan tanah longsor yang terjadi di Kalimantan Selatan pada Januari 2021 diyakini sebagai yang terparah dalam 50 tahun terakhir.

Komunitas adat Dayak Meratus diklaim sebagai yang paling terdampak. Selain tinggal di kawasan hilir yang disebut semakin gundul, bencana alam ini merusak sumber kehidupan warga Dayak Meratus, seperti ladang dan rumah.

Bantuan gawat darurat kepada mereka pun terhambat karena akses menuju desa hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama beberapa jam.

Ilmuwan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai pemerintah daerah gagap, bukan cuma kala mempertahankan ekosistem penyangga banjir, tapi juga saat menyiasati anomali cuaca akibat perubahan iklim.

Baca juga: Update Banjir Kalsel, Danrem: Sudah Tidak Ada Daerah Terisolasi

Pemerintah lokal kini berencana merelokasi permukiman warga Dayak Meratus agar mereka tidak lagi rentan dihantam banjir dan tanah longsor.

Dini hari, sekitar pukul empat pagi, tanggal 15 Januari 2021, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, kocar-kacir meninggalkan rumah mereka.

Banjir bandang menerjang kampung itu seiring hujan deras yang turun terus-menerus. Arus deras air juga memicu tanah longsor di desa itu.

Baca juga: Sudah Turun ke Lapangan, Bareskrim Sebut Banjir Kalsel karena Cuaca

Saat proses evakuasi dilakukan secara swadaya di desa itu, lima orang dinyatakan meninggal karena rumah mereka tertimbun longsor. Mereka berasal dari satu keluarga yang sama.

"Jika keluarganya tidak cepat-cepat melarikan diri dari rumah, dini hari itu, jumlah korban meninggal mungkin akan lebih banyak," kata Julius, warga Dayak Meratus.

"Di rumah mertua saya waktu itu ada 10 orang. Biasanya rumah itu juga kena banjir, tapi tidak sampai terbawa arus. Empat lumbung padi kami juga rusak," ujar Julius.

Desa Patikalain adalah satu dari dua kampung adat Dayak Meratus yang paling terdampak banjir dan tanah longsor, Januari ini.

Baca juga: Banjir Mulai Surut, Jalur Trans-Kalimantan di Tanah Laut Kalsel Sudah Bisa Dilalui

Julius, bersama istri dan dua anaknya, berjalan ke Desa Patikalain untuk memastikan kondisi keluarga besar mereka usai peristiwa tanah longsor dan banjir bandang, Sabtu (16/01JULIUS Julius, bersama istri dan dua anaknya, berjalan ke Desa Patikalain untuk memastikan kondisi keluarga besar mereka usai peristiwa tanah longsor dan banjir bandang, Sabtu (16/01
Satu desa lainnya adalah Datar Ajab, yang lokasinya lebih tinggi ketimbang Patikalain. Dalam peristiwa yang sama, dua orang di Datar Ajab meninggal.

Permukiman komunitas adat Dayak Meratus tersebar di berbagai desa di Pegunungan Meratus, termasuk yang masuk wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Sebagian besar tempat tinggal kelompok yang juga dikenal sebagai Dayak Bukit ini tidak dapat diakses kendaraan. Tidak ada pula sambungan listrik dan sinyal telekomunikasi di kawasan ini.

Baca juga: Tiga Kapal TNI AD Angkut Bantuan ke Kalsel dan Sulbar, Ini Rinciannya

Julius tinggal di Desa Pembakulan, Kecamatan Batang Alai Timur. Untuk mencapai Desa Patikalain, dia harus berjalan kaki sejauh 11 kilometer dari desa terdekat yang masih bisa dilalui sepeda motor.

Sebelum tiba di Desa Patikalain, sehari setelah banjir dan longsor itu, Julius tak tahu apakah keluarganya selamat dari bencana alam tersebut.

"Ini kejadian yang paling parah dibandingkan sebelumnya. Tidak menduga akan seperti ini. Di Kecamatan Barabai (pusat pemerintahan kabupaten), air bahkan hampir setinggi atap rumah," kata Julius.

Baca juga: Pemerintah Pusat Akan Tambah Dapur Umum di Pengungsian Korban Banjir Kalsel

Menurut Hadi Irawan, warga Dayak Meratus di Desa Patikalain, terdapat sekitar 303 orang di kampungnya yang terdampak bencana ini. Setengah dari jumlah itu kini mengungsi, kata dia.

Hadi berkata, longsor memutus akses menuju Desa Patikalain. Selama beberapa hari pertama setelah bencana, warga desa menanggung kebutuhan makan hingga tenda pengungsian secara bersama-sama.

"Untuk sementara, keluarga yang lumbung padinya masih ada membantu korban," ujar Hadi saat dihubungi dari Jakarta.

Dia harus berjalan ke titik tertinggi di desanya agar dapat dikontak via telepon.

Baca juga: Tinjau Banjir Kalsel, Menko PMK: Pengelolaan Alam yang Sembrono Timbulkan Malapetaka

Banjir bandang dan tanah longsor tidak cuma merusak permukiman warga Dayak Meratus di Kecaman Hantakan, Hulu Sungai Tengah, tapi juga mengubah lanskap ekosistem.JULIUS Banjir bandang dan tanah longsor tidak cuma merusak permukiman warga Dayak Meratus di Kecaman Hantakan, Hulu Sungai Tengah, tapi juga mengubah lanskap ekosistem.
"Sekarang musim ladang, walau sebagian tertimbun longsor, warga desa kami tetap beraktivitas seperti biasa. Kalau tidak, kami harus berharap pada siapa?

"Akses untuk keluar desa sangat susah, menempuh 11 kilometer, sekitar 4-5 jam untuk mengambil sembako di posko mandiri yang dibangun komunitas," ujar Hadi.

Menurut catatan Robby, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Hulu Sungai Tengah, terakhir kali banjir bandang melanda kawasan Dayat Meratus terjadi tahun 2017.

Ketika itu, kata Robby, Sungai Labuan Amas meluap. Namun dampak banjir itu tidak sebesar yang terjadi pertengahan Januari ini.

Baca juga: Muhadjir: Eksploitasi Alam yang Salah Jadi Salah Satu Penyebab Banjir di Kalsel

Robby berkata, komunitas Dayak Meratus berada dalam posisi yang sangat rentan jika dilanda bencana alam.

Walau memiliki tradisi gotong-royong dan persediaan kebutuhan dasar di hutan, Robby menyebut warga adat tetap membutuhkan layanan pemerintah.

"Mereka yang rumahnya hilang bisa menumpang rumah keluarga. Ada juga yang membangun tenda di sekitar hutan," ujar Robby.

"Masyarakat adat selama ada hutan, mereka bisa membangun rumah sementara dari bambu untuk bertahan. Ini butuh sekitar dua minggu atau satu bulan. Tapi ukurannya hanya 4x6 meter untuk satu keluarga.

Baca juga: Banjir, Menko PMK Sebut Kalsel Tak Diprediksi Kena Dampak La Nina

"Tapi untuk membangun rumah permanen, karena ekonomi sulit, akses jalan tidak ada, kami hanya bisa berdoa semoga Tuhan memberikan solusi yang terbaik," ujar Robby.

Guru besar Institut Pertanian Bogor di bidang limnologi, Profesor Hefni Effendi, menyebut Pegunungan Meratus sebagai penyangga keseimbangan alam di Kalimantan Selatan.

Meski begitu, dalam bukunya yang terbit tahun 2016, Lingkungan dalam Perspektif Kekinian, Hefni menyebut Pegunungan Meratus "sangat ringkih terhadap eksploitasi berlebihan".

Hefni menyebut pegunungan ini sebagai menara air. Wilayahnya meliputi sejumlah kabupaten dan kota, yaitu Hulu Sungai Tengah, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Kotabaru, Tanah Laut, Tapin, Tanah Bumbu, serta Banjar.

Baca juga: Soal Banjir Kalsel, Moeldoko Klaim Pemerintah Tak Obral Izin Tambang dan Sawit

Beberapa rumah milik warga Dayak Meratus yang terendam banjir di Desa Patikalain.JULIUS Beberapa rumah milik warga Dayak Meratus yang terendam banjir di Desa Patikalain.
"Menara air dimaknai sebagai salah satu bagian dalam siklus air yang dapat mengatur debit air di daerah-daerah ini, sehingga berperan sebagai perendam banjir," tulis Hefni.

"Dapat dibayangkan jika eksploitasi hutan masif terjadi bersamaan dengan penambangan terbuka yang marak dilakukan, entah banjir seperti apa yang akan dialami masyarakat seantero Kalimantan Selatan karena tidak ada lagi daerah resapan air yang dapat membendung dan menyerap tumpahan air dari langit," kata Hefni.

Dalam data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), delapan wilayah yang disebut Hefni tadi termasuk yang terendam banjir Januari ini.

Berkurangnya tutupan hutan di Kalimantan dikuatkan kajian yang dilakukan peneliti Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2017 dengan menggunakan data citra satelit Landsat antara 1973-2015. Kajian itu menyebutkan tutupan hutan di Kalimantan jauh berkurang akibat deforestasi.

Baca juga: Menteri LHK Sebut Banjir Kalsel karena Anomali Cuaca, Bukan Susutnya DAS Barito

'Banjir karena curah hujan ekstrem'

Dayak Meratus tinggal di kawasan hutan, berjarak puluhan kilometer dari pusat ekonomi dan pemerintahan kabupaten. Sebagian besar wilayah ini hanya dapat diakses dengan berjalan kaki.dok BBC Indonesia Dayak Meratus tinggal di kawasan hutan, berjarak puluhan kilometer dari pusat ekonomi dan pemerintahan kabupaten. Sebagian besar wilayah ini hanya dapat diakses dengan berjalan kaki.
Bagaimanapun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemprov Kalsel menyimpulkan bahwa anomali cuaca merupakan penyebab utama banjir. Mereka membantah berkurangnya tutupan hutan berdampak pada masifnya banjir yang terjadi.

"Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare hanya merupakan bagian dari DAS Barito Kalsel seluas 6,2 juta hektare," begitu pernyataan KLHK.

"DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3 kawasan hutan dan 60,7% area penggunaan lain bukan hutan.

"Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel, yaitu pada Daerah Tampung Air (DTA0 Riam Kiwa, Kurau, dan Barabai terjadi karena curah hujan ekstrem dan sangat mungkin karena recurrent periode 50-100 tahun," tulis KLHK.

Baca juga: Banjir di Aceh Tamiang Meluas, 4.000 Orang Mengungsi

Namun pemerintah semestinya tidak menihilkan pengaruh berkurangnya tutupan hutan dalam bencana ini, kata Fakhrudin, ilmuwan di Pusat Penelitian Limnologi LIPI.

Menurutnya, pemerintah semestinya justru membuat kebijakan komprehensif untuk memitigasi anomali cuaca akibat perubahan iklim. Pengelolaan ekosistem hutan, kata dia, seharusnya masuk dalam perencanaan itu.

"Memang betul, merujuk data hujan di Stasiun Klimatologi Banjarbaru dan Stasiun Meteorologi Syamsudin Noor, curah hujann di Kalsel memang sangat tinggi dan bisa dikatakan ekstrem.

"Lima hari sebelum banjir bandang, di sana sudah hujan. Artinya tanah sudah jenuh air," kata Fakhrudin.

Baca juga: Banjir di Banjarmasin Belum Surut, Warga Masih Bertahan di Pengungsian

Pegunungan Meratus yang merupakan tempat tinggal komunitas Dayak Meratus atau Dayak Bukit.dok BBC Indonesia Pegunungan Meratus yang merupakan tempat tinggal komunitas Dayak Meratus atau Dayak Bukit.
"Hanya saja, kalau tutupan lahan masih bagus, banjir tidak akan separah ini. Jadi memang harus diatasi secara komprehensif. Di alam tidak ada faktor tunggal, semua saling terkait.

"Pemicu terbesar banjir ini curah hujan. La Nina sekarang terjadi Januari dan Februari, itu sudah diinformasikan BMKG. Artinya semua pemangku kepentingan semestinya sudah siap," ujarnya.

Fakhrudin berkata, dalam jangka panjang, pemerintah mesti mengevaluasi semua faktor tadi. Salah satu yang terpenting, kata dia, adalah pemahaman bahwa daerah aliran sungai di bagian hulu sungai merupakan kantong air.

Karena DAS merupakan satu kesatuan ekosistem, jika kondisi hulu berubah, maka perubahan juga akan terjadi hingga hilir, kata Fakhrudin.

Baca juga: Diguyur Hujan Deras, Manado Kembali Banjir dan Longor

"Setiap tahun bencana seperti ini akan terulang jika tidak segera dilakukan terobosan. Gradasi perubahan iklim kan tidak langsung besar, sejak lama sudah terjadi," ujarnya.

"Yang paling rentan tentu orang yang tinggal di kawasan risiko besar bencana. Banjir berarti orang di daerah rendah, longsor berarti permukiman di daerah topografi tinggi.

"Yang tidak punya akses terhadap pembangunan biasanya rentan. Orang di kawasan kumuh atau orang yang rendah secara sosial-ekonomi tidak punya pilihan selain tinggal di situ. Jadi mereka rentan terdampak bencana alam," kata Fakhrudin.

Baca juga: Selama Banjir, Stok Darah di PMI Banjarmasin Menipis

Walau dapat bertahan dengan prinsip gotong-royong di antara warga Dayak Meratus, mereka tetap mengharapkan bantuan dari pemerintah.ROBBY Walau dapat bertahan dengan prinsip gotong-royong di antara warga Dayak Meratus, mereka tetap mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Pemerintah daerah berjanji akan segera merelokasi warga Dayak Meratus yang tinggal di sekitar sungai. Proyek ini diklaim akan menjadi bagian dari tahap rekonstruksi.

"Kami akan mendata masyarakat yang tinggal di pinggir sungai. Pemerintah pusat katanya akan membantu korban yang rumahnya rusak berat dan rusak ringan," kata Sekretaris Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Farid Fakhmansyah.

"Kami akan usahakan agar mereka tidak lagi berada di pinggir sungai," tuturnya.

Namun Fakhrudin menyebut program relokasi itu tidak akan berjalan tanpa hambatan. Pendekatan kepada tokoh adat menurutnya penting untuk memuluskan rencana tersebut.

Baca juga: Cegah Banjir, Pengembangan Perumahan di Kota Malang Wajib Buat Sumur Resapan

"Kami akan merangkul tokoh adat dan camat untuk menegosiasikan itu. Kami tidak ingin ada reaksi berlebihan jadi kami ingin merangkul pihak yang tepat untuk berbicara.

"Kami butuh suasana yang kondusif untuk membangun ulang," kata Farid.

Merujuk bencana alam yang pernah menerjang komunitas adat di beberapa daerah lain, relokasi memang bukan urusan sederhana.

Setelah gempa dan tsunami besar di Kepulauan Mentawai tahun 2010 misalnya, komunitas adat di sana menggugat rencana pemerintah memindahkan mereka ke "daerah yang lebih aman".

Baca juga: UPDATE Banjir Kalsel: 21 Orang Meninggal Dunia

Menurut riset riset Perkumpulan Skala--lembaga nirlaba di bidang perubahan iklim, bencana alam, dan kearifan lokal--relokasi masyarakat adat kerap terhambat karena minimnya pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat mereka.

Dalam konteks Dayak Meratus, bukan cuma hak tenurial, status mereka sebagai masyarakat adat pun belum disahkan oleh pemerintah setempat.

Mitigasi bencana yang terkait dengan urusan tenurial masyarakat adat juga mencuat saat banjir bandang melanda pegunungan Cyclop di Jayapura, Papua, tahun 2019.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com