Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Eks Pengungsi Timor Timur di NTT, 21 Tahun Tinggal di Pengungsian Beratap Daun Lontar

Kompas.com - 19/12/2020, 05:55 WIB
Rachmawati

Editor

Awalnya, ketika pertama tiba di kamp pengungsi ia harus tidur di bawah tenda bersama para pengungsi lain.

Namun, pada 2002, status pengungsi dihapus oleh UNHCR. Artinya, tak ada lagi bantuan dari organisasi pengungsi PBB itu.

"Sesudah itu kita mulai hidup cari kayu untuk buat rumah darurat sementara," ujar pria yang akrab dipanggil Oky ini.

Baca juga: Gunung Ile Lewotolok Meletus, Penerbangan Wings Air Rute Kupang-Lewoleba-Kupang Batal

"Kita potong kayu untuk dibuatkan tiang untuk rumah. Daun lontar dijadikan atap kita. Karena kita tidak bisa membeli alat-alat, bahan bangunan, jadi kita memakai apa yang ada di lingkungan kita," ujar Oky.

"Dan sampai sekarang kita masih hidup di rumah beratapkan daun lontar, dengan [dinding] bebak-bebak yang hampir lapuk."

Seperti diketahui, pada 22 Desember 2002, UNHCR telah mendeklarasikan cessation of status, atau penghapusan status pengungsi bagi warga Timor Timur yang ada di Indonesia.

Langkah serupa diikuti oleh pemerintah Indonesia pada 2005.

Baca juga: Remaja Berusia 15 Tahun di Kupang jadi Spesialis Curanmor Dibekuk Polisi

Sayangnya, penghapusan status pengungsi itu tak menuntaskan persoalan warga eks pengungsi. Sebab, lahan yang mereka tempati bukanlah milik mereka.

Ketika di Dili, kata Oky, keluarganya mendapat penghasilan dari bercocok tanam di lahan yang ia miliki. Namun di pengungsian, mereka terpaksa menjadi buruh tani lantaran tak lagi memiliki lahan untuk digarap.

Ia menuturkan, saat ini ada lebih dari 250 keluarga yang tinggal di Tuapukan dengan satu rumah dihuni oleh dua - tiga keluarga.

Baca juga: Remaja Berusia 15 Tahun di Kupang jadi Spesialis Curanmor Dibekuk Polisi

'Seorang petani akan mati kalau tidak ada tanah'

Keresahan akan kepastian status tanah, memicu unjuk rasa menuntut hak atas tanah yang mereka tinggali di NTT, selama dua dekade terakhir itu.

Demonstrasi yang digelar bertepatan dengan Hari HAM Sedunia pada 10 Desember lalu, merupakan demonstrasi kedua setelah sebelumnya demonstrasi digelar di bulan September.

"Selama 21 tahun hidup dalam ketidakjelasan ini, sampai kita turun ke jalan itu merupakan sebuah refleksi yang panjang akan masa depan kami dan masa depan anak cucu kami," kata Oky, menjelaskan alasan dibalik unjuk rasa itu.

"Seorang petani akan mati kalau tidak ada tanah, terus bagaimana kalau kami tidak punya tanah untuk kami garap dan bisa makan dan minum," jelas Oky.

Baca juga: Kronologi Penangkapan Petani Pengedar Uang Palsu Rp 353,5 Juta di Kupang

Sementara, upah sebagai buruh tani, menurut Oky, tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Imbasnya, generasi kedua dan ketiga warga eks pengungsi Tim Tim kini terpaksa meninggalkan sekolah demi membantu orang tua mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Secara tidak langsung masa depan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik akan hilang dan sumber daya manusia mereka menjadi lemah.

"Kalau sumber daya manusianya menjadi lemah maka secara tidak langsung sepuluh atau tiga puluh tahun ke depan kami akan tersisihkan dalam peradaban ini."

Baca juga: Polisi Tangkap Pengedar Uang Palsu Senilai Rp 354 Juta di Kupang

Ada lebih dari 250 keluarga yang tinggal di Tuapukan dengan satu rumah dihuni oleh dua - tiga keluarga.Misaqui de Jesus Agustinho Ada lebih dari 250 keluarga yang tinggal di Tuapukan dengan satu rumah dihuni oleh dua - tiga keluarga.
"Dan kami tidak akan bersaing dalam bidang apapun, maka 10 - 20 tahun ke depan penyumbang kemiskinan yang terbesar adalah WNI eks Tim Tim yang dulunya menjadi contoh nasionalisme untuk Indonesia," kata Oky.

Adapun saat ini NTT merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi ketika setelah Papua dan Papua Barat, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).
Tingkat Kemiskinan

Sayangnya, unjuk rasa pekan lalu berujung ricuh. Oky menyebut hal itu dipicu oleh pemukulan yang dilakukan anggota polisi. Masa aksi yang tidak terima "merespons tindakan provokasi" polisi sehingga terjadi aksi "saling lempar-melempar".

Baca juga: 4 Warga Kota Kupang Meninggal akibat Corona, Transmisi Lokal Terus Meningkat

"Dalam kerumunan yang pertama tembakan pertama bunyi, kawan kita keluar dengan lompat-lompat kakinya," kata Oky.

Enam warga disebut terluka dalam aksi unjuk rasa itu, termasuk seorang perempuan, yang terluka di bagian kelapa sebelah kanan. Salah satu di antara korban diklaim tertembak di lutut bagian kanan.

Privanto Soares, yang disebut kena luka tembak oleh Oky, kemudian dibawa oleh Acasio Soares dan Abel de Almeida Pinto ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan, mereka dihentikan oleh pihak kepolisian.

Baca juga: Walhi: Ganti Rugi Rp 100.000 Per Hektar untuk Tanah Adat Papua Tak Masuk Akal

Seorang anak pengungsi Timor Timur bermain di meja biliar mini seadanya dengan menggunakan kelereng sebagai pengganti bola di kamp pengungsi Tuapukan dekat ibukota Kupang 19 April 2001.AFP PHOTO/Victor TJAHJAD Seorang anak pengungsi Timor Timur bermain di meja biliar mini seadanya dengan menggunakan kelereng sebagai pengganti bola di kamp pengungsi Tuapukan dekat ibukota Kupang 19 April 2001.
Oleh polisi Privanto dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara, sementara dua temannya yang lain langsung dibawa menuju kantor polisi. Tak lama kemudian, Privanto juga ditahan oleh polisi.

Sehari kemudian, Denonanto Saramento ditangkap polisi dalam perjalanannya menuju tempat kuliah kerja nyata (KKN).

Keempatnya kini ditetapkan sebagai tersangka kasus penyerangan dan pengrusakan pada Senin (14/4/2020).

Keempat tersangka dijerat pasal 170 ayat 1 dan 2, serta pasal 216 KUHP dengan ancaman hukuman tujuh tahun penjara.

Baca juga: Rumpun Keluarga Ini Hibahkan Tanah Adat 3,6 Ha untuk TNI

Polisi juga tengah mengembangkan penyidikan guna menangkap otak dibalik aksi massa dan penyerangan terhadap polisi.

Polres Kupang juga menyatakan dalam kerusuhan yang terjadi di Tuapukan pekan kemarin, tidak ada anggota polisi yang mengeluarkan tembakan ke arah warga sebagaimana kabar yang beredar luas di media sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com