Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Eks Pengungsi Timor Timur di NTT, 21 Tahun Tinggal di Pengungsian Beratap Daun Lontar

Kompas.com - 19/12/2020, 05:55 WIB
Rachmawati

Editor

Adapun Kapolres Kupang, AKBP Aldinan Manurung, membantah anggotanya melakukan kekerasan dan memastikan anggotanya sama sekali tidak melakukan upaya represif.

"Kita tidak ada sama sekali melakukan upaya-upaya represif. Sekali lagi, tidak represif, seperti yang disebutkan ada korban luka tembak, atau luka apa, tidak ada. Hasil visum menyatakan itu bukan tembak," ujarnya dalam konferensi pers Senin (14/12/2020).

Baca juga: Ricuh, Eksekusi Tanah Adat Sunda Wiwitan Gagal

Apa akar masalah status tanah itu?

Peneliti Farid Abdul Alkatiri, yang pernah meneliti tentang akses tanah dan kendala legitimasi eks pengungsi Timor Timur di Belu, NTT, mengatakan hak atas tanah adalah masalah yang jamak dialami oleh warga eks pengungsi di NTT.

Pasca-referendum, banyak warga Timor Timur memilih untuk mengungsi ke wilayah Indonesia. Mereka adalah warga yang memilih pro-integrasi dengan Indonesia ketimbang merdeka dalam referendum.

Sebagian besar menetap di Belu, sebagian lainnya di Kupang. Pengungsi di Kupang berasal dari bagian timur Timor Leste, sementara yang dekat kawasan perbatasan menetap di Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste.

Baca juga: Perampasan Hutan Adat di Papua, Walhi: Siapa yang Sebenarnya Dilindungi Negara?

Farid menuturkan empat persoalan utama yang dihadapi oleh para pengungsi eks Timor Timur, yakni kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan masalah data.

"Banyak yang tidak bisa menjelaskan sejauh mana persisnya jumlah pengungsi pada saat itu, bahkan sampai hari ini, karena banyak faktor yang melatar-belakangi," jelas Farid.

Masalah lain yang memperburuk problem eks pengungsi Timor Timur, kata Farid, pemerintah daerah yang tak menyangka jumlah pengungsi akan mencapai ratusan ribu.

Kala itu, pemerintah memperkirakan hanya 20.000 jiwa yang akan mengungsi. Sebab, konflik yang terjadi diperkirakan hanya skala kecil saja karena keyakinan pemerintah bahwa opsi pro-integrasi akan menang.

Baca juga: Kisah Pilu Habisnya Hutan Adat di Papua demi Perluasan Lahan Kelapa Sawit...

Seorang anggota Pasukan Penjaga Perdamaian Australia (PKF) memeriksa dokumen pengungsi Timor Timur di perbatasan antara Atambua, Kupang, Indonesia dan Batu Gade, Timor Timur, 06 Juli 2002.AFP PHOTO/Antonio DASIPAR Seorang anggota Pasukan Penjaga Perdamaian Australia (PKF) memeriksa dokumen pengungsi Timor Timur di perbatasan antara Atambua, Kupang, Indonesia dan Batu Gade, Timor Timur, 06 Juli 2002.
"Tetapi kan berbalik, kurang lebih 250.000 jiwa pengungsi yang masuk ke Indonesia. Sekitar 100.000 ada di Kabupaten Belu," kata dia.

Ia melanjutkan, pemerintah daerah yang kewalahan menyiapkan lahan kamp pengungsi, menggunakan lahan milik masyarakat lokal untuk lokasi kamp pengungsian. Sebagian besar menempati tempat itu sampai hari ini.

"Dari situ kemudian muncul konflik lahan. Masyarakat adat yang memiliki lahan lebih luas juga nimbrung dalam persoalan ini karena sebagian besar wilayah mereka ditempati pengungsi," jelas Farid.

Baca juga: Perjuangan Warga Kampung Long Isun Lawan Alih Fungsi Lahan demi Lestarinya Hutan Adat

Dijelaskan Farid, sebagian besar lahan di Belu dikuasai oleh lembaga adat, sehingga pemerintah daerah meminjam lahan itu selama beberapa tahun untuk ditinggali oleh pengungsi.

"Poin ini tidak diketahui oleh pengungsi. Pengungsi merasa bahwa lahan yang telah ditempati, diberikan oleh pemerintah daerah dan menjadi milik mereka. Itu menjadi pemicu konflik," terangnya.

Sebagian besar pengungsi kemudian secara swadaya membeli lahan yang dimiliki oleh warga lokal. Namun, menurutnya cara ini tidak menyelesaikan persoalan.

Baca juga: Tergusur dari Hutan Adat Pubabu, Masyarakat Adat Besipae Hidup di Bawah Pohon

"Mereka di kamp-kamp ini berkelompok, etnis lain nggak bisa nimbrung. Jadi sesama etnis saja, etnis yang minoritas sedikit mengalami kendala untuk berswadaya," kata dia.

Masalah lain yang melingkupi persoalan hidup eks pengungsi Timor Timur, lanjut Farid, mereka kerap kali dijadikan "komoditas politik" dalam pemilihan kepala daerah. Suara mereka kerap ditukar dengan janji kepastian tentang hak atas tanah.

Dari sekitar 250.000 ribu pengungsi Timor Timur di Indonesia, ada yang kemudian memilih kembali ke asal mereka di Timor Leste. Sedangkan yang lain mengikuti program transmigrasi yang ditawarkan pemerintah.

Baca juga: Ini Rumah yang Disediakan Pemprov NTT untuk Warga Besipae yang Digusur

Pemerintah akan 'duduk bersama'

Seorang tentara Indonesia menjaga di kamp pengungsi Kupang sementara pengungsi Timor Timur berkumpul di luar kantor pendaftaran 06 Juni 2001.AFP PHOTO Seorang tentara Indonesia menjaga di kamp pengungsi Kupang sementara pengungsi Timor Timur berkumpul di luar kantor pendaftaran 06 Juni 2001.
Kepala Humas Provinsi NTT, Marius Jelamu, mengatakan akan "duduk bersama" dengan pemerintah pusat untuk menentukan kepastian hukum atas tanah di lahan yang ditinggali pengungsi Timor Timur yang disebutnya "sudah menjadi warga negara Indonesia" itu.

"Perlu kebijakan negara, dalam hal ini untuk pengadaan lahan bagi para saudara-saudara kita yang eks Timor Timur itu. Tentu kalau mengharapkan pemerintah daerah tidak mungkin karena APBD kita sangat terbatas," kata Marius.

Ia memperkirakan saat ini ada sekitara 120.000 warga eks pengungsi Timor Timur yang tersebar di seluruh NTT.

Baca juga: Tergusur dari Hutan Adat Pubabu, Masyarakat Adat Besipae Hidup di Bawah Pohon

Adapun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan akan membangun rumah secara bertahap untuk warga eks Timor Timur di NTT.

Rencana pembangunan rumah untuk warga eks Timor Timur tersebut merupakan tindak lanjut dari kunjungan Presiden Joko Widodo ke NTT, tahun lalu.

Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul Hamid, menjelaskan pembangunan rumah rumah baru untuk warga eks pengungsi Timor Timur akan dimulai di Belu.

"Pembangunan akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahun 2020 sebanyak 100 unit di Kecamatan Raihat (Desa Tohe), tahun 2021 sebanyak 100 unit di lokasi yg sama, dan tahun selanjutnya disesuaikan dengan ketersediaan dan kesiapan lahan oleh Pemda," jelas Khalawi.

Baca juga: Duka Regina Sepeninggal Putranya yang Lumpuh Ketuk Hati Kapolda NTT dan Pemerintah Sumba Barat Daya

Berdasarkan usulan Pemerintah Kabupaten Belu, kata Khalawi, jumlah warga baru yang perlu ditangani rumahnya sebanyak 475 keluarga yg pada saat ini menempati tempat tinggal sementara yang tersebar di 4 lokasi pengungsian.

Empat kamp pengungsian itu berada di lahan milik Kodim 1605 Belu sejumlah 162 keluarga, lahan milik Polres Belu sejumlah 119 keluarga, lahan Stadion Haliwen milik Pemda Belu sejumlah 108 keluarga dan lahan sepanjang bantaran Sungai Talau sejumlah 86 keluarga.

Namun, Farid Abud Alkatiri merekomendasikan bantuan yang diperlukan oleh warga eks pengungsi Timor Timur ialah pemberdayaan, terutama di sektor pertanian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com