Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cendera Mata Lapik Koto Dian, dari Kursi Depati hingga Pelaminan

Kompas.com - 26/10/2020, 11:20 WIB
Suwandi,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

Asal-usul Lapik Koto Dian

Kemunculan Lapik Koto Dian belum diketahui sampai sekarang. Namun, penggunannnya beriringan dengan aksesori petinggi negeri Kerinci, yakni depati dan ninik mamak (lembaga adat).

Dalam setiap ritual adat seperti kenduri sko, para depati maupun ninik mamak senantiasa duduk di atas Lapik Koto Dian.

 

Tidak hanya itu, pasangan pengantin juga menjadikan Lapik Koto Dian sebagai tempat duduk, selayaknya pelaminan.

"Lapik merupakan aksesori adat. Tidak mutlak. Artinya bukan kewajiban," kata Direktur Lembaga Studi Sejarah Deki Syaputra kepada Kompas.com.

Baca juga: Cerita Ridwan Kamil soal Mendesain Masjid dan Wasiat Ayah

Meskipun bukan bagian yang wajib, masyarakat merasa kurang apabila para depati dan ninik mamak tidak duduk di atas lapik dalam setiap perhelatan adat.

Bahkan, pada tempat tertentu, lapik menjadi pembeda antara depati, ninik mamak dengan masyarakat biasa dalam suatu pertemuan adat.

Dalam pemberian adat kepada Gubernur Jambi pada 2019 lalu, lapik juga digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa lapik identik dengan kehormatan.

"Sejauh pengetahuan dan pemahaman saya, untuk etika orang banyak terhadap pemimpin (depati dan ninik mamak) agar berbeda dengan orang biasa dan lebih terhormat," kata Deki yang lahir dan besar di Kerinci.

Selain digunakan sebagai tempat duduk depati dan ninik mamak, menurut Deki, lapik juga sebagai tempat duduk pengantin, selayaknya pelaminan.

Dosen sejarah Universitas Batanghari ini juga menjelaskan bahwa lapik sudah ada semenjak tatanan masyarakat adat tumbuh di Kerinci. Namun, belum ada sumber primer yang tertulis.

Kendati demikian, lapik yang dijual sebagai cendera mata sekarang ini berbeda dengan zaman dahulu.

"Dulu lapik lebih tebal dibanding masa sekarang. Saya pernah lihat yang tebal, pokoknya sekitar 10 sentimeter," kata Deki.

Menurut Deki, lapik boleh saja menjadi cendera mata. Pasalnya, lapik bukan bagian dari yang sakral dalam ritual adat.

Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman meyakini bahwa kemunculan lapik seiring dengan tatanan masyarakat adat yang dipimpin oleh depati.

Kemunculan lapik berkaitan erat dengan sidang-sidang kerapatan adat. Peristiwa pada 1022 masehi lalu, perjanjian Setinjau Laut, bisa jadi lapik telah digunakan.

Bahkan, dia meyakini bahwa jauh sebelum itu, yakni sekitar abad 9 dan 10, sudah ada tatanan masyarakat adat kedepatian.

Temuan pada keramik maupun benda-benda kuno juga terbuat dari anyaman, mirip dengan lapik.

Lapik ini berkaitan juga dengan keterampilan manusia dalam membuat anyaman.

Namun, untuk memastikan sejak kapan manusia di Kerinci mulai menganyam, harus ada penelitian secara mendalam.

Nukman meyakini bahwa lahirnya keterampilan menganyam ini sebagai buah pemikiran dan kearifan para leluhur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com