Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cendera Mata Lapik Koto Dian, dari Kursi Depati hingga Pelaminan

Kompas.com - 26/10/2020, 11:20 WIB
Suwandi,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Lapik Koto Dian berhasil eksis dalam setiap masa dan dalam berbagai generasi.

Dari dulu, Lapik Koto Dian digunakan sebagai tempat duduk para depati (pemimpin adat) sampai menjadi cendera mata paling diburu pembeli.

Keunikan dari Lapik Koto Dian membuatnya didapuk sebagai cendera mata terpopuler asal Kota Sungai Penuh dalam Anugerah Pesona Indonesia 2020.

Baca juga: Blangkon dari Perak, Cenderamata Sri Sultan HB X untuk Raja Belanda

Selain itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Lapik Koto Dian sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2019.

Kepala Seksi Tradisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi Eri Argawan menuturkan, penetapan oleh Kemendikbud untuk mencegah terjadinya klaim negara lain.

Untuk itu, dilakukan pencatatan warisan tradisi budaya asli Indonesia.

"Gelagat Malaysia ingin mengeklaim karya budaya Kerinci pernah terjadi. Mereka telah membangun museum kebudayaan Kerinci di Malaka," kata Eri melalui sambungan telepon, Kamis (23/10/2020).

Untuk menghindari klaim tersebut, maka Lapik Koto Dian yang turun-temurun diwariskan leluhur dan menjadi kebanggaan masyarakat Kerinci, Jambi, harus ditetapkan sebagai WBTB Indonesia.

Ada beragam manfaat yang diperoleh dalam pencatatan, yaitu pemerintah mempunyai data karya budaya Indonesia yang diperbarui secara berkala.

Lalu, memudahkan penyusunan rencana dan pengambilan kebijakan perlindungan WBTB.

Baca juga: Kisah Juru Masak yang Dirumahkan Saat Pandemi, Ikut Jadi Koki Relawan

Selanjutnya, bisa menjadi sumber penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan bahan perkuliahan di perguruan tinggi.

Manfaat secara ekonomi, menurut Eri, dapat dimanfaatkan sebagai usaha produk kreatif hingga menembus pasar domestik maupun global.

Hanya saja, pandemi virus corona cukup memukul kunjungan wisata.

Otomatis, hal tersebut menurunkan pendapatan para pengerajin Lapik Koto Dian.

Cinderamata Lapik Koto Dian yang disusun sebagai tempat duduk pengantin selayaknya pelaminan.Sumber: Direktur Lembaga Studi Sejarah Deki Syaputra Cinderamata Lapik Koto Dian yang disusun sebagai tempat duduk pengantin selayaknya pelaminan.
Asal-usul Lapik Koto Dian

Kemunculan Lapik Koto Dian belum diketahui sampai sekarang. Namun, penggunannnya beriringan dengan aksesori petinggi negeri Kerinci, yakni depati dan ninik mamak (lembaga adat).

Dalam setiap ritual adat seperti kenduri sko, para depati maupun ninik mamak senantiasa duduk di atas Lapik Koto Dian.

 

Tidak hanya itu, pasangan pengantin juga menjadikan Lapik Koto Dian sebagai tempat duduk, selayaknya pelaminan.

"Lapik merupakan aksesori adat. Tidak mutlak. Artinya bukan kewajiban," kata Direktur Lembaga Studi Sejarah Deki Syaputra kepada Kompas.com.

Baca juga: Cerita Ridwan Kamil soal Mendesain Masjid dan Wasiat Ayah

Meskipun bukan bagian yang wajib, masyarakat merasa kurang apabila para depati dan ninik mamak tidak duduk di atas lapik dalam setiap perhelatan adat.

Bahkan, pada tempat tertentu, lapik menjadi pembeda antara depati, ninik mamak dengan masyarakat biasa dalam suatu pertemuan adat.

Dalam pemberian adat kepada Gubernur Jambi pada 2019 lalu, lapik juga digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa lapik identik dengan kehormatan.

"Sejauh pengetahuan dan pemahaman saya, untuk etika orang banyak terhadap pemimpin (depati dan ninik mamak) agar berbeda dengan orang biasa dan lebih terhormat," kata Deki yang lahir dan besar di Kerinci.

Selain digunakan sebagai tempat duduk depati dan ninik mamak, menurut Deki, lapik juga sebagai tempat duduk pengantin, selayaknya pelaminan.

Dosen sejarah Universitas Batanghari ini juga menjelaskan bahwa lapik sudah ada semenjak tatanan masyarakat adat tumbuh di Kerinci. Namun, belum ada sumber primer yang tertulis.

Kendati demikian, lapik yang dijual sebagai cendera mata sekarang ini berbeda dengan zaman dahulu.

"Dulu lapik lebih tebal dibanding masa sekarang. Saya pernah lihat yang tebal, pokoknya sekitar 10 sentimeter," kata Deki.

Menurut Deki, lapik boleh saja menjadi cendera mata. Pasalnya, lapik bukan bagian dari yang sakral dalam ritual adat.

Budayawan Jambi asal Kerinci, Nukman meyakini bahwa kemunculan lapik seiring dengan tatanan masyarakat adat yang dipimpin oleh depati.

Kemunculan lapik berkaitan erat dengan sidang-sidang kerapatan adat. Peristiwa pada 1022 masehi lalu, perjanjian Setinjau Laut, bisa jadi lapik telah digunakan.

Bahkan, dia meyakini bahwa jauh sebelum itu, yakni sekitar abad 9 dan 10, sudah ada tatanan masyarakat adat kedepatian.

Temuan pada keramik maupun benda-benda kuno juga terbuat dari anyaman, mirip dengan lapik.

Lapik ini berkaitan juga dengan keterampilan manusia dalam membuat anyaman.

Namun, untuk memastikan sejak kapan manusia di Kerinci mulai menganyam, harus ada penelitian secara mendalam.

Nukman meyakini bahwa lahirnya keterampilan menganyam ini sebagai buah pemikiran dan kearifan para leluhur.

Cenderamata Lapik Koto Dian.KOMPAS.com/SUWANDI Cenderamata Lapik Koto Dian.
Bahan baku hingga cara pembuatan

Pengrajin Lapik Koto Dian, Jaaparin Rio (67) yang tinggal di Desa Koto Dian, Kecamatan Hamparan Rawang, Kota Sungai Penuh, menuturkan, lapik terbuat dari pandan berduri (pandanus tectorius).

Tanaman khas Koto Dian ini sekarang mulai sulit ditemukan. Butuh perjalanan berjam-jam untuk mendapatkannya.

Selain itu, harganya pun terbilang mahal.

"Susah dicari pandan berduri neh. Jauh sampai ke Lempur dan Tamiai. Itu berjam-jam dari Sungai Penuh," kata Rio (nama adat yang melekat karena keturunan ninik mamak) saat dihubungi.

Untuk mendapatkan bahan baku harus memesan terlebih dahulu. Harganya berkisar Rp 300.000 hingga Rp 400.000 untuk satu ikat.

Dalam satu ikat ini, menruut Rio, hanya diperoleh sekitar 2 lusin lapik. Itu pun proses pembuatannya lama, memakan waktu 15 sampai 20 hari dan tergantung pada cuaca.

Lapik dalam bahasa lokal adalah lapaek, yang artinya tempat duduk. Sampai sekarang, keluarga Rio mempertahankan lapik sebagai kearifan leluhur secara turun-temurun.

Didampingi istrinya, Azizah selaku penganyam lapik, Rio menjelaskan cara pengolahan pandan berduri hingga menjadi lapik.

Langkah awal adalah membersihkan dan membuang duri pandan. Kemudian, daun pandan dituris atau dipotong kecil-kecil ukuran 1-3 sentimeter sesuai keinginan.

Selanjutnya, potongan daun pandan direbus paling lama 1 jam. Tujuannya untuk menghilangkan getah dan membuat daun berwarna putih.

Setelah direbus, daun pandan dijemur pada terik matahari sampai warnanya benar-benar putih bersih.

Selesai dijemur, daun pandan direbus kembali dan dimasukkan pewarna tekstil.

"Awalnya lapik menggunakan pewarna alami yang berasal dari kunyit dan beberapa tumbuhan lainnya, tetapi bahan alami sulit ditemukan," kata Rio.

Proses pewarnaan selesai, daun pandan lalu kembali dijemur agar warnanya meresap dan maksimal.

Ketika warna sudah sesuai kebutuhan, maka daun pandan diluruskan agar lebih lunak dan mudah untuk dianyam.

Setelah melewati proses terakhir ini, barulah bahan baku anyaman dibuat lapik. Tidak hanya itu, bisa juga dibuat tikar, tas, bantal, dompet dan lainnya.

"Untuk menganyam ini memang domainnya perempuan, istri saya, karena butuh ketelitian dan kehalusan. Saya bisa, tapi kurang bagus," kata Rio.

Lapik yang dibuat beraneka warna seperti biru, putih, hijau dan merah. Selain itu, ada banyak motif seperti melereng, bungo pecah selapeh dan belam tekurung.

Kemahiran kerajinan tradisional menganyam lapik sudah turun-temurun. Uniknya, hanya ada di Desa Koto Dian, Rawang.

Lapik yang dihasilkan umumnya ada dua, yakni terawang dan tempat duduk. Ukurannya rata-rata 50×50 sentimeter dengan ketebalan 1-2 sentimeter.

Media utama yang digunakan adalah daun pandan. Media pendukungnya kain furing, kain beludru, manik-manik, cat minyak, dan renda. Untuk finishing menggunakan plastik kaca.

Harga lapik terawang yang berfungsi sebagai sandaran duduk dibanderol dengan harga Rp 1,2 juta.

Sedangkan untuk lapik duduk biasa, dijual dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 700.000 per satuan.

Rio menjual lapik melalui sanggar anyaman lapik di rumahnya. Dia juga memanfaatkan media sosial sebagai media promosi.

Walau begitu, pembeli yang datang tidak hanya dari Kerinci, melainkan dari kota-kota besar seperti Jambi, Padang dan Jakarta, bahkan dari luar negeri.

Rio berharap pemerintah memberikan bantuan modal dalam skala pembiayaan perbankan atau bantuan langsung. Dengan begitu, dia bisa memasarkan lapik ke pasar yang lebih luas.

"Kita mau tingkatkan usaha agar lebih besar, menjangkau pasar lebih luas. Tapi modalnya tidak ada," kata Rio.

Untuk bertahan tetap memproduksi lapik, Rio mengaku meminjam uang ke bank. Dia juga takut tidak bisa membayar, apalagi saat pandemi penjualan turun drastis.

Hal senada disampaikan Azizah (64), penganyam lapik Desa Koto Dian, Rawang.

Azizah awalnya dibimbing Ibunya untuk membuat lapik sampai halus dan bagus. Kini, dia mengajar menganyam lapik kepada dua putrinya.

"Saya dari ibu, kemudian saya ke anak-anak. Begitu terus sejak zaman dahulu," kata Azizah.

Novi Gustiar Pengawas Lapangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sungai Penuh menuturkan, untuk memperkenalkan lapik dan produk anyaman lain, mereka sudah melakukan pameran di berbagai kota besar.

Hasil pendataan mereka, ada 30 kelompok pengerajin anyaman di Sungai Penuh. Dia menyadari bahwa saat pandemi, semua penjualan turun.

"Kita sudah bantu berupa peralatan yang dibutuhkan untuk membuat anyaman," kata Gustiar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com