Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cendera Mata Lapik Koto Dian, dari Kursi Depati hingga Pelaminan

Kompas.com - 26/10/2020, 11:20 WIB
Suwandi,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

Lapik yang dibuat beraneka warna seperti biru, putih, hijau dan merah. Selain itu, ada banyak motif seperti melereng, bungo pecah selapeh dan belam tekurung.

Kemahiran kerajinan tradisional menganyam lapik sudah turun-temurun. Uniknya, hanya ada di Desa Koto Dian, Rawang.

Lapik yang dihasilkan umumnya ada dua, yakni terawang dan tempat duduk. Ukurannya rata-rata 50×50 sentimeter dengan ketebalan 1-2 sentimeter.

Media utama yang digunakan adalah daun pandan. Media pendukungnya kain furing, kain beludru, manik-manik, cat minyak, dan renda. Untuk finishing menggunakan plastik kaca.

Harga lapik terawang yang berfungsi sebagai sandaran duduk dibanderol dengan harga Rp 1,2 juta.

Sedangkan untuk lapik duduk biasa, dijual dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 700.000 per satuan.

Rio menjual lapik melalui sanggar anyaman lapik di rumahnya. Dia juga memanfaatkan media sosial sebagai media promosi.

Walau begitu, pembeli yang datang tidak hanya dari Kerinci, melainkan dari kota-kota besar seperti Jambi, Padang dan Jakarta, bahkan dari luar negeri.

Rio berharap pemerintah memberikan bantuan modal dalam skala pembiayaan perbankan atau bantuan langsung. Dengan begitu, dia bisa memasarkan lapik ke pasar yang lebih luas.

"Kita mau tingkatkan usaha agar lebih besar, menjangkau pasar lebih luas. Tapi modalnya tidak ada," kata Rio.

Untuk bertahan tetap memproduksi lapik, Rio mengaku meminjam uang ke bank. Dia juga takut tidak bisa membayar, apalagi saat pandemi penjualan turun drastis.

Hal senada disampaikan Azizah (64), penganyam lapik Desa Koto Dian, Rawang.

Azizah awalnya dibimbing Ibunya untuk membuat lapik sampai halus dan bagus. Kini, dia mengajar menganyam lapik kepada dua putrinya.

"Saya dari ibu, kemudian saya ke anak-anak. Begitu terus sejak zaman dahulu," kata Azizah.

Novi Gustiar Pengawas Lapangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sungai Penuh menuturkan, untuk memperkenalkan lapik dan produk anyaman lain, mereka sudah melakukan pameran di berbagai kota besar.

Hasil pendataan mereka, ada 30 kelompok pengerajin anyaman di Sungai Penuh. Dia menyadari bahwa saat pandemi, semua penjualan turun.

"Kita sudah bantu berupa peralatan yang dibutuhkan untuk membuat anyaman," kata Gustiar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com