Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Abrasi di Pantai Kuta Bali

Kompas.com - 18/10/2020, 14:24 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Pantai yang membentang di Kecamatan Kuta, Provinsi Bali terus menerus diancam abrasi. Sejumlah pihak khawatir, pantai-pantai ini akan hilang dalam beberapa dekade mendatang.

Dengan mengenakan kaos hitam, celana olahraga, kacamata dan topi di kepala, Made Supatra Karang berjalan perlahan di atas pasir menuju bibir Pantai Kuta.

Sesampainya di pinggir pantai, pria berusia 65 tahun itu memulai ritual sembahyang dengan memegang sesajen atau canang di tangan kiri dan dupa menyala di tangan kanan. Wajahnya lurus ke depan, menatap laut Pantai Kuta.

Berdoa pagi semacam ini rutin dilakukan Made Supatra Karang sebagai ungkapan syukur sekaligus upaya mendapatkan energi sebelum memulai aktivitas.

Baca juga: 8.023 Hektar Lahan di Pantura Tenggelam akibat Abrasi

Pada penghujung ritual, dia meletakkan canangnya di atas pasir, yang kala itu langsung tersapu ombak karena air laut sedang pasang.

Made Supatra Karang sudah sejak kecil akrab dengan kehidupan di Pantai Kuta. Ia sudah tumbuh bersama pantai jauh sebelum ramainya wisatawan domestik maupun turis mancanegara berdatangan ke Kuta.

Satu hal yang paling dirasakannya adalah semakin berkurangnya lahan Pantai Kuta, dibanding masa kecilnya dulu. Menurutnya, abrasi yang terjadi di pantai Kuta cukup fatal.

Baca juga: Abrasi di Galesong, Sulsel, Makin Parah, Tanggul Penahan Ombak Hancur

"Yang kami rasakan di Kuta ini, boleh dikatakan sangat fatal. Dari umur lima tahun saya di sini, saya sudah melihat perubahannya. Di titik sini misalnya," katanya menunjuk pinggir pantai.

"(Dulu) ada bangunan, kebun-kebun, sehari-hari orang lihat di sini ada pohon katang-katang."

"Kita telah kehilangan sekitar 100 meter akibat abrasi di pantai Kuta ini," katanya menaksir dampak abrasi.

Baca juga: Abrasi di Galesong, Sulsel, Makin Parah, Tanggul Penahan Ombak Hancur

Seberapa parah abrasi di Kecamatan Kuta?

Made Supatra Karang melakukan ritual keagamaan di Pantai Kuta.Sigit Purwono Made Supatra Karang melakukan ritual keagamaan di Pantai Kuta.
Pernyataan Made Supatra Karang mengenai abrasi bukan intuisinya belaka.

Secara umum, dari total pesisir Bali yang mencapai 633 km, lebih dari sepertiganya, sepanjang 230 km, kini tengah dilanda abrasi, menurut Made Denny Satya Wijaya selaku Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Air dari Balai Wilayah Sungai Bali Penida.

Spesifik di Kecamatan Kuta, yang pesisirnya mencakup antara lain Pantai Tuban, Kedongganan, Kuta, Legian, hingga Seminyak, rekam jejak abrasi tampak jelas.

Data pemerintah menunjukkan bahwa pada 1981-2010, Pantai Legian dan Seminyak mengalami kedalaman abrasi sejauh 5-15 meter.

Baca juga: Takut Rumah Ambruk karena Abrasi, Warga Sering Tak Tidur

"Kalau kita bicara kondisi pantai yang ada di Kuta, sebenarnya tahun 1970-an dan 1980-an itu sudah terjadi [abrasi]. Kami juga pernah melakukan studi di tahun 2009, itu kita potret melalui citra satelit. Ternyata di beberapa ruas pantai di Kuta, kemundurannya cukup besar. Rata-sata 5-15 meter kemundurannya," papar Made Denny Satya Wijaya.

Untuk memastikan bahwa pesisir sepanjang Kecamatan Kuta terjadi abrasi, sekelompok wartawan dan pegiat lingkungan yang didukung oleh Indonesian Data Journalism Network dan Internews' Earth Journalism berupaya menganalisis citra satelit dengan menggunakan Digital Shoreline Analysis System (DSAS).

Baca juga: 5 Rumah Terancam Ambruk Akibat Abrasi Sungai di Muara Enim

Foto hasil perekaman citra satelit Landsat (warna merah menandakan darat dan warna biru menandakan laut). Foto diambil dari tahun 1972 hingga 2020 dan memberikan gambaran terkait perubahan garis pantainyaLandsat/Alessandro Pradipta Foto hasil perekaman citra satelit Landsat (warna merah menandakan darat dan warna biru menandakan laut). Foto diambil dari tahun 1972 hingga 2020 dan memberikan gambaran terkait perubahan garis pantainya
Seperti diketahui, perbedaan panjang gelombang elektromagnetik yang ditangkap oleh satelit dapat memisahkan obyek darat dengan laut. Garis pertemuan dari kedua obyek tersebut digambarkan sebagai garis pantai.

Melalui data lembaga United States Geological Survey yang dapat diakses publik ini, Sigit Purwono, Hanggar Prasetio, dan Komang Robby Patria bisa memahami tingkat keparahan abrasi pantai di Kecamatan Kuta.

Baca juga: Abrasi Pantai Galesong. Sulsel, Puluhan Rumah dan Kuburan Hilang

Data menunjukkan tren abrasi pantai di sepanjang Kecamatan Kuta mencapai -0,46, yang artinya, dari 1972 hingga 2020, terjadi pengikisan pantai sebesar 46 cm per tahun.

Di beberapa titik terparah, abrasi bisa mencapai sekitar 55 meter dalam 48 tahun terakhir (1972-2020).

Hasil pantauan melalui satelit Landsat menunjukkan bahwa pada setiap tahun pengamatan, garis pantai Kuta berubah-ubah seperti pada gambar di bawah ini.
abrasi pantai

Baca juga: Gubernur Sulsel Janji Akan Tangani Abrasi Pantai Galesong

Bagaimana penanganannya?

Akar dari pohon ketapang yang terkikis oleh abrasi.Sigit Purwono Akar dari pohon ketapang yang terkikis oleh abrasi.
Menyusutnya garis pantai di Bali, dan secara khusus di Kuta, mendapat perhatian pemerintah provinsi setempat. Lebih dari 100 kilometer garis pantai telah ditangani, kata Made Denny Satya Wijaya selaku Kepala Satuan Kerja Pelaksanaan Jaringan Air dari Balai Wilayah Sungai Bali Penida.

Salah satu wujudnya, pantai yang berada di belakang Mall Centro, Jalan Kartika Plaza, dipasangi tumpukan batu-batu kapur untuk menahan air laut.

"Abrasinya parah, sudah berlangsung lama. Sampai beberapa waktu lalu masih kita lakukan penanganan," ujarnya.

Baca juga: 4 Keluarga Terdampak Abrasi Laut Akhirnya Dipindahkan ke Rumah Sewa

Dia menambahkan, proyek pengamanan pantai di sepanjang Kuta sudah selesai pada 2009. Namun mereka juga terus melakukan survei setelah ada indikasi terjadinya abrasi di satu wilayah.

Setelah diidentifikasi penyebab, solusi konstruksi akan diajukan dan dieksekusi.

Umumnya, selain disebabkan faktor cuaca ekstrem, abrasi di Bali juga disebabkan oleh ulah manusia seperti pembangunan di pesisir yang tak berkelanjutan.

Baca juga: Satu Kampung di Karawang Terancam Hilang akibat Abrasi Laut

"Lokasi-lokasi tertentu yang memang itu diakibatkan adanya konstruksi oleh pihak swasta yang memang dalam proses perencanaannya, pelaksanaan, tidak dilakukan dengan koordinasi yang baik dan perhitungan yang tepat," kata Made Denny Satya Wijaya.

Menanggapi pernyataan tersebut, pakar tata ruang Rumawan Salain menyoroti pembangunan di pesisir yang tidak dilengkapi dengan upaya perlindungan alam yang memadai.

Dia mendorong pemerintah untuk bergerak cepat, sehingga kerusakan dapat diminimalisir.

Baca juga: McDonald’s Kuta Beach Tutup, Satpol PP Berjaga agar Kejadian di Sarinah Tak Terulang

"Pantai itu ada dewanya, Baruna. Saat orang meninggal, upacaranya ada urusannya dengan laut. Di satu sisi, pantai juga fungsi publiknya."

"Dan, bukankah setiap perhelatan [agama] jadi pertunjukan di Bali ini? (Pantai) jangan sampai hilang, segera ditangani, segera didata, ambil prioritas," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com