KULON PROGO, KOMPAS.com– Sebanyak empat penari kuda lumping berendam di sungai Bendung Khayangan pada Kalurahan (desa) Pendoworejo, Kapanewon (kecamatan) Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (14/10/2020).
Mereka menari sambil menceburkan diri bersama kuda lumpingnya ke kedung sungai.
Penari jatilan kali ini warga kalurahan setempat. Mereka menamai sebagai guyang jaran (warga setempat menyebutnya ngguyang jaran).
Baca juga: Ritual Adat Potong Kerbau Iringi Pendaftaran Calon Bupati Perempuan Pertama di TTU
Kuda lumping berendam di sebuah tempuran (pertemuan dua) sungai, yakni Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan, di Bendung Kayangan, sejatinya bukan tontonan biasa.
Ini bagian dari Festival Kembul Sewu Dhulur, sebuah tradisi turun temurun bagi warga Pendoworejo.
Festival itu berlangsung pada Rabu terakhir bulan Safar atau Saparan Rebo Pungkasan sebagai bentuk syukuran warga atas rahmat Tuhan.
Masing-masing keluarga membawa makanan bikinan sendiri dengan menu kenduri. Mereka kemudian menyantap makanan bersama dan saling berbagi satu dengan lain.
Dalam bahasa Jawa, kata ‘kembul’ berarti bersama, ‘sewu’ berarti seribu, sedangkan ‘dulur’ adalah saudara.
Kembul Sewu Dulur pun bermakna kebersamaan di antara warga yang sudah seperti saudara sendiri.
Baca juga: Kerap Menyerang Warga, 2 Buaya Dipotong dan Dikafani dalam Ritual Adat
Ratusan warga biasanya hadiri festival ini, tapi di masa pandemi, semua justru berlangsung sederhana.
Tidak ada kirab dan pentas seni. Covid-19 mengubah suasana. Acara pun sederhana, cuma menyampaikan doa dan makan bersama.
“Warga sudah merasa bahwa tradisi ini bagian dari hidupnya. Tapi, karena kita juga terikat mendukung upaya pencegahan Covid-19, maka upacara ini tetap dilaksanakan walau sederhana. Maka tidak ada kirab dan pentas seni,” kata Lurah Pendoworejo, Mustakim dalam sambutannya, Rabu (14/10/2020).