Dia menambahkan, bila biasanya yang datang dari sembilan pedukuhan, kini hanya kurang dari 30 orang yang datang.
Mereka dari Pedukuhan Turusan, Tileng dan Kepek.
“Hanya tiga saja perwakilan dari tiga desa yang hadir. Itu pun pedukuhan sekitar,” kata Mustakim.
Syukuran juga sekaligus mengenang peran Mbah Bei Kayangan, orang pertama di kawasan itu.
Dia yang mengawali berdomisili di sini, sampai kemunculan penduduk.
Baca juga: Tangga Kuno dan Misteri Kompleks Candi di Dataran Tinggi Dieng, Pusat Ritual dan Pendidikan Agama?
Mbah Bei Kayangan berjasa membangun bendungan, membuat pengairan, membuat masyarakat sekarang jadi makmur dan pertanian maju.
Bersih Diri di Tengah Pandemi
Mulyono (69), pemangku adat Pendoworejo. Dia mengartikan tradisi ngguyang jaran (kuda kepang mandi di kali) sebagai gambaran mencuci diri atau bersih diri, sama dengan bersih desa ataulah merti desa.
Artinya, dengan bersih diri maka orang kembali menjadi baik.
Pada masa Covid-19, bagi Mulyono, kuda kepang mandi bukan sekadar ritual. Ini menjadi pengingat, di situasi pandemi maka membersihkan diri menjadi utama.
Sikap hidup yang selalu bersih akan membuat hidup masyarakat selalu sehat.
Masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal soal protokol kesehatan.
Baca juga: Wapres: Batik Merupakan Refleksi Keberagaman Budaya Indonesia
Dia mencontohkan bagaimana masyarakat dulu meletakkan kamar mandi dan sumur di luar rumah, meja dan kursi tamu itu panjang dan duduk memberi jarak jauh.
“Ini menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa itu di masa lalu punya prinsip harus bersih sebelum masuk rumah. Rumah punya lincak (kursi) panjang, ya itu duduk itu berjauhan,” kata Mulyono.