Pada tahun 2018, pemerintah akhirnya mulai memberikan sentuhan.
Bantuan awal yang dirasakan Endang adalah pengobatan medis selama satu tahun atau dua kali berobat, dan tidak bisa diperpanjang dengan alasan bukan korban langsung teror.
Kemudian pada tahun 2019, ia dan anaknya mendapatkan Kartu Indonesia Sehat dari Pemerintah Denpasar dan bantuan sembako dari BNPT.
Namun bantuan tersebut tidak setimpal dengan luka traumatis yang mengores kehidupan Endang dan anaknya.
Endang menghabiskan separuh hidupnya berpindah tempat tinggal dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Baca juga: Terpidana Bom Bali Umar Patek Diusulkan Dapat Pembebasan Bersyarat
Kini Endang bersama ketiga anak dan satu menantunya menyewa dua kamar kos.
Endang menyambut baik keputusan Jokowi yang membuka pintu pemberian kompensasi kepada korban teror masa lalu melalui PP No.35 tahun 2020.
Walaupun sampai sekarang ia mengaku belum ada pihak pemerintah yang menghubungi dan belum mendapatkan sosialisasi tentang pelaksanaan dari PP tersebut.
Endang yang tidak pernah meminta bantuan ke pemerintah berharap untuk terakhir kalinya yaitu agar diberikan tempat tinggal yang tetap sehingga ia bisa menghabiskan hari-hari tanpa perlu berpindah-pindah.
"Saya berharap sih dapat tempat tinggal saja, dan sangat berterima kasih untuk itu, Masa sampai tua di kos-kos terus," katanya.
Baca juga: Istri Terpidana Bom Bali Umar Patek Resmi Jadi WNI
Dari kecil Garil dan adik-adiknya bergantung pada bantuan donator swasta dan penghasilan menjahit ibunya.
Saat duduk di bangku SMA, Garil bersekolah dari pagi hingga siang dan kemudian bekerja sebagai penjaga toko dengan penghasilan Rp 600 ribu per bulan.
Garil mampu menyelesaikan kuliah dari sumbangan lembaga swasta. Lulus kuliah ia bekerja di studio foto dengan gaji Rp 1,1 juta hingga akhirnya membuka usaha fotografi sendiri.
Baca juga: Cerita Keluarga Korban Bom Bali, Tak Bisa Lupakan Tapi Sudah Memaafkan
Namun pandemi virus corona membuat pesanan tidak ada.
"Sepanjang hidup saya tidak pernah dapat bantuan dari pemerintah, dari biaya sekolah SD hingga kuliah dari swasta."
"Sekarang kami kos, tidak punya tempat tinggal, hujan sedikit banjir, air masuk kasur itu sudah biasa."
"Saya merasa tidak diperhatikan. Kami bertahan hidup sendiri tidak dari pemerintah," kata Garil yang kini berusia 28 tahun.
Baca juga: Warga Jepang yang Kehilangan Keluarga Berdoa di Monumen Bom Bali
Hal itu disebabkan karena adanya kebuntuan aturan dan minimnya keinginan politik dalam pemenuhan hak korban.
"Korban Bom Bali tidak pernah mendapatkan haknya. Kalaupun dapat hanya bantuan yang sifatnya bukan hak tapi belas kasihan dari pihak tertentu karena tidak dijamin UU dan tidak jelas mekanismenya."
"Fase amnesia itu berlangsung dalam waktu panjang dari 2003 hingga 2014," katanya.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Bom Bali I Renggut 202 Nyawa
Kemudian pada 2014, kata Hasibullah, terjadi sedikit perbaikan dimana LPSK mulai mengakomodir hak korban seperti medis, psikologis dan psikososial.
"Jadi negara baru memberikan hak korban setelah 2014. Teknik implementasi selalu ada kurangnya, tapi secara normatif aturan jauh lebih baik," katanya.
Perbaikan kembali terjadi melalui Revisi UU antiterorisme tahun 2018 karena memuat aturan tambahan tentang tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kompensasi untuk korban teror lama.
Ia pun menyambut baik keputusan Jokowi yang menandatangani PP No.35 tahun 2020 dengan harapan agar hak korban teror khususnya kompensasi dan restitusi dapat segera terpenuhi.
Baca juga: Terduga Teroris Tewas Ditembak Sebelum Diadili, Keluarga Sesalkan Tindakan Aparat
Untuk itu, Hasibullah menyarankan agar pemerintah lebih masif melakukan sosialisasi kepada korban teror dari tahun 2002 hingga sekarang agar proses pemenuhan hak bisa segera dilakukan.