Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Para Korban Teror Bom yang "Dilupakan" Negara, Diusir dari Kontrakan dan Menanggung Utang

Kompas.com - 13/08/2020, 06:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ditinggal mati suaminya yang menjadi korban Bom Bali, Endang selama belasan tahun membesarkan tiga anaknya nyaris tanpa bantuan setimpal dari negara.

Kini dia berharap keputusan Presiden Jokowi membuka pintu pemberian kompensasi dapat mengurangi deritanya.

Belum kering air mata di pipi akibat ditinggal suami yang meninggal karena aksi teror bom Bali I pada tahun 2002, Endang Isnanik dan ketiga anaknya yang masih kecil diusir dari rumah kontrakan, dan dililit utang Rp 12 juta.

Baca juga: Sosok Napiter Kasus Bom Bali II di Mata Adik Kandung: Pernah Kerja Bareng dan Mengajar Mengaji

Endang yang menderita sakit radang sendi rheumatoid arthritis menceritakan betapa pilu perjuangan hidup yang dialami dalam membesarkan anak-anak tanpa pernah sekalipun mendapatkan bantuan pemerintah dari tahun 2002 hingga 2018.

"Saya ibu rumah tangga, tidak punya pekerjaan, anak-anak masih kecil, menderita sakit radang sendi akut yang kadang membuat saya tidak bisa berjalan.

"Pemerintah tidak hadir di fase hidup terberat saya, para korban dibiarkan berjuang sendiri, tidak dipedulikan," kata Endang melalui telepon kepada wartawan BBC News Indonesia.

Baca juga: Subur Sugianto, Napi Teroris Kasus Bom Bali II Meninggal Dunia

Dari tahun 2018 hingga sekarang, bantuan yang diterima dari pemerintah, menurut Endang tidak sebanding dengan beban kehidupan yang ia hadapi.

Ia mengungkapkan hanya mendapatkan bantuan berobat medis selama dua kali atau satu tahun dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lalu mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari Pemerintah Denpasar, dan bantuan sembako sekali dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi menyebut apa yang dialami Endang dan korban teror masa lalu sebagai "amnesia massal" karena ketiadaan peran pemerintah. Dan sebaliknya bantuan mengalir dari negara lain dan masyarakat.

Baca juga: Cerita Putra Amrozi Pelaku Bom Bali I, Sempat Dikucilkan, Tak Ingin Anak Alami Hal Sama

Endang kini berharap uluran tangan nyata dari pemerintah usai Presiden Joko Widodo menandatangani PP No. 35 Tahun 2020 tentang "Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban" pada tanggal 7 Juli 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 8 Juli 2020.

Dalam PP tersebut negara akan menutupi setiap kerugian yang nyata diderita setiap korban dalam bentuk berupa kompensasi, bantuan medis, dan psikologis.

Baca juga: Mereka Menuduh Kami Lebih Kafir dari Polisi, Kata Adik Trio Bom Bali I Soal Perangnya Melawan Radikalisasi

Dari 'tangis darah' hingga kepasrahan

Garil, bersama bapak, ibu dan dua adiknya. dok BBC Indonesia Garil, bersama bapak, ibu dan dua adiknya.
Namanya adalah Endang Isnanik. Ia menikah dengan Aris Munandar pada tahun 1991 dan pindah ke Bali.

Kini Endang, ketiga anaknya dan satu menantu menyewa dua kamar kos seharga Rp 700 ribu masing-masing. Mereka tidak bekerja akibat wabah virus corona yang merusak perekonomian Bali, dan Indonesia secara umum.

Air merendam tempat tidur Endang dan anaknya menjadi ritual rutin di kala hujan datang.

Pada tahun 2000, setelah melahirkan anak ketiga, Endang mengalami sakit radang sendi rheumatoid arthritis yang menyebabkannya sulit berjalan.

Baca juga: Cerita Garin Anak Korban Bom Bali I, Lihat Jenazah Ayahnya Hangus dan Memilih Mengurung Diri

"Kemudian tahun 2002 suami saya meninggal mendadak. Tempat satu-satunya gantungan saya pergi. Itu membuat saya kaget, depresi, dan memperburuk kondisi [kesehatan].

"Jadi setelah kejadian saya benar-benar hidup segan mati tak mau, kenapa tidak saya saja yang meninggal," kata Endang yang saat itu berusia 31 tahun.

Belum sembuh luka di hati, cobaan kembali menerpa. Endang dan ketiga anaknya yang saat itu berusia 10 tahun, 5 tahun dan 2 tahun, diusir dari rumah kontrakan yang masih menyisakan tujuh tahun dari total sewa 10 tahun.

Baca juga: Ahli yang Otopsi Balita Tanpa Kepala Pernah Tangani Bom Bali hingga Pesawat Jatuh di Rusia

"Saya menangis darah habis-habisan, sampai tidak keluar lagi air matanya. Bayangkan, dua bulan ditinggal suami, kondisi sakit, tidak ada uang, tidak ada pekerjaan, tapi harus cari kontrakan baru. Menyedihkan sekali," katanya.

Tidak berhenti di situ, ia pun harus berurusan dengan bank perkreditan rakyat (BPR) setempat karena suaminya memiliki utang sebesar Rp 12 juta.

Dalam kondisi sakit ia melewati permasalahan satu demi satu tanpa ada uluran tangan pemerintah.

Baca juga: Saat Garil Anak Korban Bom Bali I Bertemu Ali Imron Pelaku Pengeboman

Ayah Garil memarkir mobilnya di depan Sari Club untuk menunggu penumpang. Getty Images Ayah Garil memarkir mobilnya di depan Sari Club untuk menunggu penumpang.
"Sikap pasrah dan anak-anak menjadi motivasi saya untuk bangkit. Bantuan mulai berdatangan dari LSM, swasta dan asing, tapi tidak ada sedikit pun bantuan dari pemerintah," katanya.

"Titik baliknya saya mendapat bantuan belajar menjahit dari orang asing, dan membuka usaha menjahit," ujarnya.

Dari usaha menjahit, Endang dapat menghidupi ketiga anaknya.

Baca juga: Berdialog dengan Eks Napi Teroris Bom Bali I, Ganjar: Nyesal Enggak Berbuat Jahat?

Namun, ia tidak bisa rutin menjahit karena sakit radang sendi yang rutin menyerang.

"Saya bisa terbaring di kasur berhari-hari kalau kelelahan, pernah sesak nafas kayak mau hampir meninggal. Saat itu, anak-anak yang mengurus saya."

"Mereka juga utang makan di warung. Anak-anak jadi mandiri," kata Endang yang mendapat penghasilan tak menentu dari menjahit mulai nol rupiah hingga Rp 2 juta.

Baca juga: Saat Garil Anak Korban Bom Bali I Bertemu Ali Imron Pelaku Pengeboman

Bantuan yang tidak setimpal

Garil Arnandha (kanan) bersama ibunya dalam Peringatan Bom Bali 1, peringatan pertama yang ia hadiri setelah 17 tahun berlalu dok BBC Indonesia Garil Arnandha (kanan) bersama ibunya dalam Peringatan Bom Bali 1, peringatan pertama yang ia hadiri setelah 17 tahun berlalu
Pada tahun 2018, pemerintah akhirnya mulai memberikan sentuhan.

Bantuan awal yang dirasakan Endang adalah pengobatan medis selama satu tahun atau dua kali berobat, dan tidak bisa diperpanjang dengan alasan bukan korban langsung teror.

Kemudian pada tahun 2019, ia dan anaknya mendapatkan Kartu Indonesia Sehat dari Pemerintah Denpasar dan bantuan sembako dari BNPT.

Namun bantuan tersebut tidak setimpal dengan luka traumatis yang mengores kehidupan Endang dan anaknya.

Endang menghabiskan separuh hidupnya berpindah tempat tinggal dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

Baca juga: Terpidana Bom Bali Umar Patek Diusulkan Dapat Pembebasan Bersyarat

Kini Endang bersama ketiga anak dan satu menantunya menyewa dua kamar kos.

Endang menyambut baik keputusan Jokowi yang membuka pintu pemberian kompensasi kepada korban teror masa lalu melalui PP No.35 tahun 2020.

Walaupun sampai sekarang ia mengaku belum ada pihak pemerintah yang menghubungi dan belum mendapatkan sosialisasi tentang pelaksanaan dari PP tersebut.

Endang yang tidak pernah meminta bantuan ke pemerintah berharap untuk terakhir kalinya yaitu agar diberikan tempat tinggal yang tetap sehingga ia bisa menghabiskan hari-hari tanpa perlu berpindah-pindah.

"Saya berharap sih dapat tempat tinggal saja, dan sangat berterima kasih untuk itu, Masa sampai tua di kos-kos terus," katanya.

Baca juga: Istri Terpidana Bom Bali Umar Patek Resmi Jadi WNI

Makan hingga kuliah dari bantuan dari swasta

Emosi saya menggebu-gebu setiap mengingat bapak, kata Garil. dok BBC Indonesia Emosi saya menggebu-gebu setiap mengingat bapak, kata Garil.
Anak tertua Endang, Garil Arnandha yang tahun lalu menikah, bercerita bagaimana ia bertahan hidup dan menyelesaikan pendidikan tanpa sedikit pun bantuan pemerintah.

Dari kecil Garil dan adik-adiknya bergantung pada bantuan donator swasta dan penghasilan menjahit ibunya.

Saat duduk di bangku SMA, Garil bersekolah dari pagi hingga siang dan kemudian bekerja sebagai penjaga toko dengan penghasilan Rp 600 ribu per bulan.

Garil mampu menyelesaikan kuliah dari sumbangan lembaga swasta. Lulus kuliah ia bekerja di studio foto dengan gaji Rp 1,1 juta hingga akhirnya membuka usaha fotografi sendiri.

Baca juga: Cerita Keluarga Korban Bom Bali, Tak Bisa Lupakan Tapi Sudah Memaafkan

Namun pandemi virus corona membuat pesanan tidak ada.

"Sepanjang hidup saya tidak pernah dapat bantuan dari pemerintah, dari biaya sekolah SD hingga kuliah dari swasta."

"Sekarang kami kos, tidak punya tempat tinggal, hujan sedikit banjir, air masuk kasur itu sudah biasa."

"Saya merasa tidak diperhatikan. Kami bertahan hidup sendiri tidak dari pemerintah," kata Garil yang kini berusia 28 tahun.

Baca juga: Warga Jepang yang Kehilangan Keluarga Berdoa di Monumen Bom Bali

'Amnesia massal' hak korban masa lalu

Kondisi lahan eks Sari Club saat ini dijadikan tempat parkir di kawasan Kuta yang ramai. (ABC News/Phil Hemingway) Kondisi lahan eks Sari Club saat ini dijadikan tempat parkir di kawasan Kuta yang ramai. (ABC News/Phil Hemingway)
Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi menyebut kondisi yang menimpa Endang dan korban teror masa lalu lainnya sebagai fase 'amnesia massal' negara.

Hal itu disebabkan karena adanya kebuntuan aturan dan minimnya keinginan politik dalam pemenuhan hak korban.

"Korban Bom Bali tidak pernah mendapatkan haknya. Kalaupun dapat hanya bantuan yang sifatnya bukan hak tapi belas kasihan dari pihak tertentu karena tidak dijamin UU dan tidak jelas mekanismenya."

"Fase amnesia itu berlangsung dalam waktu panjang dari 2003 hingga 2014," katanya.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Bom Bali I Renggut 202 Nyawa

Kemudian pada 2014, kata Hasibullah, terjadi sedikit perbaikan dimana LPSK mulai mengakomodir hak korban seperti medis, psikologis dan psikososial.

"Jadi negara baru memberikan hak korban setelah 2014. Teknik implementasi selalu ada kurangnya, tapi secara normatif aturan jauh lebih baik," katanya.

Perbaikan kembali terjadi melalui Revisi UU antiterorisme tahun 2018 karena memuat aturan tambahan tentang tanggung jawab pemerintah dalam memberikan kompensasi untuk korban teror lama.

Ia pun menyambut baik keputusan Jokowi yang menandatangani PP No.35 tahun 2020 dengan harapan agar hak korban teror khususnya kompensasi dan restitusi dapat segera terpenuhi.

Baca juga: Terduga Teroris Tewas Ditembak Sebelum Diadili, Keluarga Sesalkan Tindakan Aparat

Untuk itu, Hasibullah menyarankan agar pemerintah lebih masif melakukan sosialisasi kepada korban teror dari tahun 2002 hingga sekarang agar proses pemenuhan hak bisa segera dilakukan.

Dalam penjelasan UU Antiterorisme, korban dibagi dua yaitu korban langsung dan tidak langsung.

Korban langsung adalah korban yang langsung mengalami dan merasakan akibat tindak pidana terorisme.

Sedangkan korban tidak langsung adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada korban langsung, seperti istri dan anak yang kehilangan suami yang merupakan korban langsung.

Baca juga: Terduga Teroris Tewas Ditembak Densus 88 di Sukoharjo

Lalu bagaimana mekanismenya?

Aksi doa bersama memperingati korban serangan Bom Bali II (3 Oktober 2005). Serangan bom ini menewaskan 26 orang. Getty Images/Dimas Ardian Aksi doa bersama memperingati korban serangan Bom Bali II (3 Oktober 2005). Serangan bom ini menewaskan 26 orang.
Permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis diajukan kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban, yaitu LPSK.

Usai ditandatanganinya PP No.35 tahun 2020, Endang, korban teror Bom Bali I bertanya, "lalu bagaimana mekanisme agar saya dapat kompensasi?"

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menjawab bahwa LPSK akan segera melakukan sosialisasi kepada para korban usai proses adminstrasi dan anggaran terpenuhi.

"Kami belum bisa melakukan apapun karena belum dapat salinannya, dan masih menunggu Kemenkeu terkait alokasi dana dan skemanya. Setelah itu selesai kami akan segera melakukan sosialisasi, pendataan dan pemberian kompensasi," katanya.

Baca juga: Wayang Golek: Dakwah, Soekarno, hingga Bom Bali...

LPSK berjanji akan bergerak cepat karena proses permohonan kompensasi berdasarkan UU Antiterorisme tahun 2018 hanya dibatasi tiga tahun yang artinya tinggal menyisakan satu tahun lagi, sesuai Pasal 43L ayat 4 UU antiterorisme.

"Berdasarkan UU, setelah tahun 2021 korban teror lama tidak bisa mengajukan hak kompensasi lagi. Maka itu, kami akan segera sosialisasi karena tidak semua korban masa lalu mengetahui punya hak kompensasi, dan dilakukan assessment untuk menentukan besaran kompensasi berdasarkan derajat luka hingga meninggal dunia."

Mengenai mekanismenya, Hasto mengatakan bahwa kompensasi tidak perlu melalui putusan pengadilan, melainkan cukup surat keterangan dari BNPT maupun kepolisian yang menjelaskan bahwa mereka adalah korban teror, untuk kemudian mengajukan kompensasi melalui LPSK.

Baca juga: 3 Terduga Teroris Sempat 2 Bulan Tinggal di Kampar, Lurah Akui Kecolongan

Terkait dengan keluhan Endang bahwa negara tidak hadir di fase sulit kehidupan korban teror masa lalu, Hasto mengakui kelemahan tersebut.

Menurut Hasto, negara tidak memberikan perhatian serius kepada korban selama belasan tahun, bahkan perhatian yang besar muncul dari negara lain.

"Kalau dulu, korban mungkin dianggap sebagai kecelakaan atau orang yang ada di tempat dan waktu yang salah sehingga menjadi korban."

"Tapi dengan aturan baru yang progresif ini maka korban dinyatakan sebagai tanggung jawab negara yang salah satu tanggung jawabnya adalah pemberian kompensasi kepada korban," katanya.

Baca juga: 3 Terduga Teroris Mengontrak Rumah di Kampar dan Bawa KK Orang Lain

'Angin segar' pemerintah

Sejumlah melintas di kawasan Monumen Bom Bali, Kuta, Badung, Bali, Sabtu (21/3/2020). Kawasan wisata yang biasanya ramai dan padat kendaraan saat ini menjadi lebih lengang setelah adanya edaran Pemprov Bali agar masyarakat melakukan aktivitas di rumah dan menerapkan Social Distancing atau menjaga jarak untuk pencegahan penyebaran COVID-19.ANTARA FOTO/NYOMAN HENDRA WIBOWO Sejumlah melintas di kawasan Monumen Bom Bali, Kuta, Badung, Bali, Sabtu (21/3/2020). Kawasan wisata yang biasanya ramai dan padat kendaraan saat ini menjadi lebih lengang setelah adanya edaran Pemprov Bali agar masyarakat melakukan aktivitas di rumah dan menerapkan Social Distancing atau menjaga jarak untuk pencegahan penyebaran COVID-19.
Walaupun telah dua tahun terlewati dan hanya menyisakan satu tahun lagi, angin segar bagi para korban masa lalu kembali berhembus usai Jokowi menandatangani PP No. 35 Tahun 2020 tentang "Perubahan PP Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban".

Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono mengatakan, dalam PP itu negara akan menutupi setiap kerugian yang nyata diderita setiap korban.

Bentuknya berupa kompensasi, bantuan medis, dan psikologis.

Baca juga: Densus 88 Tangkap 3 Terduga Teroris di Kampar

"Permohonan tersebut akan diperiksa oleh LPSK, dimana LPSK akan menghitung kerugian yang dialami korban. Besaran nilai kerugian ditetapkan oleh LPSK atas persetujuan menteri keuangan," tambahnya

Lalu, "Detail tata cara penghitungan kerugian, pemberian, dan pelaporan kompensasi atau ganti kerugian ini akan diatur dalam Peraturan LPSK," kata Dini.

Sudah hampir satu bulan PP No.35 ditandatangani, Endang dan Garil belum mendapatkan informasi resmi dari pihak pemerintah.

Baca juga: Orangtua Terduga Teroris di Ambon: Anak Saya Normal-normal Saja

Ia hanya mengetahui PP tersebut dari media massa.

Waktu yang dimiliki oleh Endang dan korban teror masa lalu lainnya kini hanya tersisa sekitar sembilan bulan lagi untuk mendapatkan haknya berupa kompensasi sebagai korban.

"Dari dulu hingga sekarang saya kecewa sama pemerintah, tapi mau bagaimana, mungkin mereka lagi banyak urusan jadi kami tidak pernah dilirik. Tapi, melalui PP ini saya harap semua akan berubah," kata Garil.

"Semoga," ujar Garil dengan pasrah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com