Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duduk Perkara Konflik Lahan PTPN II, hingga 170 Petani Sumut Nekat Jalan Kaki ke Jakarta

Kompas.com - 17/07/2020, 14:20 WIB
Dewantoro,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

Pada tahun 2009 keluar izin perpanjangan kepada pihak PTPN II Deli Serdang seluas 854 hektar dengan sertifikat hak guna usaha No. 171/2009 meskipun belum melaksanakan rekomendasi tim B Plus untuk menyelesaikan masyarakat yang ada di dalamnya.

Hingga pada tahun 2017 petani dikejutkan dengan pemasangan plang oleh pihak PTPN II Deli Serdang dengan Nomor sertifikat hak guna usaha (SHGU) No. 171 tahun 2009.

Pihak PTPN II dikawal oleh ribuan aparat TNI-POLRI menggusur lahan–lahan pertanian masyarakat dan seluruh tanaman yang ada sehingga terjadi perlawanan masyarakat dari tiga desa yang selama ini mengelola lahan tersebut.

Petani kemudian membentuk Serikat Petani Simalingkar Bersatu guna melakukan perlawanan dan kembali bercocok tanam pada area tersebut.

Pada tahun bulan Oktober 2019 SPSB mengetahui di area akan dibangun ribuan perumahan yang bekerja sama dengan pihak perumnas Sumatera Utara. Dari yang awalnya SHGU nomor 171/2009, menjadi SHGB nomor 1938 dan 1939 atas nama PTPN II. Atas hal tersebut SPSB menuntut agar SHGB tersebut dbatalkan.

Konflik lahan petani Sei Mencirim dengan PTPN II

Konflik serupa terjadi antara petani Sei Mencirim dengan PTPN II atas lahan seluas 500 hektar dan berlangsung puluhan tahun. Bermula tahun 1877 -1927 saat Belanda membuka perusahaan tembakau di Sei Mencirim atau Seongei Mentjirim bernama Tabak Maatschappu seluas 5.436 hektar.

Kekalahan perang membuat Belanda angkat kaki dari lahan tersebut dan tahun 1952, Presiden Sukarno memerintahkan kepada seluruh pejuang untuk menguasai dan bercocok tanam di lahan yang pernah dikuasai Belanda.

Dengan dasar inilah, rakyat (Laskar Pejuang Kemerdekaan) Sei Mencirim, Namo Rube Julu, Namo Rube Jahe, Salang Paku, Salang Tunas, dan Tanjung Pamahmulai bercocok tanam hingga membuat tempat tinggal atau rumah gubug untuk menghidupi keluarganya di atas tanah seluas lebih kurang 500 hektar.

Dan pada tahun 1959 pemerintah daerah yaitu Bupati Abdullah Eleng membentuk sebuah Badan Penyelesaian Persengketaan Tanah Sumatera Timur (BPPST) untuk menghindari konflik atau sengketa tanah yang ada di Desa Sei Mencirim, Namo Rube Julu dan sekitarnya. Penertiban di lahan tersebut dimulai tahun 1961 dan mengakibatkan konfik berkepanjangan hingga 11 Maret 2020.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com