Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ombudsman: Semua Pungutan Sekolah Dilarang, Kepsek Jangan Coba Menyiasati Wali Murid

Kompas.com - 12/07/2020, 19:58 WIB
Iqbal Fahmi,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

PURWOKERTO, KOMPAS.com - Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Regional Jawa Tengah, Siti Farida angkat bicara terkait polemik pungutan sekolah dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Banyumas, Jawa Tengah tahun ajaran 2020-2021.

Siti menegaskan, seluruh pungutan dan sumbangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012. Dalam Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan, satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan / atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

“Apapun bentuknya, satuan pendidikan dasar di bawah pemerintah dilarang memungut iuran, titik, tidak ada alasan apapun,” katanya saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (10/7/2020).

Baca juga: Larangan Bupati Banyumas Tak Diindahkan, Pungutan Sekolah Tetap Dilakukan hingga Wali Murid Diminta Buat Surat Pernyataan

Siti menyebut, selama ini banyak aduan terkait modus yang dilakukan sekolah mulai dari dalih untuk mengganti seragam, buku hingga pelampiran surat kesediaan orang tua berdasarkan kesepakatan komite sekolah.

Modus semacam itu, kata Siti, dianggap kepala sekolah sebagai surat sakti untuk melegalkan praktik pungutan kepada wali murid.

Padahal dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf (a) menyebut, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di sekolah.

“Nah ini yang kadang-kadang sering disalahpahami, salah kaprah semuanya. Saya bicara saja terus terang, seringnya malah terjadi penyiasatan (oleh sekolah),” katanya. 

Baca juga: Bupati Banyumas Akan Copot Kepala Sekolah yang Tarik Pungutan dari Wali Murid

Untuk itu, masalah kebutuhan seragam dan lain-lain, kata dia, sebaiknya diserahkan kepada wali murid. Wali murid difasilitasi untuk bermusyawarah dengan komite sekolah dan segala keputusan tidak pula menjadi kewajiban yang memberatkan.

“Jadi kalau sifatnya wajib dan ada jangka waktunya itu konteksnya pungutan, jadi harus dikembalikan, sudah betul itu Pak Bupati,” katanya.

 

Meski demikian, ada sejumlah sekolah yang merasa keberatan untuk mengembalikan pungutan karena terlanjur mengambil kain dari rekanan dan dipotong sesuai ukuran murid. Siti pun menyebut jika aturan bersifat rigid dan tidak ada toleransi.

“Kalau bilang terlanjur ada rekanan, lho kalau ada rekanan berarti dia (sekolah) pengadaan dong, siapa yang menyuruh ada pengadaan? Ini (Permendikbud) penting,” ujarnya.

Untuk itu, Siti berpesan kepada wali murid untuk melapor jika tidak ada itikat baik dari sekolah untuk mengembalikan pungutan. Sebab dia khawatir budaya pungutan ini akan terus terjadi jika wali murid selalu bersikap maklum.

“Sebaiknya disampaikan dulu ke satuan pendidikan langsung. Kalau dirasa masih susah bisa mengirimkan laporan melalui instansi terkait yakni dinas pendidikan dan inspektorat, dan kalau misal belum merasa terselesaikan bisa melaporkan ke Ombudsman,” terangnya.

Disinggung mengenai sanksi, Siti mengungkapkan jika semua tindakan pelanggaran terhadap Permendikbud pasti ada sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Apalagi kan Pak Bupati sudah jelas komitmennya, laporkan saja langsung ke bupati,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com