Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penjegal Solo Kota Layak Anak

Kompas.com - 03/06/2020, 00:19 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Khairina

Tim Redaksi

Kabid Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPPA dan PM) Solo, Sri Suharti, membenarkan agar benar-benar berstatus KLA, sebuah daerah tidak boleh ada iklan rokok.

Sementara, Solo belum bisa melakukan hal demikian.

“Iklan rokok masih menjadi kendala bagi Kota Solo untuk memperoleh predikat kota layak anak kategori paripurna,” ujar Harti, Jumat (23/4/2020).

Perda tentang KTR akan menambah skor penilaian KLA bagi Kota Solo. Tapi, menurut dia, nilai penyusunan Perda KTR tersebut tak akan optimal jika tak dibarengi dengan pengaturan untuk menyelesaikan masalah iklan rokok jika tujuannya untuk menunjang evaluasi KLA oleh tim dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Harti bahkan menyebut skor penilaian KLA yang dihasilkan dari Perda KTR jauh lebih sedikit dibandingkan persoalan iklan rokok yang menyangkut beberapa klaster, mulai dari pendidikan, ekomoni, hingga kesehatan.

Bila Solo bebas iklan rokok, maka Pemkot diuntungkan. Tidak adanya iklan rokok bisa mengurangi PAD.

Tapi, menurut dia, pengurangan itu tak sebanding dengan dampak rokok yang bisa membuat orang jadi sakit. Jadi, daripada mengobati, lebih baik dana APBD dimanfaatkan untuk pencegahan.

Harti berkomitmen akan terus berkoordinasi dengan pejabat OPD lain untuk membahas kemungkinan pengaturan larangan iklan rokok di semua wilayah Solo. Termasuk, kata dia, mengusulkan kebijakan itu masuk dalam revisi Perda tentang Reklame.

Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Siti Wahyuningsih, membenarkan Raperda tentang KTR tidak mengatur larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok hingga seluruh wilayah di Solo.

Larangan tersebut hanya terbatas pada lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan sebagai KTR dalam Perda No. 9 tahun 2019, yakni tempat belajar mengajar, tempat layanan kesehatan, angkutan umum, tempat ibadah, dan tempat bermain anak-anak.

Karena hal tersebut, Ning pun terkesan tak begitu yakin Solo bisa mendapat predikat KLA kategori paripurna meski telah mempunyai Perda KTR. Ketika ditanya mengenai kemungkinan Solo mendapatkan predikat KLA paripurna setelah disahkannya Perda KTR, dia hanya menjawab, “Semoga saja”.

Ning menyebut kunci perolehan KLA terletak pada pengaturan reklame atau iklan rokok.
Ada 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok

Ketua Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (Kakak), Shoim Sahriyati, mengapresiasi kinerja Pemkot atau DPRD yang akhirnya bisa menerbitkan Perda tentang KTR pada 2019 setelah sekian lama diusulkan. Namun, dia menyesalkan, Perda itu tak mengatur iklan media luar ruang dan sponsorship rokok.

Padahal, Solo selama ini selalu dikritik oleh evaluator KLA karena masih banyak iklan rokok yang bisa memengaruhi anak-anak.

"Solo surganya iklan rokok. Harapan jadi kota layak anak kandas sejak 2006," kata dia, Kamis (19/3/2020).

Shoim menceritakan Yayasan Kakak pernah mengadakan survei sederhana mengenai keberadaan iklan, promosi dan sponsor rokok di Kota Solo pada 13-26 Maret 2019.

Survei tersebut melibatkan anak-anak aagar mereka tahu atau sadar ancaman kesehatan di sekitar mereka yakni iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Survei itu juga mendorong Pemkot segera mengeluarkan Perda KTR yang di dalamnya memuat aturan iklan rokok.

Survei kawasan tanpa rokok yang dikerjakan selama dua pekan menunjukkan terdapat 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok yang tersebar di 5 kecamatan di Solo. Artinya, tidak ada satu wilayah pun yang terbebas dari iklan, promosi dan sponsor rokok.

Menurut Shoim, kondisi tersebut masih tak jauh beda dengan sekarang.

"Anak-anak dikepung dengan iklan rokok di mana-mana. Bukti industri rokok menargetkan anak-anak untuk menjadi perokok pemula," tutur dia.

Selain survei, Yayasan Kakak juga melakukan konsultasi mendalam untuk mengetahui dampak iklan, promosi, atau sponsor rokok terhadap anak-anak. Konsultasi itu dilakukan dengan mewawancarai 10 anak berusia 8-16 tahun yang telah menjadi perokok aktif. Yayasan Kakak pun mendapati beberapa perokok anak mengaku mulai merokok karena terpengaruh adanya iklan.

"Mereka bilang, iklan rokok itu sesuatu yang keren. Padahal secara psikologis, anak ketika tertarik sesuatu, normalnya ingin mencoba, apa pun itu bukan hanya rokok," beber dia.

Shoim mengingatkan bahaya rokok bagi anak-anak bukan hanya bisa menimbulkan masalah kesehatan, tapi juga persoalan sosial.

Dia menemukan ada anak yang menghabiskan uang Rp760.000 dalam sebulan untuk beli rokok.

Anak tersebut kecanduan rokok. Anak itu mengaku apabila tak merokok, mulutnya akan terasa pahit, sulit dan tak bisa tidur, hingga jantung berdebar-debar tak jelas.

Sementara, ketika ditanya sumber uang untuk membeli rokok, anak itu mengaku terpaksa mengamen dan meninggalkan sekolah jika tak diberi orangtua. Anak tersebut juga kerap mencuri uang.

"Bermula dari iklan rokok, akhirnya ada banyak persoalan yang melengkapi," tutur dia.

Shoim berharap Solo mengatur larangan iklan rokok dalam revisi Perda Reklame. Dia meminta, jangan sampai alasan pengalihan aturan tersebut hanya menjadi dalih bagi Pemkot maupun anggota dewan untuk tetap melonggarkan kebijakan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok karena iming-iming keuntungan menggiurkan industri rokok.

Yayasan Kakak untuk advokasi perlindungan anak di Soloraya ingin beraudiensi dengan pejabat Pemkot dan DPRD Solo untuk membahas pengaturan larangan iklan rokok ke depan. Dia mendorong pejabat eksekutif maupun legislatif di Solo memikirkan bahaya pengaruh iklan rokok.

Pejabat publik seharusnya tidak memikirkan keuntungan pribadi atau kelompok di atas kerugian rakyat.

Shoim pesimistis Solo bisa mencapai target mendapatkan predikat KLA paripurna karena terhambat aturan larangan iklan rokok

. "Iklan rokok jahat karena menjerumuskan anak-anak," ujar Shoim.

Tabel Pendapatan Pajak Rokok:

Pendapatan pajak iklan rokok tahun 2019: 554,3 juta

Jumlah tersebut hanya 5 persen dari total pendapatan reklame pada tahun 2019 yang mencapai target Rp10 miliar

Meski tak terbilang sedikit dibanding pendapatan dari iklan produk lain, BPPKAD tak bisa melarang pemasangan iklan rokok hingga bebas 100 persen karena tak tersedia aturan yang mendasarinya

Timeline KTR Solo:
2006: Solo ditetapkan menjadi rintisan Kota Layak Anak (KLA)
2007-2009: Tidak ada pembahasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
2010: Wali Kota Solo menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 13/2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok
2006-2017: Solo gagal raih predikat KLA kategori paripurna
2017: Raperda KTR dan Terbatas Merokok menjadi program legislasi daerah
2018: Solo masih gagal mendapatkan predikat KLA penuh
2019: Raperda tentang KTR baru disahkan tanpa pengaturan larangan iklan rokok
2020: Agenda pembatasan revisi Perda tentang Penyelenggaraan Reklame untuk mengakomodasi pengaturan iklan rokok tapi masih belum terlaksana hingga Mei 2020 ini

Temuan Yayasan Kakak:
1. Paling banyak berbentuk iklan rokok
Yayasan Kakak dan Forum Anak Surakarta dalam survei menemukan cara industri rokok mengenalkan produknya di Solo paling banyak lewat iklan rokok, yakni sebesar 62,75 persen, kemudian disusul promosi sebesar 36,93 persen, dan sponsor sebesar 0,31 persen.

Yayasan Kakak mendefinisikan iklan rokok sebagai iklan produk rokok yang langsung berkomunikasi dengan konsumennya melalui berbagai media di luar ruang, seperti billboard, spanduk, poster, stiker, dan videotron.

Sementara, promosi rokok adalah kegiatan penjualan, penempatan dan tampilan (display) produk di berbagai tempat, penawaran dengan mencantumkan harga per bungkus atau per batang, lewat SPG, warung dengan dekorasi warna, font, merek rokok, termasuk beli rokok dapat hadiah dan adanya booth.

Sponsor rokok adalah bentuk bantuan dana atau produk atau layanan sebagai ganti promosi terhadap suatu merek. Sponsorship rokok biasanya ditemukan pada kegiatan konser musik, film, kegiatan komunitas dan lain sebagainya.

2. Paling banyak di pinggir jalan
Yayasan Kakak dan Forum Anak Surakarta mendapati sebagian besar dari 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok berada di pinggir jalan, yakni persentasenya mencapai 54 persen.
Iiklan, promosi atau sponsor rokok banyak diletakkan di tempat anak-anak kerap berkumpul, sebut saja halte atau tempat menunggu jemputan ketika mereka pulang sekolah.

Setelah pinggir jalan, Yayasan Kakak mendapati iklan, promosi, atau sponsor rokok bisa dengan mudah ditemui di sekitar minimarket, sekitar sekolah, sekitar pasar tradisional, persimpangan jalan, tempat olahraga atau lapangan, hingga taman kota dan taman cerdas.

3. Kesan menarik
Yayasan Kakak juga melakukan survei untuk mengetahui respons anak-anak terhadap konten iklan rokok yang berkembang di Solo.

Dari 30 anak-anak yang diberi angket, 50 persen di antaranya menyebut menarik. Sementara, 27 persen menyebut gaul/hits/up to date, 7 persen memiliki kesan murah, dan sisanya menjawab bikin penasaran, art/seni/estetik dan mewah.

Kesan yang dilihat itu alhasil memengaruhi keinginan anak-anak untuk mencoba merasakan rokok, sehingga akan memudahkan mereka untuk menjadi perokok pemula.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com