Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penjegal Solo Kota Layak Anak

Kompas.com - 03/06/2020, 00:19 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Khairina

Tim Redaksi

 

SOLO, KOMPAS.com-Rapat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Solo, Jawa Tengah (Jateng) berlangsung panas.

Perdebatan sengit muncul dalam pembahasan Raperda KTR yang salah satunya membahas aturan iklan rokok.

Politikus PDIP, Budi Prasetya, tak setuju pengaturan iklan rokok masuk dalam Perda KTR.

Alasannya, Solo sudah memiliki Perda No. 5 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Reklame.

Dia juga menolak larangan iklan rokok diberlakukan di 100 persen wilayah Solo.

Baca juga: Satu Pegawai Pabrik Rokok di Madiun Positif Corona, Diduga Tertular Klaster Sampoerna

Saat rapat pembahasan Raperda tentang KTR di ruang rapat Gedung DPRD Solo pada Jumat (5/7/2019), Budi yang paling getol tak sepakat dengan usulan penetapan jalan sebagai KTR.

Dia pesimistis kebijakan tersebut bisa diterapkan, terutama dari aspek penegakan Perda. Budi ragu petugas satpol PP sanggup mengawasi setiap jalan di Kota Solo untuk memastikan tak ada pelanggaran, terutama larangan orang merokok di jalan. Dia pun beranggapan merokok sudah menjadi budaya wong Solo yang sulit diubah.

“Sulit mengubah budaya merokok secara frontal,” tanggap Budi.

Pernyataan Budi muncul dalam rekaman suara rapat pembahasan Raperda KTR yang diperoleh Kompas.com dari Sekretariat DPRD (Sekwan) Solo.

Kasubag Peraturan Perundang-undangan Bagian Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Solo, Yeni Apriliawati, mulanya mengusulkan agar jalan dapat dimasukkan sebagai KTR pada poin tempat lain di Perda KTR.

Bagian Hukum perlu mengusulkan itu karena jalan sering kali dimanfaatkan sebagai tempat mempromosikan rokok secara langsung melalui iklan maupun secara tidak langsung lewat kebiasaan merokok masyarakat.

Mereka menilai merokok di trotoar maupun badan jalan gampang ditiru anak-anak. Tetapi, niat melindungi kesehatan masyarakat tak mendapat dukungan dari Budi yang kini menjabat Ketua DPRD Solo.

Anggota Pansus Raperda KTR dari Fraksi PDIP, Ginda Ferachtriawan juga menolak jalan dimasukkan sebagai KTR. Dia bahkan mendorong rapat Pansus tidak membahas penetapan jalan sebagai KTR dengan dalih Pemerintah Kota (Pemkot) Solo sejak awal tak mengusulkan hal tersebut.

Raperda tentang KTR datang dari usulan Pemkot, bukan inisiatif DPRD. Dalam draf Raperda, jalan tak termasuk dalam lokasi yang diusulkan Pemkot untuk dijadikan KTR.

Ginda berdalih diskusi soal jalan sebagai KTR hanya akan memperpanjang proses pembahasan Raperda tentang KTR. Padahal raperda tersebut ditargetkan disahkan pada tahun itu juga.

"Saya tetap enggak sepakat jalan termasuk KTR, sudah terlalu luas," kata Ginda.

Politikus PKS yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pansus Raperda KTR, Sugeng Riyanto, tidak sepakat dengan pernyataan Ginda. Dia mengusulkan menetapkan jalan di sekitar sekolah, rumah sakit, dan rumah ibadah harus bebas dari segala aktivitas yang berhubungan dengan rokok.

Sugeng setuju dengan usulan Bagian Hukum karena penetapan jalan sebagai KTR bisa mempersempit ruang gerak para pengguna rokok, penjual rokok, pengiklan rokok, termasuk produsen rokok di Kota Solo demi kesehatan publik.

"Setuju untuk konteks pengendalian rokok," ungkap dia.

Pemkot harus bisa memastikan tak ada lagi masyarakat yang sembarangan merokok di jalan.Selain itu juga harus mengawasi tak ada lagi PKL yang menjual rokok di jalan. Termasuk mencopot semua iklan rokok baik berupa reklame, baliho, spanduk, atau poster yang sudah terpasang di tepi jalan.

“Tentukan lokasi untuk perokok dan pedagang agar tak sembarangan,” kata dia.

Dia menyebutkan Solo perlu tegas mengatur kebijakan larangan iklan rokok di semua kawasan sebagai langkah konkret untuk menekan angka perokok pemula. Kebijakan itu juga penting untuk mendorong Solo menjadi Kota Layak Anak (KLA) paripurna.

Namun, usulan Bagian Hukum yang disampaikan dalam rapat pembahasan Raperda KTR itu mental. Mayoritas anggota Pansus tak menyetujui jalan dijadikan sebagai KTR dengan beragam alasan. Imbasnya, orang-orang di Solo ke depan bebas merokok, berjualan, termasuk memasang iklan dan promosi rokok di berbagai sudut jalan, meski rentan bagi anak-anak.

Menolak Solo bebas iklan rokok

Ketua DPRD Solo, Budi Prasetya mendukung pengaturan iklan rokok tidak masuk dalam Perda tentang KTR yang telah dsahkan pada Agustus 2019. Dia beralasan, iklan rokok lebih layak diatur dalam revisi Perda Reklame.

“Aturan iklan rokok tak perlu karena Solo sudah punya Perda yang atur reklame,” kata Budi, Rabu (25/3/2020).

Dia menampik penundaan atau pengalihan pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok dari Raperda KTR ke revisi Perda Reklame dilakukan Pansus dengan maksud melemahkan kebijakan larangan iklan rokok di Solo.

Semua anggota Pansus sepakat pengaturan iklan rokok lebih tepat masuk dalam revisi Perda Reklame.

Baca juga: Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO Ingatkan Rokok Memperparah Risiko Infeksi Covid-19
Pro-kontra pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok juga menyangkut penerapan larangan merokok hingga di 100 persen wilayah Solo.

Budi termasuk anggota Pansus yang tak setuju larangan iklan rokok diberlakukan di seluruh wilayah Solo. Dia membela pedagang maupun produsen rokok.

Budi pun bergeming ketika disinggung soal kemungkinan pengaturan iklan rokok berlaku 100 persen di wilayah Solo masuk dalam revisi Perda Reklame.

Iklan rokok menyumbang potensi PAD dan pemasukan cukai rokok melalui ruang iklan, promosi, dan sponsor bagi industri rokok.

"Cukai menyokong pendapatan daerah. Iklan rokok tidak bisa dihilangkan," ujar Budi.

Senada dengan Budi, Ginda Ferachtriawan juga tak sepakat Solo 100 persen bebas iklan rokok.

Dia sebenarnya tahu maraknya iklan rokok menjadi pengganjal Kota Solo bisa meraih predikat KLA kategori paripurna.

Ada banyak iklan rokok bertebaran di jalanan Kota Bengawan dengan beragam konsep, bentuk, dan ukuran.

Tetapi, Ginda hanya setuju pengaturan larangan iklan rokok diberlakukan di beberapa kawasan saja.

"Saya tak sepakat melarang total. Batasi saja," ujar dia saat diwawancara, Jumat (20/3/2020).

Ginda tak menjawab siapa saja yang tidak setuju dengan gagasan pengaturan iklan rokok dituangkan sekaligus ke dalam Perda tentang KTR. Dia menyatakan hal itu sudah menjadi keputusan bersama antar-anggota pansus.

“Suara mayoritas belum sama frekuensinya dengan pendapat iklan rokok masuk Perda KTR,” terang Ginda.

Dia belum memastikan kapan agenda penyusunan dan pembahasan revisi Perda tentang Reklame bakal dimulai karena muncul pandemi Covid-19.

Ketika ditanya materi apa yang akan dibahas dalam revisi Perda Reklame, Ginda menyebut DPRD salah satunya bisa menentukan lokasi mana saja di Solo yang dapat ditetapkan bebas iklan rokok.

Namun, dia secara terang-terangan mengaku tak akan mendukung apabila muncul wacana penetapan Solo bebas iklan rokok dalam revisi Perda Reklame itu.

“Lokasi iklan rokok dibatasi. Buat lokasi yang boleh dan tidak dipakai iklan rokok, termasuk sponsorship," ungkap dia.

Mayoritas anggota Pansus pro rokok


Saat diwawancara, Sugeng menceritakan, usulan jalan untuk dijadikan sebagai KTR termasuk salah satu topik panas yang dibahas dalam rapat pembahasan Raperda KTR. Hal itu dikarenakan, penetapan jalan sebagai KTR dianggap bisa memengaruhi banyak aspek, termasuk larangan iklan rokok di tepi jalan.

Pria yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Solo itu mendorong larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di semua kawasan diatur sekalian di dalam Perda KTR. Dia ingin jumlah perokok aktif turun dan mencegah perokok pemula akibat pengaruh iklan rokok.

"Larang iklan, promosi, dan sponsorsip rokok demi Solo kota layak anak," tutur Sugeng, Senin (20/4/2020).

Menurutnya, sebagian besar dari 11 orang anggota Pansus Raperda KTR pro rokok. Hal itu membuat Perda KTR tak garang. Misalnya soal pembahasan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di luar KTR.

Dia mengungkapkan mayoritas anggota pansus sepakat ketentuan tersebut lebih baik tak dimasukkan ke dalam Perda KTR dengan beragam pertimbangan. Sugeng kalah suara.

"Akhirnya yang muncul sikap kompromistis," jelas Sugeng.

Baca juga: Pemprov DKI Jakarta Raih Penghargaan Kota Layak Anak

Sikap pro terhadap rokok didefinisikan Sugeng sebagai keputusan seseorang untuk mendukung rokok atau industri rokok karena pertimbangan pribadi maupun kelompok.

Pertimbangan pribadi, misalnya orang tersebut termasuk perokok aktif atau bisa juga memiliki kerja sama bisnis dengan industri rokok sehingga merasa terganggu dengan aturan yang membatasi gerak industri rokok.

Pertimbangan kelompok, yakni ingin melindungi komunitas yang mayoritas adalah perokok aktif atau punya kerja sama dengan industri rokok.”Saya kalah suara,” kata Sugeng

Data Sekretariat DPRD Solo menunjukkan 6 dari 11 anggota pansus Raperda KTR berasal dari Fraksi PDIP. Sedangkan sisanya adalah satu perwakilan masing-masing dari Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat Nurani Rakyat, dan Fraksi Persatuan Indonesia Raya (PIR). Dari 11 orang tersebut, 9 laki-laki, dan 2 perempuan.

Sugeng menjelaskan, komposisi anggota Pansus Raperda KTR tak bisa sembarangan diubah.

Proses pembentukan pansus menggunakan rumus yang sudah ditetapkan, merujuk pada proporsional jumlah anggota dewan di tiap-tiap fraksi.

Dengan begitu, sudah menjadi ketentuan bahwa anggota Pansus Raperda KTR mayoritas berasal dari fraksi PDIP karena jumlah anggotanya adalah yang paling banyak.

Sebagian anggota pansus menolak larangan iklan rokok masuk dalam Perda KTR, karena khawatir PAD berkurang.

Pembatasan iklan rokok cukup diterapkan di lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan sebagai KTR.

Dia beberapa kali menyangkal argumen tersebut dalam pembahasan Raperda KTR.

Kekhawatiran PAD berkurang akibat larangan iklan rokok di luar KTR tak perlu dipersoalkan.

Dia yakin Pemkot Solo mudah menggandeng mitra untuk memasang iklan di reklame maupun mensponsori kegiatan pariwisata di luar perusahan rokok.

Sugeng yakin, pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok tak akan menurunkan PAD yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Sugeng pesimistis Solo mendapat predikat KLA kategori paripurna meski telah memiliki Perda Perda No. 9 tahun 2019 tentang KTR.

Penyebabnya Solo belum tegas dalam mengatur larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di luar KTR atau di 100 persen wilayahnya.

Dia mengilustrasikan lemahnya Perda KTR di Solo dalam mengatur peredaran iklan rokok.

Sesuai Perda, iklan rokok hanya dilarang di lokasi yang termasuk KTR, salah satunya tempat pendidikan.

Batas KTR yakni pagar terluar dari tempat pendidikan itu.

Iklan rokok boleh dipasang di luar pagar yang tidak jauh dari posisi anak-anak. Pemkot tak bisa melarang secara tegas pemasangan iklan rokok tersebut.

Dengan demikian, anak-anak bisa terpapar rayuan iklan rokok yang dapat mendorong mereka menjadi perokok pemula.

Situasi itu tak sejalan dengan ementerian Kesehatan (Kemenkes) yang berupaya membendung jumlah perokok baru di kalangan remaja.

"Iklan rokok di depan sekolah ya sama saja dengan promosi,” jelas dia.

Sugeng juga pesimistis iklan dan sponsorship rokok akan diatur secara tegas dalam revisi Perda tentang Reklame.

Menurut dia, Perda KTR paling tepat untuk mengatur larangan iklan rokok karena bertujuan menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula.

Bila masuk ke Perda tentang Reklame, pengaturan iklan rokok tidak maksimal. Iklan rokok akan tetap ada dan aturan hanya bicara pembagian lokasi.

Pemkot dituding setengah-setengah

Politikus PDIP Ginda menyebut Pemkot Solo punya andil dalam kesepakatan soal pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok tidak dimasukkan ke Perda KTR tetapi digeser ke revisi Perda Reklame.

Dia mengungkapkan tim pembahas dari Pemkot yang selalu ikut dalam pembahasan Raperda KTR memandang pengaturan iklan rokok lebih tepat diatur dalam perda yang senada, yakni tentang Reklame.

“Bahasa mereka itu, ‘ya beda ruang dong'. KTR kan hanya membahas soal kawasan tanpa rokok,” kata dia.

Alhasil, dalam Perda KTR sekarang, pembahasan mengenai iklan dan promosi rokok hanya terbatas pada Bab Ketentuan Umum. Itu pun sebagai definisi dari KTR. Di situ dijelaskan bahwa KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.

Sedangkan kewajiban menolak penawaran iklan, promosi, pemberian sponsor, dan atau kerja sama dalam bentuk apa pun, hanya berlaku bagi setiap penanggung jawab tempat proses belajar mengajar.

Politikus PKS, Sugeng, menyebutkan anggota pansus paling besar pengaruhnya terhadap hasil Perda KTR.

Dalam rapat paripurna penetapan Perda KTR, anggota pansus tidak membacakan poin per poin isi usulan Perda KTR yang akan disahkan. Pansus hanya membacakan hasil revisi substansial dari apa yang telah disampaikan Walikota Solo dalam nota penjelasan di awal.

Dengan ini, tak muncul perdebatan di rapat paripurna mengenai tidak adanya larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok di seluruh wilayah Solo seperti yang disepakati pansus.

Namun, Sugeng menyebut, tidak diaturnya larangan iklan rokok lebih jauh di dalam Perda KTR bukan hanya menjadi sikap dari anggota pansus DPRD, tapi juga pemkot. Dia melihat, tak semua tim pembahas dari pemkot dalam Raperda KTR tak benar-benar ingin mengatur larangan iklan rokok secara tegas.

Dalam pembahasan, kata Sugeng, mereka masih saja memberatkan potensi PAD dari iklan rokok, termasuk risiko akan melemahnya sektor pariwisata jika beberapa event hiburan tak boleh lagi disponsori perusahan atau industri rokok. Pemkot dalam pembahasan Perda KTR menghitung PAD iklan rokok, sektor pariwisata.

Penjelasan Pemkot

Kasubid Kepatuhan Bidang Penagihan Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Solo, Andri Wahyudi, membenarkan pemkot baru bisa membatasi pemasangan iklan rokok di lima kawasan absolut tanpa rokok, yaitu tempat belajar mengajar, tempat layanan kesehatan, angkutan umum, tempat ibadah, dan tempat bermain anak-anak.

Selebihnya, BPPKAD tak punya dasar aturan untuk melarang pengajuan pemasangan iklan rokok di luar KTR.

Iklan rokok bahkan sah-sah saja apabila dipasang di depan gerbang sekolah, mengingat lokasi itu sudah bukan termasuk KTR.

Batas KTR sesuai Perda, yakni hanya sampai pagar terluar dari masing-masing lokasi yang sudah ditetapkan sebagai KTR.

Tentang proses revisi Perda tentang Reklame untuk mengakomodasi pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok, Andri mengungkapkan, draf peraturan masih dibahasdi internal tim di BPPKAD, sebelum dimasukkan ke Bagian Hukum Setda Solo.

Ihwal pengaturan Solo 100 persen bebas iklan rokok dalam revisi Perda Reklame, Andri menyebut BPPKAD mengusulkan adanya larangan iklan rokok di seluruh wilayah Solo. Kebijakan itu bisa berubah karena masih dibahas anggota dewan.

“Yang jelas pimpinan sudah dawuh (perintah), pokoknya kami sekarang hanya bisa mengurangi (iklan rokok),” terang Andri.

Dia tak menampik jumlah pendapatan pajak yang bisa diraih Pemkot dari pemasangan iklan rokok tidak signifikan pada 2019.

Kabag Hukum Setda Solo, Enny Rosana, mengatakan draf peraturan revisi Perda tentang Penyelanggaraan Reklame belum resmi masuk ke Bagian Hukum. Draf tersebut masih dibahas secara internal oleh tim di tingkatan organsiasi perangkat daerah (OPD) teknis.

Ihwal Solo bebas 100 persen iklan rokok, Enny menyebut, kebijakan itu tak bisa diputuskan secara sepihak oleh Bagian Hukum maupun BPPKAD. Revisi Perda tentang Penyelenggaraan Reklame tetap akan dibahas panitia khusus (pansus) di dewan.

Dengan begitu, bisa saja Pansus atau dewan mengubah draf usulan dari Pemkot.

Kabid Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPPA dan PM) Solo, Sri Suharti, membenarkan agar benar-benar berstatus KLA, sebuah daerah tidak boleh ada iklan rokok.

Sementara, Solo belum bisa melakukan hal demikian.

“Iklan rokok masih menjadi kendala bagi Kota Solo untuk memperoleh predikat kota layak anak kategori paripurna,” ujar Harti, Jumat (23/4/2020).

Perda tentang KTR akan menambah skor penilaian KLA bagi Kota Solo. Tapi, menurut dia, nilai penyusunan Perda KTR tersebut tak akan optimal jika tak dibarengi dengan pengaturan untuk menyelesaikan masalah iklan rokok jika tujuannya untuk menunjang evaluasi KLA oleh tim dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).

Harti bahkan menyebut skor penilaian KLA yang dihasilkan dari Perda KTR jauh lebih sedikit dibandingkan persoalan iklan rokok yang menyangkut beberapa klaster, mulai dari pendidikan, ekomoni, hingga kesehatan.

Bila Solo bebas iklan rokok, maka Pemkot diuntungkan. Tidak adanya iklan rokok bisa mengurangi PAD.

Tapi, menurut dia, pengurangan itu tak sebanding dengan dampak rokok yang bisa membuat orang jadi sakit. Jadi, daripada mengobati, lebih baik dana APBD dimanfaatkan untuk pencegahan.

Harti berkomitmen akan terus berkoordinasi dengan pejabat OPD lain untuk membahas kemungkinan pengaturan larangan iklan rokok di semua wilayah Solo. Termasuk, kata dia, mengusulkan kebijakan itu masuk dalam revisi Perda tentang Reklame.

Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Siti Wahyuningsih, membenarkan Raperda tentang KTR tidak mengatur larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok hingga seluruh wilayah di Solo.

Larangan tersebut hanya terbatas pada lokasi-lokasi yang sudah ditetapkan sebagai KTR dalam Perda No. 9 tahun 2019, yakni tempat belajar mengajar, tempat layanan kesehatan, angkutan umum, tempat ibadah, dan tempat bermain anak-anak.

Karena hal tersebut, Ning pun terkesan tak begitu yakin Solo bisa mendapat predikat KLA kategori paripurna meski telah mempunyai Perda KTR. Ketika ditanya mengenai kemungkinan Solo mendapatkan predikat KLA paripurna setelah disahkannya Perda KTR, dia hanya menjawab, “Semoga saja”.

Ning menyebut kunci perolehan KLA terletak pada pengaturan reklame atau iklan rokok.
Ada 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok

Ketua Yayasan Kepedulian untuk Anak Surakarta (Kakak), Shoim Sahriyati, mengapresiasi kinerja Pemkot atau DPRD yang akhirnya bisa menerbitkan Perda tentang KTR pada 2019 setelah sekian lama diusulkan. Namun, dia menyesalkan, Perda itu tak mengatur iklan media luar ruang dan sponsorship rokok.

Padahal, Solo selama ini selalu dikritik oleh evaluator KLA karena masih banyak iklan rokok yang bisa memengaruhi anak-anak.

"Solo surganya iklan rokok. Harapan jadi kota layak anak kandas sejak 2006," kata dia, Kamis (19/3/2020).

Shoim menceritakan Yayasan Kakak pernah mengadakan survei sederhana mengenai keberadaan iklan, promosi dan sponsor rokok di Kota Solo pada 13-26 Maret 2019.

Survei tersebut melibatkan anak-anak aagar mereka tahu atau sadar ancaman kesehatan di sekitar mereka yakni iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Survei itu juga mendorong Pemkot segera mengeluarkan Perda KTR yang di dalamnya memuat aturan iklan rokok.

Survei kawasan tanpa rokok yang dikerjakan selama dua pekan menunjukkan terdapat 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok yang tersebar di 5 kecamatan di Solo. Artinya, tidak ada satu wilayah pun yang terbebas dari iklan, promosi dan sponsor rokok.

Menurut Shoim, kondisi tersebut masih tak jauh beda dengan sekarang.

"Anak-anak dikepung dengan iklan rokok di mana-mana. Bukti industri rokok menargetkan anak-anak untuk menjadi perokok pemula," tutur dia.

Selain survei, Yayasan Kakak juga melakukan konsultasi mendalam untuk mengetahui dampak iklan, promosi, atau sponsor rokok terhadap anak-anak. Konsultasi itu dilakukan dengan mewawancarai 10 anak berusia 8-16 tahun yang telah menjadi perokok aktif. Yayasan Kakak pun mendapati beberapa perokok anak mengaku mulai merokok karena terpengaruh adanya iklan.

"Mereka bilang, iklan rokok itu sesuatu yang keren. Padahal secara psikologis, anak ketika tertarik sesuatu, normalnya ingin mencoba, apa pun itu bukan hanya rokok," beber dia.

Shoim mengingatkan bahaya rokok bagi anak-anak bukan hanya bisa menimbulkan masalah kesehatan, tapi juga persoalan sosial.

Dia menemukan ada anak yang menghabiskan uang Rp760.000 dalam sebulan untuk beli rokok.

Anak tersebut kecanduan rokok. Anak itu mengaku apabila tak merokok, mulutnya akan terasa pahit, sulit dan tak bisa tidur, hingga jantung berdebar-debar tak jelas.

Sementara, ketika ditanya sumber uang untuk membeli rokok, anak itu mengaku terpaksa mengamen dan meninggalkan sekolah jika tak diberi orangtua. Anak tersebut juga kerap mencuri uang.

"Bermula dari iklan rokok, akhirnya ada banyak persoalan yang melengkapi," tutur dia.

Shoim berharap Solo mengatur larangan iklan rokok dalam revisi Perda Reklame. Dia meminta, jangan sampai alasan pengalihan aturan tersebut hanya menjadi dalih bagi Pemkot maupun anggota dewan untuk tetap melonggarkan kebijakan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok karena iming-iming keuntungan menggiurkan industri rokok.

Yayasan Kakak untuk advokasi perlindungan anak di Soloraya ingin beraudiensi dengan pejabat Pemkot dan DPRD Solo untuk membahas pengaturan larangan iklan rokok ke depan. Dia mendorong pejabat eksekutif maupun legislatif di Solo memikirkan bahaya pengaruh iklan rokok.

Pejabat publik seharusnya tidak memikirkan keuntungan pribadi atau kelompok di atas kerugian rakyat.

Shoim pesimistis Solo bisa mencapai target mendapatkan predikat KLA paripurna karena terhambat aturan larangan iklan rokok

. "Iklan rokok jahat karena menjerumuskan anak-anak," ujar Shoim.

Tabel Pendapatan Pajak Rokok:

Pendapatan pajak iklan rokok tahun 2019: 554,3 juta

Jumlah tersebut hanya 5 persen dari total pendapatan reklame pada tahun 2019 yang mencapai target Rp10 miliar

Meski tak terbilang sedikit dibanding pendapatan dari iklan produk lain, BPPKAD tak bisa melarang pemasangan iklan rokok hingga bebas 100 persen karena tak tersedia aturan yang mendasarinya

Timeline KTR Solo:
2006: Solo ditetapkan menjadi rintisan Kota Layak Anak (KLA)
2007-2009: Tidak ada pembahasan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
2010: Wali Kota Solo menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 13/2010 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok
2006-2017: Solo gagal raih predikat KLA kategori paripurna
2017: Raperda KTR dan Terbatas Merokok menjadi program legislasi daerah
2018: Solo masih gagal mendapatkan predikat KLA penuh
2019: Raperda tentang KTR baru disahkan tanpa pengaturan larangan iklan rokok
2020: Agenda pembatasan revisi Perda tentang Penyelenggaraan Reklame untuk mengakomodasi pengaturan iklan rokok tapi masih belum terlaksana hingga Mei 2020 ini

Temuan Yayasan Kakak:
1. Paling banyak berbentuk iklan rokok
Yayasan Kakak dan Forum Anak Surakarta dalam survei menemukan cara industri rokok mengenalkan produknya di Solo paling banyak lewat iklan rokok, yakni sebesar 62,75 persen, kemudian disusul promosi sebesar 36,93 persen, dan sponsor sebesar 0,31 persen.

Yayasan Kakak mendefinisikan iklan rokok sebagai iklan produk rokok yang langsung berkomunikasi dengan konsumennya melalui berbagai media di luar ruang, seperti billboard, spanduk, poster, stiker, dan videotron.

Sementara, promosi rokok adalah kegiatan penjualan, penempatan dan tampilan (display) produk di berbagai tempat, penawaran dengan mencantumkan harga per bungkus atau per batang, lewat SPG, warung dengan dekorasi warna, font, merek rokok, termasuk beli rokok dapat hadiah dan adanya booth.

Sponsor rokok adalah bentuk bantuan dana atau produk atau layanan sebagai ganti promosi terhadap suatu merek. Sponsorship rokok biasanya ditemukan pada kegiatan konser musik, film, kegiatan komunitas dan lain sebagainya.

2. Paling banyak di pinggir jalan
Yayasan Kakak dan Forum Anak Surakarta mendapati sebagian besar dari 1.472 iklan, promosi dan sponsor rokok berada di pinggir jalan, yakni persentasenya mencapai 54 persen.
Iiklan, promosi atau sponsor rokok banyak diletakkan di tempat anak-anak kerap berkumpul, sebut saja halte atau tempat menunggu jemputan ketika mereka pulang sekolah.

Setelah pinggir jalan, Yayasan Kakak mendapati iklan, promosi, atau sponsor rokok bisa dengan mudah ditemui di sekitar minimarket, sekitar sekolah, sekitar pasar tradisional, persimpangan jalan, tempat olahraga atau lapangan, hingga taman kota dan taman cerdas.

3. Kesan menarik
Yayasan Kakak juga melakukan survei untuk mengetahui respons anak-anak terhadap konten iklan rokok yang berkembang di Solo.

Dari 30 anak-anak yang diberi angket, 50 persen di antaranya menyebut menarik. Sementara, 27 persen menyebut gaul/hits/up to date, 7 persen memiliki kesan murah, dan sisanya menjawab bikin penasaran, art/seni/estetik dan mewah.

Kesan yang dilihat itu alhasil memengaruhi keinginan anak-anak untuk mencoba merasakan rokok, sehingga akan memudahkan mereka untuk menjadi perokok pemula.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com