Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Garil Anak Korban Bom Bali I Bertemu Ali Imron Pelaku Pengeboman

Kompas.com - 18/02/2020, 05:35 WIB
Rachmawati

Editor

Jenazah sang ayah hangus

Di satu sudut Legian, tak jauh dari monumen peringatan Bom Bali 1, hari itu, Garil berusaha mengungkap apa yang selama ini ia pendam; kemarahan, kesedihan, depresi dan trauma.

Ceritanya terhenti beberapa kali. Ia menyeka air matanya.

Bayangan jenazah sang ayah, salah seorang korban Bom Bali 1 yang diturunkan dari mobil jenazah, tetap masih ada walau "tersamar," katanya.

"Wajah itu bukan bapak saya, sudah benar-benar hangus, persis seperti ayam bakar," cerita Garil, menjelang peringatan berlangsung.

Selama 17 tahun terakhir, Garil mengatakan ia mengingat ayahnya di dalam kamar seorang diri setiap kali peringatan pada 12 Oktober.

Baca juga: Warga Jepang yang Kehilangan Keluarga Berdoa di Monumen Bom Bali

"Kalau jujur, saya pendam perasaan sendiri dalam kamar, saya tak pernah ikut, ini baru pertama kali saya ke sini. Mama ngajak terus tapi tak kuat, di rumah saja. Saya takut emosi saya menggebu-gebu mengingat kejadian itu."

"Di dalam hati saya, masih tak percaya, apalagi kalau liat foto bapak tak kuat. Di antara adik-adik, saya yang paling ngrasain bersama bapak," tambahnya.

Pada 13 Oktober 2002, sekitar jam dua siang, jenazah Aris Munandar diturunkan dari mobil di depan kediaman keluarga di Denpasar.

Endang Isnanik, istri Aris yang tengah sakit, sempat mengintip. Namun Garil yang melihat secara jelas bersama kakek angkatnya.

Baca juga: Warga Jepang yang Kehilangan Keluarga Berdoa di Monumen Bom Bali

Ayah Garil memarkir mobilnya di depan Sari Club untuk menunggu penumpang. Getty Images Ayah Garil memarkir mobilnya di depan Sari Club untuk menunggu penumpang.
"Ada mobil kecil datang, ternyata keluar tandu. (Saya lihat dari jauh), Posisi suami saya kakinya begini (melipat kaki) keluarga pegang saya dan saya gak boleh lihat lagi. Yang lihat anak saya," cerita Endang.

"Saya hanya lihat posisinya lagi tidur di depan stir mobil. Seperti yang dia cerita pada malam saat berangkat dia mau minum obat sambil menunggu tamu, mungkin tertidur pulas waktu kejadian," tambahnya.

"Mayat didatangkan karena kondisi yang lengket, tak bisa dimandikan, hanya bisa ditayamun. Disalatkan di masjid, dikuburkan hari itu juga," kata Endang lagi.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Bom Bali I Renggut 202 Nyawa

Air mata Endang terlihat mengalir deras.

Dua orang adik Garil masih belum mengerti apa yang terjadi dan bermain seperti biasa, kondisi yang membuat tamu-tamu melayat semakin tersedu.

Sementara sang ibu tengah menderita Remathoid Artistic, penyakit autoimun yang sering menyebabkannya tak bisa bangun karena nyeri pada sendi seluruh tubuh.

Saat kejadian, Sabtu malam 12 Oktober 2002, ayah Garil tengah menanti tamu di depan diskotek yang penuh dengan tamu asing, Sari Club.

Hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya merupakan masa-masa terberat bagi keluarga Aris Munandar.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Bom Bali II, 23 Orang Meninggal

"Setiap berjalan ke sekolah, kelas di lantai atas, dan biasanya ada bapak sama mama datang," cerita Garil.

"Saya kalau ingat di sekolah, dibandingkan adik-adik, saya yang paling ingat bapak, anak pertama yang paling disayang."

"Kaya udah tak ada tujuan hidup, bingung tak tahu gimana. Sampai SMA pun, masih gak karuan. Melihat kondisi mama, saya seperti orang depresi."

Sabtu malam itu pada peringatan ke-17, Garil untuk pertama kalinya mengunjungi Ground Zero, tempat yang beberapa kali ia lewati.

Baca juga: Mantan Teroris Bom Bali hingga Anggota ISIS Akan Upacara 17 Agustus

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com