Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id; Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia dan Pelestari Tradisi Lisan;  Pengurus Lesbumi PBNU 2022--2027. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas, serta menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Menjaga Asa Pelestarian Tradisi Lisan

Kompas.com - 08/11/2019, 19:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DANA RAPPOPORT, peneliti ritual musik Toraja, melontarkan pertanyaan yang terkesan sepele dalam acara Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan XI di Makassar, akhir Oktober 2019 lalu.

"Saya ingin bertanya hal yang sederhana. Bagaimana melestarikan tradisi lisan?" tanya Rappoport menohok.

Hadirin yang berada di Aula Prof Mattulada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, terdiam. Pertanyaan yang (mungkin) sederhana namun membutuhkan jawaban yang sangat tidak sederhana.

Baca juga: Asosiasi Tradisi Lisan Gelar Munas dan Seminar Internasional di Makassar

Pertanyaan itu klise. Pelestarian.

Kata itu kerap muncul dalam sambutan-sambutan para pejabat di acara-acara terkait tradisi. "Mari kita melestarikan.....”, “Kita harus melestarikan…”, “Pelestarian sangat penting kita lakukan….”, dan sebagainya.

Karena sering diucapkan, kata itu seperti lewat begitu saja. Itu mirip kata cinta yang diucapkan berulang-ulang, hingga hilang ruh.

Bagaimana kita mencintai? Bagaimana kita melestarikan?

Pelestarian, oleh pemerintah dijabarkan ke dalam tiga hal, yakni perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, seperti termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 10 Tahun 2014.

Perlindungan dilakukan dengan cara mencatat, menghimpun, mengolah, dan menata sistem informasi. Lalu meregistrasinya sebagai hak kekayaan intelektual komunal.

Baca juga: Ruwatan Murwakala, Tradisi Jawa Kuno yang Masih Eksis di Candi Kidal

Selanjutnya, mengkaji nilai tradisi dan karakter bangsa, serta menegakkan peraturan perundang-undangan.

Pengembangan tradisi dilakukan dengan merevitalisasi nilai tradisi; mengapresiasi pelestari tradisi; diskusi, seminar, dan sarasehan pengembangan tradisi serta karakter dan pekerti bangsa; serta mengadakan pelatihan pelaku tradisi.

Adapun pemanfaatan nilai tradisi dilakukan dengan penyebarluasan informasi; pergelaran dan pameran; dan pengemasan bahan kajian.

 

Perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tradisi tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, yang diwujudkan dalam alokasi anggaran APBD/APBN.

Menyitir pernyataan Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadjamuddin Ramly, perhatian dan keberpihakan pemerintah daerah terhadap tradisi dan objek-objek pemajuan kebudayaan bisa dillihat dari seberapa besar anggarannya.

Permen 10/2014 tersebut sebetulnya sudah menjawab pertanyaan Rappoport. Ya, jawaban itu betul.

Namun, kami semua membutuhkan lebih dari sekadar jawaban pertanyaan, yang kami butuhkan pelaksanaan dari jawaban itu.

Baca juga: Untuk Mempertahankan Tradisi Lisan Harus Disokong Anggaran Memadai

Apakah “kisi-kisi” pelestarian itu telah benar-benar dilakukan? Apakah yang tersurat sudah diperbuat?

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, kata WS Rendra. Mungkin kita semua memang belum sepenuhnya berjuang.

Hal itu bisa dilihat dari makin menyusutnya jumlah tradisi lisan kita atau makin berkurangnya maestro yang bergiat.

Bagaimana jika maestro tradisi lisan sudah meninggal dunia dan ia tidak memiliki pewaris, atau pewarisnya kurang andal? Di mana bisa dicari penggantinya?

Jika semua hal yang dibutuhan untuk pelestarian tradisi lisan tidak mampu lagi terpenuhi, mau tidak mau—tradisi lisan harus didokumentasikan.

Konsekuensinya, akan menghilangkan sifat kelisanan itu karena orang akan belajar tradisi dari dokumentasi (membaca buku, melihat rekaman). Kita semua harus berupaya lebih hebat lagi untuk tetap mulusnya proses pewarisan tradisi lisan.

Untuk itu, keberpihakan kepada tradisi harus pekat, di antaranya melalui alokasi anggaran yang memadai.

Para maestro tradisi lisan semestinya diperlakukan seperti pahlawan, dijamin hidupnya, setidaknya sampai ia mampu menuntaskan proses pewarisan.

Upaya lain adalah menghidupi dan menghidupkan tradisi lisan di lingkungannya sendiri, termasuk para pelakunya.

Dari Politik Kekuasaan ke Politik Identitas

Pakar kebudayaan Jawa, John Pamberton pernah mengatakan bahwa apa yang masih tersisa (dalam kebudayaan) adalah suatu kebudayaan murni tradisional yang bebas dari implikasi politik dan historis, kebudayaan yang didedikasikan untuk merayakan dirinya sendiri, seolah-olah memang demikian hakikatnya.

Akan tetapi, di mana saja bisa kita temukan saat ini dan seberapa banyak?

Nyatanya, sejak dulu praktik kebudayaan dan cara hidup komunitas dibentuk dalam negosiasi dengan kekuasaan negara dan politik lokal, dan bahwa praktik-praktik kebudayaan bisa memperkuat hirarki politik, dan kesempatan lain bisa menumbangkan kekuasaan politik, seperti ditulis Todd Jones dalam Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia (2015).

Apa yang dikatakan Jones itu terutama terlihat semasa rezim Orde Baru.

Dalam rezim Orba, agenda negara dianggap paling penting dan masyarakat sipil dianggap penting karena mereka merupakan sarana untuk mencapai agenda itu (Jones, Ted. 2015: 149).

Tampak jelas dan sudah kita rasakan, bahwa dalam hal penetapan budaya, negara mengintervensi. Kebudayaan di bawah Soeharto digunakan untuk membenarkan hubungan hierarkis kekuasaan.

Pascareformasi, terutama sejak lahirnya Permen 2014 itu, tradisi sebagai bagian dari kebudayaan, bisa dikatakan mendapat perlakuan lebih baik, menyusul UU Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017.

Ada keberpihakan negara pada tradisi , setidaknya diupayakan melalui payung hukum, dan memasukkan tradisi menjadi satu dari sepuluh objek kebudayaan yang harus dimajukan.

Sembilan objek lain meliputi manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Bahwa upaya memang belum optimal, memang benar.

Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadjamuddin Ramly menegaskan, keberpihakan pemerintah pusat dan daerah pada kebudayaan bisa dilihat dari seberapa besar alokasi anggarannya.

Kebudayaan adalah semacam tenda besar dari seluruh elemen kepentingan kita sebagai manusia. Di dalamnya ada banyak sektor. Oleh karena itu, keberpihakan kepada kebudayaan adalah sebuah keharusan.

“Selama ini nyatanya, kebudayaan masih dianggap sebagai pelengkap penderita,” katanya dalam sambutan seminar di Makassar.

Persoalan lain yang tidak kalah mengganggu adalah sebuah kekuatan yang laten sejak tahun 1980-an dan mencuat kuat pada satu dasawarsa terakhir: radikalisasi.

Ketika negara berupaya memajukan kebudayaan, gempuran datang dari “kelompok” yang mengusung pemurnian ajaran agama. Tradisi dianggap bid’ah. 

Celakanya, radikalisasi tidak pernah berdiri sendiri. Radikalisasi menjadi gerakan politis yang membawa-bawa agama demi menggayuh kekuasaan. Politik identitas dimainkan. 

Meski demikian, tradisi lisan di sejumlah tempat sebetulnya tidak benar-benar mati. Pembina Asosiasi Tradisi Lisan, Mukhlis PaEni menceritakan beberapa tradisi lisan yang pernah hidup, lalu mati suri sekian lama, bisa kembali lagi, meski dalam bentuk yang berbeda.

Perubahan tradisi-tradisi itu terkait dengan perubahan tatanan yang besar dalam masyarakat.
Ia mencontohkan Bissu di Wajo dan Luwu Sulawesi Selatan yang mati, lantas kini muncul lagi dalam kemasan yang berbeda.

Beberapa Bissu yang ditemui Mukhlis kini telah mengenakan jilbab dan berganti nama menjadi Hajjah Jannah, Haji Vera, dan Haji Hasnah. Mukhlis melihat bahwa tradisi itu selalu menyesuaikan dengan irama zaman, namun tidak lantas berubah konten dan filosofinya.

Sejatinya tiap-tiap daerah memilki pengalaman yang berbeda dalam menyikapi perubahan tatanan masyarakat dan tekanan lain. Di Nusa Tenggara Barat, misalnya, tradisi lisan Rodat makin hilang karena para senimannya makin enggan mementaskan.

Di Aceh, seperti dikatakan oleh Ketua ATL Aceh Rusjdi Ali, terjadi kompromi antara ulama dan pelaku tradisi lisan. Penyelenggaraan wayang boleh, tapi tidak lagi semalam suntuk.

Tarian panggung boleh, tapi lelaki semua atau perempuan, tidak dicampur laki-laki dan perempuan dalam satu tarian.

Sementara itu di beberapa daerah di Jawa, pertunjukan wayang justru mulai ditentang, seperti terjadi di Solo pada tahun 2011 ketika satu ormas meminta pertunjukan dihentikan.

Dua tahun lalu muncul spanduk pelarangan wayang di Jakarta, karena dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam. Kendati akhirnya berakhir kompromistis, kejadian-kejadian itu dikhawatirkan makin membuat masyarakat antipati dengan tradisi.

Ditambah lagi, banyak tradisi lisan sekarat karena maestronya tidak mau melakukannya lagi.
Sampai di sini, mencermati persoalan di atas, kompromi-kompromi perlu dilakukan.

Pertama, adalah kompromi anggaran, yakni anggaran dari pemerintah yang mampu menghidupkan tradisi lisan serta para maestronya.

Kedua. adalah kompromi nilai, yakni antara pelaku tradisi lisan dan kalangan pemuka agama, dengan tidak mematikan tradisi itu.

Ketiga, adalah kompromi komitmen, yakni para maestro/pelaku tradisi lisan dengan para pewarisnya serta masyarakat untuk bersama-sama menjaga tradisi jangan sampai punah.

Di sisi lain, masih hidupnya tradisi-tradisi di Nusantara tidak lepas dari peran Asosiasi Tradisi Lisan sebagai lembaga nonpemerintah yang mampu berpartner dengan pemerintah dalam menjalankan program.

ATL sejak 1993 telah menggelar seminar internasional dan festival tradisi lisan selama sebelas kali, turut merawat para pelestari tradisi lisan, memberi beasiswa S2 dengan bekerjasama dengan lembaga donor, dan berbagai kegiatan lain.

Ke depan, festival tradisi lisan seharusnya bisa dilakukan di tempat asal tradisi itu dilakukan agar ruhnya tidak tercerabut. Bukan para pelaku tradisi yang dibawa ke panggung, tapi kita yang datang kepada mereka. (Susi Ivvaty) 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com