Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asosiasi Tradisi Lisan Gelar Munas dan Seminar Internasional di Makassar

Kompas.com - 23/10/2019, 20:45 WIB
Susi Ivvaty,
Farid Assifa

Tim Redaksi

MAKASSAR, KOMPAS.com - Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) menggelar musyawarah nasional yang dibarengkan dengan Seminar Internasional dan Festival Tradisi Lisan XI, pada 23 hingga 27 Oktober 2019.

Seminar internasional yang dihelat di Universitas Hasanuddin Makassar itu mengusung tema "Menumbuhkan Tradisi Lisan sebagai Warisan Budaya: Meningkatkan Kesejahteraan dan Keselarasan Budaya".

Seminar internasional itu menghadirkan para akademisi/peneliti dari berbagai universitas dan lembaga di Indonesia seperti Heddhy Sri Ahimsa (UGM), Robert Sibarani (USU), Achadiati Ikram (Manassa/Yanassa), Mukhlis PaEni (LSF), Ninuk Kleden (LIPI), dan Sapardi Djoko Damono (UI).

Pembicara dari luar negeri meliputi Aone van Engelenhoven dari Leiden University, Dana Rappoport (Centre Asie dubSyd-Est Paris), Dominique Guillaud (French Institute of Research for Sustainable Development-UMR Paloc, IRD-MHNHN Paris), Charles Jeurgens (Amsterdam University), Chua Soo Pong (Hanoi Academy of Film and Theatre), Makoto Ito (Tokyo University), Stefan Danerek (Swedia), dan Haron Daud (Kelantan).

Baca juga: Tanggomo, Tradisi Lisan Gorontalo yang Makin Sulit Ditemukan

Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan, Pudentia MPSS mengatakan, seminar internasional dan festival tradisi lisan sudah sebelas kali terselenggara sejak ATL berdiri tahun 1993.

Penyelenggaranya bergantian, yakni ATL-ATL di daerah, didukung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat, dan beberapa lembaga seperti Yayasan Obor Indonesia dan KITLV.

"Kegiatan ini bisa bertahan karena adanya kesamaan pandang antara ATL dengan para pendukung, termasuk pemerintah. Sebab, kami semua menyadari peran dan fungsi tradisi lisan sebagai salah satu kekayaan budaya tak benda (Intangiable Cultural Heritage/ICH) yang terbukti menjadi kekuatan kultural membangun peradaban," papar Pudentia, Rabu (23/10/2019).

Menurut Pudentia, UNESCO sudah mengakui kegiatan tersebut sebagai bagian dari ICH yang harus dilindungi dan dikembangkan seperti yang tertera dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage tahun 2003.

"Dan, oleh Pemerintah Indonesia sudah diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 78, Juli 2007," katanya.

Dalam acara Munas ATL pada Rabu di Hotel Harper Makassar, beberapa anggota ATL membahas sejumlah persoalan dan tantangan tradisi lisan di era transnasional saat ini.

Rusjdi Ali dari ATL Aceh menekankan adanya upaya sinergis antara ulama dan pelaku tradisi agar tidak saling mempertentangkan. Misalnya, penyelenggaraan wayang tetap ada namun tidak lagi semalam suntuk, dan hanya satu jam atau tiga jam.

Menari di panggung diperbolehkan, namun perempuan semua atau laki-laki semua (tidak dicampur dalam satu tarian bersama).

"Ada usaha memperdekat antara pelaku tradisi dan ulama," kata Ali.

Menurut peneliti LIPI Ninuk Kleden, upaya menjembatani agama dengan tradisi harus dilakukan oleh semua daerah dan perlu untuk dipikirkan bersama.

Ia mencontohkan, tradisi Mamanda di Kalimantan yang makin hilang karena banyaknya pengajian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com