Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Zona Kosmopolitanisme, Ketegangan Kota, dan Seni Rupa Kalimantan

Kompas.com - 21/09/2019, 16:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lain dengan pengalaman personal, Andrew Ong, pelukis dari Kalimantan Timur menghadirkan karya Jangan Lihat Mataku, yang ia rasakan dalam pengalaman-pengalaman internalnya.

Ia keturunan ke tiga dari generasi kakeknya yang memang datang dari China, ke Kalimantan Barat, dengan berperahu, kemudian menetap di Kalimantan Timur.

Seperti yang diakuinya, “Mataku sipit dan saya keturunan Tionghoa, itu adalah kenyataan. Tapi tanah kelahiran saya adalah Indonesia, besar di Indonesia dan sampai sekarang saya masih tinggal di Indonesia, mati pun saya akan di kubur di tanah Indonesia, karenanya Jangan Lihat Mataku” ujarnya.

Andrew menyatakan, karyanya dengan telapak tangan besar, sebuah pesan politis, bagaimana rasisme masih saja terjadi di Tanah Air. “Bahkan saya tak bisa berbahasa mandarin, saya bangga menjadi bagian dari bangsa ini, yang terdiri dari kebhinekaan ras dan warna kulit”, tutupnya.


Sekilas Seni Kontemporer Kalimantan

Dari perwakilan karya-karya tersebut, yang memaparkan kondisi-kondisi yang sangat lokal, meskipun tentunya ada peristiwa-peristiwa yang dirasakan mirip secara global.

Kalimantan adalah wadah bagi penampang ratusan tahun budaya yang sangat majemuk, sebuah kondisi arus lokal yang kuat. Yang tentunya tak terelakkan pertemuannya dengan arus utama seni kontemporer model Barat.

Terlihat sekali, ada celah, atau lebih tepat sebuah ruang diskusi sebuah seni diaspora, yang dibayangkan sebagai ekspresi dari masyarakat dunia tentang abad 21 ini.

Hal itu bisa ditelisik sebagai ciri globalisasi dengan karakternya yang berhadap-hadapan justru dengan tribalisasi, kembalinya semua hal ke akar.

Dengan demikian, dalam konteks Keindonesiaan atau Kekalimantanan, seniman-seniman tak menampik arus internasionalisasi yang secara fleksibel juga mengadopsi, atau bahkan sangat paham adanya kesadaran-kesadaran untuk kembali, memelihara akar lokalitas sebagai semacam strategi bersama, menampak dalam bahasa artistik mereka.

Hal ini, oleh Okwui Enwezor, seorang kritikus Afro-Amerika dunia pernah disinggung sebagai gejala seni Altermodern, meminjam peristiwa pameran yang dikuratori kritikus Perancis, Nicolas Bourriaud.

Dana Prastiyawardanu, Tragis!, Acrylic on Canvas, 70x90 cm, 2019Dok Dana Prastiyawardanu Dana Prastiyawardanu, Tragis!, Acrylic on Canvas, 70x90 cm, 2019
Yakni, sebuah kondisi yang benar-benar terjadi dan baru dengan hadirnya daya artistikal yang heterogen dari seni kontemporer.

Bahkan sejak 1980-an yang menjadi gejala masif, kemudian dikembangkan lebih luas sebagai semacam konsekuensi fenomena migrasi, dekolonialisasi serta globalisasi, utamanya adalah upaya meninjau ulang narasi-narasi besar dalam seni yang disebarkan keseluruh dunia.

Dasar berpijaknya, dari tinjauan Enwezor itu, seniman-seniman Altermodern sebagai lahan pelontar ide melawan standardisasi budaya dan merupakan sebuah kondisi yang terjadi secara masif, kemudian pada saat sama membuka kesempitan makna “nasionalisme ala Barat” di masa lalu, dengan memperkaya kehadiran relativisme kultural.

Dalam konteks inilah, kecenderungan-kecenderungan seniman Kalimantan adalah bisa dihela produksi artistiknya dengan memposisikan dirinya sendiri, dalam menolak ketimpangan-ketimpangan atau posisi yang disebut sebagai “ketimpangan kultural” karena telah meletakkan dirinya sendiri dalam sebuah gelanggang dialog di pusat-pusat seni di Indonesia atau bahkan dunia kelak?

Bisa jadi, seperti lukisan perupa Sulistiyono Hilda, berjudul Dialectic of Life Medium, dengan paras wajah fisikawan Einstein sedang “meremas bola dunia” serta berlatar motif etnik Dayak, dari Kalimantan Selatan. Konsep itu bisa setara dengan pernyataanya, bahwa kehidupan akan terus berubah dan bergerak.

"Eksistensi ruang-ruang akan saling berdialektika, budaya lama sebagai tesa dan timbulnya antitesa sebagai respon kebutuhan untuk terus berubah, dan hidup selalu akan memunculkan sintesa baru," kata Sulistiyono.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com