Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Zona Kosmopolitanisme, Ketegangan Kota, dan Seni Rupa Kalimantan

Kompas.com - 21/09/2019, 16:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOSMOPOLATINISME sebagai sebuah konsep ideologi tentang masyarakat yang maju, mewadahi berbagai tinjauan kritis dalam sejarah peradaban.

Konsep ini menyerap baik dalam sudut pandang filosofis, sosiologis, kepentingan-kepentingan ekonomis maupun perspektif politik sampai muatan moral.

Para ilmuwan setuju jika kosmopolitanisme adalah sebentuk keyakinan atas dinamika warga majemuk yang berkomitmen tentang ruang hidup bersama. Sebuah komunitas yang ingin berbagi dalam kesetaraan.

Perspektif moral kemudian menjadi dominan, yang diterjemahkan sebagai upaya warga saling memanusiakan sesama manusia. Kayuh Baimbai, sebuah frasa lokal etnik Banjar seterusnya menjadi bingkai kuratorial dalam zonasi yang ditawarkan dengan tafsiran beragam oleh para seniman.

Apakah benar, warga Kalimantan, di kota-kota besar seperti Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin atau Pontianak yang inklusif dan daerah yang telah maju, baik pada peradaban masa lalunya dan kini meyakini cita-cita orang-orang kosmopolit atau menerima begitu saja bingkai pengertian konsep gotong royong ala Kayuh Baimbai itu yang disodorkan?

Warga kota, bahkan setiap warga kota-kota besar di dunia, tentu menempuh jalan pahit dan berliku, mempertahankan segugus abstraksi ingatan dan tempat yang dihuni oleh keberagaman.

Mereka mengalami ketegangan-ketegangan, bahkan ancaman konflik nilai-nilai, perebutan ruang, yang mendominasi atau yang terekslusi, sebelum konsensus diterima.

Tensi tersebut, dalam olah visual para seniman pada Pameran Besar Seni Rupa 2019 ini adalah gubahan ketegangan tentang tumpang tindih negosiasi para agen, atau individu-individu berpengaruh dalam gelanggang terbuka diantara kelompok-kelompok yang memiliki relasi kuasa atas modal ekonomi, sosial serta kultural di kota.

Meminjam konsep Bourdieu-an, faktor-faktor etnistitas, kaum-kerabat, puak yang berelasi dalam patronase berkelindan secara laten, dengan dominasi kepentingan ekonomi yang secara pelan membentuk kuasa simbolik yang merepresi.

Daniel Lie, The Game World of All Time, Cat Minyak Kanvas-100x150 cm-2019Dok Daniel Lie Daniel Lie, The Game World of All Time, Cat Minyak Kanvas-100x150 cm-2019
Tak heran, para seniman gemar menggambarkan isu-isu kerusakan ekologis, konflik kultural yang laten, tantangan disintegratif, proyek-proyek dehumanisasi sebagai strategi pembongkaran yang simbolik-represif tadi. Karya-karya juga menampilkan tantangan akut di era konektifitas siber, seperti hoaks, dll.

Kerusakan Ekologis dan Konektivitas Siber

Agung Eko Yulianto, perupa dari Kalimantan Utara, secara tajam sekaligus indah, menggambarkan realitas pembantaian makhluk hidup yang terjadi di Indonesia, utamanya Kalimantan, secara sistematis terhadap satwa endemik, dengan judul Genocida di Borneo.

“Saya juga ingin menyoroti kerakusan manusia, dengan eksploitasi hutan dan tambang yang mengakibatkan alih fungsi lahan-lahan vital”, ujarnya dalam narasi karya. Agung dengan cermat memasukkan simbol budaya pop, sosok antagonis dalam filem Star Wars, Darth Vader.

Senada dengan Agung, pelukis senior, Misbach Thamrin, dari Kalimantan Selatan, prihatin dengan kerusakan ekologis. Misbach menyodok dengan judul Save Meratus!

Karya cat minyak di atas kanvas ini, dengan ukuran 90 x 150 Cm menggambarkan sang Dewi Alam terbaring menyusui di pegunungan Meratus. Hutan tropis pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, termasuk salah satu bagian dari kawasan paru-paru dunia, yang mensuplai sumber oksigen bagi bumi.

“Tragisnya, operasi perusahaan batu bara dan kelapa sawit mendatangkan petaka lingkungan hidup bagi kelestarian alam. Meratus mengalami kerusakan lingkungan yang dahsyat. Tanah, hutan dan pegunungannya terbongkar, menjadi gundul dan jadi rongga-rongga melompong yang tandus dan kerontang”, kata Misbach dalam narasi karya.

Misbach termasuk pelukis yang dianggap layak masuk dalam zonasi kosmopolitanisme, dengan menimbang kerusakan ekologis tentu hulunya adalah kebijakan orang-orang Kota. Yang mungkin bukan dari area Kalimantan, bisa jadi dari Jakarta?

Agung Eko, Genocida di Borneo, Acrylic on Canvas, 80x120cm, 2017Dok Agung Eko Agung Eko, Genocida di Borneo, Acrylic on Canvas, 80x120cm, 2017
Secara simbolik, ia membayangkan seorang Ibu, atau Dewi Meratus?, yang sedang menyusui dalam lukisannya, bagai orangutan bersama anaknya. Mereka menghuni Meratus, otentik mewarisi masa ratusan tahun sebagai hutan, orang Meratus pemilik sah dari habitatnya yang aseli.

Misbach dengan cara penggambaran “romantik” memberi nuansa sejuk kanvasnya, yang tak seperti lukisan-lukisannya yang lain, berenergi dan meledak, yang kita kenal ia salah seorang pelukis yang mewarisi zaman bergolak pada 1960-an.

Misbach kali ini, menuturkan dengan lembut, mengetuk pintu-pintu warna teduh, yang mencipta suasana pengingat bahwa apakah tetap terjaga keseimbangan lingkungan hidup dan alam yang terus memberi pada manusia terdistorsi kepentingan-kepentingan industri?

Save Meratus! Adalah jargon yang dikenal di Kalimantan Selatan secara intim, tak hanya di kalangan aktivis lingkungan hidup, seniman, jurnalis sampai orang-orang Dayak Meratus, tapi publik umum juga sangat mengenal tentang isu ini.

Lain halnya dengan Dana Prastiyawardanu, pelukis dari Kalimantan Utara, wakil dari generasi milenial bersuara tentang dunia media sosial. Lukisannya menceritakan dampak negatif media sosial yang mengancam dari bertumbuhnya kematangan psikologis manusia, semenjak dari masa anak-anak, terutama pada saat bertumbuh menjadi remaja.

Ia dengan cerdik, mengolah simbol garis polisi, yang biasanya memberi batas tempat terjadinya sebuah perkara kejahatan, kecelakaan dll, menjadi teks: Caution. Dan Dana menampilkan, seseorang, berusia muda, berkacamata, dengan tangan terbuka berteriak dalam warna hijau cerah.

Aura pop terasa dilukisannya; yang bagi Dana sebenarnya adalah pesan serius, bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan, batas-batas musti dipertegas, tatkala yang fiktif dan yang riil berbaur di media sosial.

“Dunia maya melalui internet seperti sebuah lingkungan baru yang berbeda dengan lingkungan nyata. Remaja sering beranggapan dunia maya adalah dunia main-main, namun dampaknya sangat fatal” ujarnya dalam narasi berkarya.

Andrew Ong, Jangan Lihat Mataku, Cat Akrilik di atas kanvas, 130x150cm-2017Dok Andrew Ong Andrew Ong, Jangan Lihat Mataku, Cat Akrilik di atas kanvas, 130x150cm-2017
Keprihatinan Dana, menular pada Daniel Lie, pelukis dari Kalimantan Selatan ini. Ia dengan judul The Game World of All Time, yang bermedia masih cat minyak kanvas, mendemostrasikan kepiawaiannya melukis realis, dengan mengkritisi permainan dari masa ke masa.

Daniel, mungkin separuh putus asa dengan dunia game online, sebab mereduksi anak-anak tak bisa lagi bermain secara fisik, melatih otot sekaligus berinteraksi secara sosial dengan teman-temannya

“Dunia anak-anak sekarang sudah dipengaruhi hal-hal yang berbau teknologi, sehingga segala bentuk permainan anak-anak yang murni dan peninggalan kultur aseli kita, mungkin segera terlupakan?” keluhnya dalam narasi karya.

Dalam tataran lebih ekstrim, dunia siber bagi seniman Jayus Agus Tono, dengan karya instalasinya adalah sungguh sebuah ruang yang berbahaya.

“Kebebasan berdemokrasi diuji di dunia maya. Media Sosial menjelma lebih berbahaya ketimbang senjata api. Hoaks menyebar cepat menembus ruang-ruang privat, menjadi provokator yang berujung manusia-manusia saling hujat dan caci,” katanya.

“Media sosial berubah menjadi alat kebencian, yang bahkan merapuhkan keutuhan bangsa, yang difondasikan oleh komitman keberagaman. Pertentangan terkait suku, ras, agama dan antar golongan, tak terelakkan sedang di tubir terujung,” tegasnya lagi dalam konsep karya.

Jayus mengandaikan, kondisi ini, selayaknya diatasi dengan hukuman keras, yag mengarah baik hukuman yang tajam ke atas sekaligus ke bawah, dengan penjara sebagai hukuman setimpal bagi siapa saja hendak menggunakan akses media sosial dengan semena-mena.


Ketidakadilan dan Rasisme

Fatur Rahmy, seorang pelukis dan fotografer dari Kalimantan Selatan berbicara dengan sajak dalam narasi karya, segera kita tahu, ia menggambarkan peristiwa tragik yang terjadi, dalam foto-foto dokumenternya:

 

Kota Yang Terluka, Kota-kota pecah di atas bara api yang menderu, Seorang anak duduk di depan etalase, memandang, Manekin-manekin yang terbakar rambutnya, Ingin disiramnya dengan wajah yang meleleh itu, Sementara di tangannya segelang emas, Tak tahu mau diletakkannya di mana?

Sebuah gardu listrik meledak, Seekor burung gereja terbakar di kabel, Yang tersambung ke sana, Seorang pengayuh becak yang berpeluh mengambilnya, Ditimang-timangnya untuk keluarganya, Sementara asap mengepul dari gedung-gedung tinggi, Ada yang terbakar di sana, sepasang kekasih, Yang baru pertama nonton Romeo dan Juliet, Sebuah bendera berkibar tak lengkap lagi, Warnanya kuning sisinya merah, Hitam jelaga, Sebuah kota kembali muda, Pembangunan sekian puluh tahun tak berarti, Orang-orang dibakar amarah, Orang-orang terbakar janji….Pergi, pergi…Tak kembali.


Sajak dan foto-foto Fatur Rahmy, mengembalikan memori puluhan tahun lampau, sebuah kota yang terluka, di tepian sebuah sungai besar dalam warna hitam dan putih, ketidakadilan tergambar sangat jelas, yang berlangsung lama.

Fatur Rahmy, Kota Yang Terluka, Fotografi Dokumenter, 1997Dok Fatur Rahmy Fatur Rahmy, Kota Yang Terluka, Fotografi Dokumenter, 1997
Era reformasi memberi harapan, tatkala rezim politik selama 32 tahun menyebabkan amunisi kebencian pada 1997, meledak melumat kota, yang terus terpatri dalam ingat.

Lain dengan pengalaman personal, Andrew Ong, pelukis dari Kalimantan Timur menghadirkan karya Jangan Lihat Mataku, yang ia rasakan dalam pengalaman-pengalaman internalnya.

Ia keturunan ke tiga dari generasi kakeknya yang memang datang dari China, ke Kalimantan Barat, dengan berperahu, kemudian menetap di Kalimantan Timur.

Seperti yang diakuinya, “Mataku sipit dan saya keturunan Tionghoa, itu adalah kenyataan. Tapi tanah kelahiran saya adalah Indonesia, besar di Indonesia dan sampai sekarang saya masih tinggal di Indonesia, mati pun saya akan di kubur di tanah Indonesia, karenanya Jangan Lihat Mataku” ujarnya.

Sulistyono, Dialectic of Life,  oil on canvas, 150x250cm, 2019Dok Sulistyono Sulistyono, Dialectic of Life, oil on canvas, 150x250cm, 2019
Andrew menyatakan, karyanya dengan telapak tangan besar, sebuah pesan politis, bagaimana rasisme masih saja terjadi di Tanah Air. “Bahkan saya tak bisa berbahasa mandarin, saya bangga menjadi bagian dari bangsa ini, yang terdiri dari kebhinekaan ras dan warna kulit”, tutupnya.


Sekilas Seni Kontemporer Kalimantan

Dari perwakilan karya-karya tersebut, yang memaparkan kondisi-kondisi yang sangat lokal, meskipun tentunya ada peristiwa-peristiwa yang dirasakan mirip secara global.

Kalimantan adalah wadah bagi penampang ratusan tahun budaya yang sangat majemuk, sebuah kondisi arus lokal yang kuat. Yang tentunya tak terelakkan pertemuannya dengan arus utama seni kontemporer model Barat.

Terlihat sekali, ada celah, atau lebih tepat sebuah ruang diskusi sebuah seni diaspora, yang dibayangkan sebagai ekspresi dari masyarakat dunia tentang abad 21 ini.

Hal itu bisa ditelisik sebagai ciri globalisasi dengan karakternya yang berhadap-hadapan justru dengan tribalisasi, kembalinya semua hal ke akar.

Dengan demikian, dalam konteks Keindonesiaan atau Kekalimantanan, seniman-seniman tak menampik arus internasionalisasi yang secara fleksibel juga mengadopsi, atau bahkan sangat paham adanya kesadaran-kesadaran untuk kembali, memelihara akar lokalitas sebagai semacam strategi bersama, menampak dalam bahasa artistik mereka.

Hal ini, oleh Okwui Enwezor, seorang kritikus Afro-Amerika dunia pernah disinggung sebagai gejala seni Altermodern, meminjam peristiwa pameran yang dikuratori kritikus Perancis, Nicolas Bourriaud.

Dana Prastiyawardanu, Tragis!, Acrylic on Canvas, 70x90 cm, 2019Dok Dana Prastiyawardanu Dana Prastiyawardanu, Tragis!, Acrylic on Canvas, 70x90 cm, 2019
Yakni, sebuah kondisi yang benar-benar terjadi dan baru dengan hadirnya daya artistikal yang heterogen dari seni kontemporer.

Bahkan sejak 1980-an yang menjadi gejala masif, kemudian dikembangkan lebih luas sebagai semacam konsekuensi fenomena migrasi, dekolonialisasi serta globalisasi, utamanya adalah upaya meninjau ulang narasi-narasi besar dalam seni yang disebarkan keseluruh dunia.

Dasar berpijaknya, dari tinjauan Enwezor itu, seniman-seniman Altermodern sebagai lahan pelontar ide melawan standardisasi budaya dan merupakan sebuah kondisi yang terjadi secara masif, kemudian pada saat sama membuka kesempitan makna “nasionalisme ala Barat” di masa lalu, dengan memperkaya kehadiran relativisme kultural.

Dalam konteks inilah, kecenderungan-kecenderungan seniman Kalimantan adalah bisa dihela produksi artistiknya dengan memposisikan dirinya sendiri, dalam menolak ketimpangan-ketimpangan atau posisi yang disebut sebagai “ketimpangan kultural” karena telah meletakkan dirinya sendiri dalam sebuah gelanggang dialog di pusat-pusat seni di Indonesia atau bahkan dunia kelak?

Bisa jadi, seperti lukisan perupa Sulistiyono Hilda, berjudul Dialectic of Life Medium, dengan paras wajah fisikawan Einstein sedang “meremas bola dunia” serta berlatar motif etnik Dayak, dari Kalimantan Selatan. Konsep itu bisa setara dengan pernyataanya, bahwa kehidupan akan terus berubah dan bergerak.

"Eksistensi ruang-ruang akan saling berdialektika, budaya lama sebagai tesa dan timbulnya antitesa sebagai respon kebutuhan untuk terus berubah, dan hidup selalu akan memunculkan sintesa baru," kata Sulistiyono.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com