Sebelumnya, Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Harry Hikmat, menuturkan pemerintah berencana untuk menyekolahkan anak-anak tersebut di sekolah terdekat.
"Pada saat bantuan-bantuan mungkin terbatas, akhirnya anak-anak tidak bisa diteruskan di sekolah darurat, sehingga dinas setempat sudah memberikan suatu kebijakan agar disekolahkan di sekolah-sekolah terdekat di sana," kata dia.
Namun, kebijakan ini dianggap akan menimbulkan masalah baru bagi anak-anak pengungsi.
Ence Geong dari Yayasan Teratai Hati Papua yang mendampingi pengungsi sejak eskalasi konflik memanas pada Desember tahun lalu mengungkapkan anak-anak korban konflik masih trauma.
Bahkan, ketika bertemu dengan orang-orang baru, mereka selalu ketakutan.
Baca juga: Kemensos Sebut 53 Pengungsi Nduga Meninggal Dunia
"Apalagi orang baru yang mereka tidak kenal, yang bertemu sesekali, itu berisiko sekali, mereka tidak akan nyaman sekolah di situ."
Bahasa, lanjut Ence, juga menjadi kendala karena kebanyakan anak-anak Nduga menggunakan bahasa daerah, yang berbeda jauh dengan bahasa daerah Wamena.
"Sehingga komunikasi tidak akan nyambung dan itu menghambat pergaulan anak-anak Nduga dan anak-anak yang ada di Wamena."
Apalagi, kualitas pendidikan di Nduga, diakui Ence, tidak sebagus di Wamena.
Secara nasional, indeks pembangunan manusia di Nduga merupakan yang terendah.
Dari aspek pendidikan, menurut Ence, kualitas yang ada di Nduga terbilang rendah, demikian halnya dengan partisipasi siswa didik.
"Maka kalau anak-anak Nduga datang ke Wamena dan datang ke sekolah-sekolah di Wamena, itu ada perbedaan level yang akan jadi sulit untuk diimbangi oleh anak-anak Nduga," ungkap Ence.
Baca juga: Jumlah Pengungsi Konflik di Nduga Capai 8.000 Jiwa
Aki Logoh menuturkan selain harus mengulang mulai dari kelas satu, mereka juga harus melengkapi surat-surat yang diperlukan, yang acap kali tidak dibawa mereka ketika dalam pengungsian.
"Prioritas hanya itu saja, kartu keluarga, akta [kelahiran] karena harus masuk di data semua berdasar data kartu keluarga itu. Yang prioritas kami di sini kartu keluarga dulu. Kalau yang di SMP harus ada ijazah SD karena ijazahnya mau diubah, susah ya," kata dia.
Jika banyak pengungsi dipindah ke sekolah-sekolah di Wamena, menurut Aki, juga menjadi kendala tersendiri karena kapasitas kelas yang terbatas.
"Karena kelas terbatas, jadi susah untuk terima banyak. Karena yang lain sudah ada duluan, jadi kita harus batasi beberapa," kata dia.
Saat ini, jumlah siswa SD di yayasannya sudah melebihi kapasitas.
Kapasitas sekolah yang semestinya hanya diisi 120 siswa, kini diisi dengan 180 siswa yang terbagi dalam enam kelas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.