Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pernikahan Anak di Kamp Pengungsian Palu, Menikah dengan Teman hingga Hamil Lebih Dulu

Kompas.com - 26/07/2019, 06:37 WIB
Rachmawati

Editor

Setelah pacaran selama dua bulan dengan tetangganya, dia lalu memutuskan untuk menikah setelah ibu dan neneknya memergoki dia berpacaran.

"Suami saya katanya belum pingin kawin. Jadi dia tuh memikirkan karena kita sudah berhubungan, terpaksa dia mau. Namanya juga kita saling menyukai. Jadi kata orang tua ya mau diapain, kawinin aja."

Alasan menikahkan anak karena norma warga setempat diakui oleh Azis, ketua lembaga adat di desa itu.

"Kami sebagai lembaga adat kami sama-sama pertanggungjawabkan ini. Meski umurnya belum cukup, kami tetap laksanakan itu," ujar pria paruh baya itu.

"Kenapa kami laksanakan kebetulan orang tuanya seakan-akan tidak menghiraukan mereka, sehingga kami berani juga melaksanakan pernikahan mereka." imbuhnya.

Baca juga: Diduga Rem Blong, Truk Fuso Seruduk Tenda Pesta Pernikahan Warga

 

Apa penyebabnya?

Pernikahan Dini dan Santi adalah beberapa dari 12 kasus pernikahan anak yang terpantau oleh tenda ramah perempuan - sebuah posko yang didirikan menjadi pusat rujukan bagi permasalahan anak dan perempuan di pengungsian - dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.

Sebanyak 10 kasus, terjadi di enam tenda ramah perempuan yang dikelola lembaga swadaya masyarakat Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan, LIBU.

Direktur LIBU Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir mengungkapkan, kasus pernikahan anak paling banyak terjadi di Petobo, tempat fenomena likuifaksi terjadi.

"Memang di Petobo ini laporan yang paling banyak, ada lima orang anak, yang dilaporkan oleh volunteer. Kemudian ada dua di Pantoloan, dua orang di Jono Oge dan satu orang di Balaroa."
Dewi menuturkan empat dari anak perempuan ini menikah dengan pria dewasa, sementara sisanya menikah dengan teman sebayanya.

"Satu di antaranya karena istrinya terkena likuifaksi kemarin kemudian yang sekarang jadi istrinya baru masuk 17 tahun dan masih bersekolah."

Tenda ramah perempuan menjadi pusat rujukan bagi permasalahan anak dan perempuan di pengungsian dok BBC Indonesia Tenda ramah perempuan menjadi pusat rujukan bagi permasalahan anak dan perempuan di pengungsian

Lantas, apa yang menjadi penyebab anak-anak ini dinikahkan dalam usia di bawah umur?

Dewi mengungkapkan, motif ekonomi mendominasi pernikahan anak ini. Karena desakan ekonomi keluarga, yang kemudian menikahkan anaknya demi mengurangi beban keluarga.

"Walaupun di Undang-Undang Perlindungan Anak kan 0-18 tahun masih dikategorikan sebagai anak sebetulnya."

Faktor keterdesakan ekonomi juga disuarakan oleh Soraya Sultan, ketua Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah atau KPKP-ST yang ikut memberi pendampingan kepada anak-anak dan remaja di enam lokasi pengungsian di Kota Palu dan Kabupaten Donggala.

"Apalagi situasi begini, beban tekanan ekonomi, tekanan sosial juga. Begitu ada tanggung jawab yang terpindah, itu mereka merasa bebannya ilang sedikit," imbuhnya.

Baca juga: Kasus Pernikahan Sedarah, Kemenag: Hanya Ada 7 Penghulu di Balikpapan dan Tidak Pasang Tarif

Namun dia menambahkan, selain keterdesakan ekonomi, faktor hamil di luar nikah juga menjadi penyebab pernikahan anak ini.

Kasus pernikahan anak di kamp pengungsian pasca tsunami Palu: 'Saya masih ingin sekolah'

"Walaupun hamil, tapi kan mindset orang tua kalau anak sudah menikah, tanggung jawab orang tua lepas. Mau dia kawin dengan seumuran kah, atau yang lebih tua kah, tanggung jawab lepas," jelas Soraya.

Namun, Soraya juga menggarisbawahi bahwa proteksi orangtua jauh berbeda ketika mereka tinggal di kamp pengungsian.

"Kalau di rumah, tingkat perlindungan orang tua lebih tinggi daripada di kamp atau huntara karena tenda atau Huntara yang kecil."

"Kita kan tidak bisa memaksa anak gadis tetap tinggal di dalam rumah. Siapa yang betah di ukuran tiga kali empat, satu kali dua puluh empat jam?"

Baca juga: Kasus Pernikahan Sedarah, Kemenag: Hanya Ada 7 Penghulu di Balikpapan dan Tidak Pasang Tarif

Namun, terlepas dari kondisi ekonomi yang mendesak, faktor norma sosial di Palu dan sekitarnya yang melanggengkan pernikahan anak, menurut Dewi, juga menjadi penyebab maraknya pernikahan anak di Sulawesi Tengah.

"Itu jadi faktor juga, karena Sulawesi tengah ketiga tertinggi secara nasional."

"Desakan lingkungan memaksa anak untuk segera dikawinkan."

"Lingkungan, dalam hal ini tradisi dan budaya di Sulawesi tengah, terutama di daerah pegunungan tinggi yang adatnya sangat kuat, banyak juga kita temukan kasus-kasus seperti itu," jelas Dewi.

Rata-rata dari anak-anak ini, ujar Dewi, dinikahkan ketika mereka berusia 15-16 tahun.
Fenomena ini, menurut Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Rita Pranawati memperparah predikat Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi.

Dia menuturkan situasi pendidikan dan perspektif budaya, juga menjadi penyebab maraknya pernikahan anak di Sulawesi Tengah.

"Misalnya, tidak mau dianggap anaknya tidak laku, ini kan sudah menjadi bagian dari adat yang sering dianggap malu keluarga, aib."

"Ketercapaian wajib belajar juga tidak tinggi, situasinya jadi kurang baik."
"Tapi memang terkait kultur norma sosial dan budaya itu yang sebenarnya sering menjadi pendorong utama," kata dia.

Baca juga: Kasus Pernikahan Sedarah di Bulukumba, Ini Pasal yang Dikenakan Polisi

 

'Saya tidak mau, saya mau kejar prestasi"

Namun, di antara anak-anak yang disuruh menikah, ada yang mendobrak norma sosial itu.

Ratna dan Galih (bukan nama sebenarnya), dua sejoli yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas, dipaksa menikah oleh orang tua Ratna hanya karena mereka bermain hingga pagi hari.

"Saya tidak mau lah. Saya mau kejar prestasiku dengan saya mau sekolah," ungkap Ratna yang masih berusia 16 tahun itu.

Dia menuturkan ini untuk kedua kalinya sang ibu memaksanya untuk menikah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com