KOMPAS.com - Warga di RT 34 di Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, menolak penggunaan rumah tinggal untuk tempat ibadah di wilayah mereka.
Alasannya, pemilik rumah sudah menandatangani kesepakatan tidak mendirikan tempat ibadah yang sudah dilakukan sejak tahun 2003 lalu.
Berikut 7 fakta polemik pendirian tempat ibadah di Kabupaten Bantul, Yogyakarta:
Ia berencana membangun rumah sekaligus Gereja Kristen Pantekosta di Indonesia (GPdI).
Pada saat memasuki tahap awal pembangunan rumah, ia dan istri beserta pekerja dipanggil pihak desa. Sitorus mengaku sempat ada tekanan saat dirinya diminta untuk membuat surat pernyataan untuk tidak mendirikan rumah ibadah.
"Ketika beberapa hari kemudian saya dipanggil Pak Dukuh dan tanda tangan tapi setelah itu saya tidak diberi kopiannya," katanya saat ditemui seusai mediasi di Kantor Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019).
Baca juga: Warga Dusun di Bantul Tolak Pendirian Rumah Ibadah
Rumah di Dusun Bandut Lor seluas 335 meter persegi dibeli Tigor Sitorus seharga Rp 36 juta pada tahun 2003 lalu.
Namun saat awal pembangunan, dia sempat membuat surat pernyataan untuk tidak mendirikan rumah ibadah. Namun dia sempat ada tekanan saat membuat surat pernyataan.
Baca juga: Sebelum Tewas Terbakar di Arab Saudi, Kaini Ingin Pulang usai Ibadah Haji
Pengajuan didasari Peraturan Bupati (Perbub) Kabupaten Bantul nomor 98 tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Tempat Ibadah.
Pengajuan Sitorus diterima pemerintah dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terbit per 15 Januari 2019.
Sejak awal April 2019 lalu, ia kemudian resmi menggunakan rumahnya menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu untuk ibadah umat dari berbagai pelosok Indonesia, seperti Papua, Kalimantan, hingga Sumatera.
Namun, upaya yang dilakukan Sitorus belum mendapatkan restu dari warga sekitar. Mereka tetap menolak keberadaan tempat ibadah yang rencananya akan digunakan setiap hari Minggu pukul 08.00 WIB.