Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tangan Suratimin, Semoyo yang Tandus Berubah Jadi Asri

Kompas.com - 25/01/2019, 16:33 WIB
Markus Yuwono,
Khairina

Tim Redaksi


YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Wilayah Gunungkidul, Yogyakarta, dikenal wilayah tandus, gersang dan wilayah minus.

Sebagian masyarakat melakukan upaya untuk menjaga kelestarian air dengan menggeliatkan kembali hutan rakyat. Salah satunya, arga Dusun Salak, Desa Semoyo, Kecamatan Patuk.

Wilayah Semoyo, sebelum tahun 2004 wilayah yang gersang. Namun, 

Salah satu warga yang menggagas konservasi hutan rakyat adalah Suratimin Sukro Utomo.

"Gunungkidul khususnya (desa) Semoyo dikenal dengan wilayah gersang. Dulu desa kami gersang sekali. Saat kemarau daerahnya sangat panas," kata Suratimin saat berbincang, Kamis (24/1/2019) petang.

Baca juga: 39 Tahun Tanam Pohon, Pria di India Sendirian Ubah Pulau Tandus Jadi Hutan

Keprihatinan itu bermula saat dirinya pulang dari merantau di wilayah Kalimantan dan Papua.

Bersama sekitar 20 warga, ia membentuk kelompok tani bernama Masyarakat Peduli Petani (MPP), yang belakangan berganti nama menjadi Serikat Petani Pembaharu (SPP).

Kelompok ini kemudian menjadi wadah para petani untuk belajar. Salah satu programnya mengembalikan hutan rakyat yang ada di Dusun Salak.

Pascagempa 2006, warga terus bergerak menanam pohon, karena ada sekitar 21 mata air yang kembali muncul.

Warga menanam di sekitar mata air untuk menjaga kelestarian air. Adapun lima tanaman hutan utama yang ditanam adalah akasia, jati, mahoni, sonokeling, dan sengon laut.

Warga juga diajak untuk menanam air saat musim hujan. Caranya, membuat banyak lubang di ladang agar air bisa meresap di tanah.

Hasilnya, wilayah Semoyo tak lagi kekurangan air saat musim kemarau. Persediaan air di 21 titik sumber mata air masih bisa dimanfaatkan. Bahkan, wilayah tersebut menjadi kawasan konservasi dan wisata.

Tak hanya itu, warga mengembangkan aktivitas dengan memanfaatkan sampah dedaunan menjadi pupuk organik. Pupuk organik ini berkembang hingga memproduksi pestisida organik.

Warga diberikan edukasi lewat radio komunitas, namanya radio Radekka atau radio kawasan konservasi. Hal ini lantaran penggunaan radio lebih bisa diterima warga karena bisa didengarkan sembari aktivitas bertani atau mengurus ternak. Ia juga mendirikan Sekolah Pertanian Rakyat (SPR) dan Sekolah Anak Petani (SAP).

"Hutan lestari memang perekonomian tak langsung berdampak," kata pria kelahiran 1 Mei 1959 ini.

Baca juga: Jumali Jiwo Jebret, Mengubah Desa Tandus jadi Wilayah Sentra Buah

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com