Salin Artikel

Di Tangan Suratimin, Semoyo yang Tandus Berubah Jadi Asri

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Wilayah Gunungkidul, Yogyakarta, dikenal wilayah tandus, gersang dan wilayah minus.

Sebagian masyarakat melakukan upaya untuk menjaga kelestarian air dengan menggeliatkan kembali hutan rakyat. Salah satunya, arga Dusun Salak, Desa Semoyo, Kecamatan Patuk.

Wilayah Semoyo, sebelum tahun 2004 wilayah yang gersang. Namun, 

Salah satu warga yang menggagas konservasi hutan rakyat adalah Suratimin Sukro Utomo.

"Gunungkidul khususnya (desa) Semoyo dikenal dengan wilayah gersang. Dulu desa kami gersang sekali. Saat kemarau daerahnya sangat panas," kata Suratimin saat berbincang, Kamis (24/1/2019) petang.

Keprihatinan itu bermula saat dirinya pulang dari merantau di wilayah Kalimantan dan Papua.

Bersama sekitar 20 warga, ia membentuk kelompok tani bernama Masyarakat Peduli Petani (MPP), yang belakangan berganti nama menjadi Serikat Petani Pembaharu (SPP).

Kelompok ini kemudian menjadi wadah para petani untuk belajar. Salah satu programnya mengembalikan hutan rakyat yang ada di Dusun Salak.

Pascagempa 2006, warga terus bergerak menanam pohon, karena ada sekitar 21 mata air yang kembali muncul.

Warga menanam di sekitar mata air untuk menjaga kelestarian air. Adapun lima tanaman hutan utama yang ditanam adalah akasia, jati, mahoni, sonokeling, dan sengon laut.

Warga juga diajak untuk menanam air saat musim hujan. Caranya, membuat banyak lubang di ladang agar air bisa meresap di tanah.

Hasilnya, wilayah Semoyo tak lagi kekurangan air saat musim kemarau. Persediaan air di 21 titik sumber mata air masih bisa dimanfaatkan. Bahkan, wilayah tersebut menjadi kawasan konservasi dan wisata.

Tak hanya itu, warga mengembangkan aktivitas dengan memanfaatkan sampah dedaunan menjadi pupuk organik. Pupuk organik ini berkembang hingga memproduksi pestisida organik.

Warga diberikan edukasi lewat radio komunitas, namanya radio Radekka atau radio kawasan konservasi. Hal ini lantaran penggunaan radio lebih bisa diterima warga karena bisa didengarkan sembari aktivitas bertani atau mengurus ternak. Ia juga mendirikan Sekolah Pertanian Rakyat (SPR) dan Sekolah Anak Petani (SAP).

"Hutan lestari memang perekonomian tak langsung berdampak," kata pria kelahiran 1 Mei 1959 ini.

"Tapi setidaknya bisa menjadi tabungan warga saat situasi terdesak dengan menebang kayu untuk memenuhi kebutuhan. Nilai jual akan lebih tinggi kalau kayu hasil tebang diolah jadi mebel atau kerajinan dulu," ucapnya.

Saat ini, berbagai jenis tanaman hutan ditanam di kawasan hutan rakyat seluas 475 hektar. Di sisi lain, luasan Desa Semoyo sekitar 575 hektar.

Kegigihan itu berbuah manis. Pada tahun 2013 lalu, ia berhasil berhasil mendapatkan Penghargaan Kalpataru dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan kader konservasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ia dapatkan pada 2016.

"Pemerintah menitip pesan agar langkah seperti yang kami lakukan terus berlanjut. Tapi, pemerintah juga seharusnya tidak membiarkan warga bergerak sendiri dalam menjaga lingkungannya,"ujar bapak dua anak ini

Menurut dia, hutan tersebut bisa menyerap emisi karbondioksida. Berdasarkan hitungan Suratimin, hutan di tempatnya bisa menghasilkan 32 ton karbon per hektar per tahun.

Jika dihitung kasar, hutan rakyat di Desa Semoyo bisa menghasilkan 15.200 ton karbon per tahun. Penghitungan karbon oleh warga Semoyo menjadi salah satu rujukan, terbukti 27 negara yang belajar menghitung karbon pada 2016.

Tahun 2017, tujuh perwakilan negara di Asia belajar menghitung karbon di Desa Semoyo, mulai dari Cina, Thailand, India, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia.

Memanfaatkan hasil hutan

Upaya meningkatkan perekonomian warga sekitar dilakukan dengan memanfaatkan hasil kayu. Satu langkah yang dilakukan yakni dengan membuat tempat produksi olahan kayu yang dibuat dengan berbagai produk.

Harapannya, warga tidak hanya menjual kayu gelondongan. Harganya jauh lebih tinggi saat dijual dalam bentuk jadi. Penjualan bisa berwujud meja, kursi, atau perabotan lain seperti radio hingga flash disk.

Hiasan kamera dijual Rp260 ribu per buah, cangkir atau gelang seharga Rp 50.000, jam dibanderol Rp 150 ribu- Rp 250 ribu.

"Setelah diolah jadi kerajian, satu pohon bisa menghasilkan sekitar Rp 3 juta. Warga membuat mebel baru ada sekitar 15 kelompok dari total 850 kepala keluarga. Ini cukup baik karena bisa membangun kreativitas dan inovasi warga," ucapnya.

Selain dipasarkan secara manual, dirinya memasarkan melalui online, dengan memanfaatkan media sosialnya.

"Hasilnya lebih tinggi dibandingkan menjual dalam bentuk kayu utuh," katanya. 

https://regional.kompas.com/read/2019/01/25/16331171/di-tangan-suratimin-semoyo-yang-tandus-berubah-jadi-asri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke