Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Jenang dan Tradisi Bakdo Ketupat Warga Jawa Tondano...

Kompas.com - 17/06/2018, 16:58 WIB
Rosyid A Azhar ,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

Alat pengaduk ini adalah batang kayu silar yang sudah tua dan kering. Ini berfungsi sebagai sendok untuk mengaduk adonan agar matang rata dan tidak hangus.

Adonan jenang yang lengket tidak mudah dibolak-balik oleh orang yang tidak berpengalaman, sebab persediaan tenaga bisa habis sebelum jenang matang. Kaum pria biasanya yang menjadi pengayok jenang.

Rumping besi (wajan) yang digunakan cukup besar untuk mengaduk jenang ini. Pengapian pun harus stabil sepanjang proses memasak jenang.

Yang unik dari jenang suku Jaton ini adalah cita rasa dan cara menyajikannya. Untuk rasa, masyarakat biasa mencampur dengan pisang tertentu agar memiliki rasa jenang bercampur rasa pisang.

Namun, tidak semua pisang bisa larut dan menyatu dalam adonan. Jika salah memasukkan jenis pisang, akan menggumpal dan tidak bisa disajikan untuk tamu.

Ada juga yang mencampur adonan jenang dengan durian untuk mendapatkan cita rasa durian yang memikat. Selain itu, tidak jarang mereka juga mencampur dengan butiran kacang atau kenari, untuk memberi tambahan cita rasa yang gurih.

Baca juga: Ribuan Masyarakat Jaton Hadiri Festival Seni Budaya Jawa Tondano

“Kalau ada tambahan kacang atau kenari, jenang tidak bisa tahan lama,” kata Nurain Thayeb, warga Tondano.

Jenang yang cita rasa buah dan kacang ini selalu menjadi buruan para pengunjung bakdo kupat di kampung-kampung yang dihuni orang Jaton.

Jenang yang sudah matang di rumping ini lalu dibungkus dengan daun woka. Woka adalah tanaman palem yang banyak tumbuh di kebun atau pinggiran hutan.

Bungkusan jenang dibuat memanjang dengan ikatan di bagian ujungnya. Karena daun woka muda yang berwarna putih kehijauann, membuat tampilan jenang semakin manis dan cantik. Mengundang selera siapa saja yang melihatnya.

Sebenarnya jenang ini setiap hari bisa dinikmati, karena tersedia di sejumlah kios yang menjual makanan khas Jaton untuk oleh-oleh. Di pasar atau ada yang menjajakan jenang ini dari kampung ke kampung dengan harga Rp 2.500 per bungkusnya.

Selain jenang, biasanya ada wajik dengan bungkusan yang sama, dari daun woka muda.

Tradisi turun-temurun

Meskipun kelompok masyarakat Jaton terpisah oleh jarak yang jauh, mereka tetap memegang teguh tradisi lama yang diturunkan para Mbah mereka sejak awal abad XIX.

Di kampung Jawa, Tondano, Jumaydi Kholil juga bakayok di samping rumahnya. Ia membuat perapian dari 3 buah batu yang saling berdekatan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com