Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Jenang dan Tradisi Bakdo Ketupat Warga Jawa Tondano...

Kompas.com - 17/06/2018, 16:58 WIB
Rosyid A Azhar ,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.comJenang yang dimasak secara khusus adalah makanan yang paling banyak diburu masyarakat Gorontalo saat Bakdo Kupat (lebaran ketupat).

Seluruh keluarga suku Jawa Tondano (Jaton) di Desa Yosonegoro, Kaliyoso, Reksonegoro, Mulyonegoro dan Bandung Rejo, sejak kemarin menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk dimasak.

Jenang merupakan makanan Jawa yang dibawa para mbah (kakek), saat mereka diasingkan di tepi Danau Tondano, Minahasa, setelah Perang Diponegoro usai tahun 1830.

Kebiasaan membuat jenang ini terus diturunkan ke anak cucu meskipun istri mereka adalah wanita setempat yang tidak mengenal makanan ini sebelumnya.

Adaptasi dengan lingkungan di sekitar daerah Tonsea Lama dan Tondano membuat kombatan perang jawa ini kreatif. Mereka menyajikan jenang dengan bungkus daun woka (livistona).

Sehingga, jenang yang berwarna coklat kehitaman tidak lagi terlihat “seram”. Daun woka banyak ditemukan di sekitar ladang mereka, bahkan daun ini juga digunakan untuk keperluan lainnya oleh warga setempat.

Menghadapi bakdo kupat tahun ini, warga Jaton lebih bersemangat. Persiapan menyambut tamu dengan berbagai persediaan makanan sudah lama dilakukan.

Mereka telah menyimpan bahan-bahan atau menyisihkan uang untuk dibelanjakan saat bakdo kupat sudah dekat. Tidak hanya kaum wanita yang sibuk di dapur, kaum pria pun tidak kalah sibuk membantu pekerjaan dapur.

Baca juga: Bakdo Kupat, Simbol Persatuan Dalam Keragaman Masyarakat Jaton

Bagi warga Jaton, pria dan wanita sudah setara. Mereka sama-sama bekerja dan memasak untuk menyambut hari kegembiraan, bakdo kupat.

Mereka memasak jenang dulu sebelum yang lainnya, karena makanan ini bisa bertahan lama dan membutuhkan proses memasak yang tidak mudah.

“Hari ini kami memasak jenang untuk menyambut sanak saudara dan teman yang datang berkunjung pada bakdo kupat,” kata Muhlisa Nurkamiden, wanita beranak dua, warga Kaliyoso, Minggu (17/6/2018).

Proses pembuatan jenang

Dalam membuat jenang, masyarakat menggunakan tepung beras ketan (pulo), kelapa yang diambil santannya dan gula merah (pahangga). Bahan-bahan ini tersedia di pasar desa, sementara kelapa bisa memetik sendiri di kebun.

1 kg tepung membutuhkan santan dari 5-6 butir kelapa dan 2 kg gula merah. Gula merah yang tersedia di Gorontalo biasanya terbuat dari air nira buah aren yang dimasak secara tradisional di kebun warga.

Bakayok (mengaduk) jenang butuh waktu yang lama, perlu waktu 6-7 jam,” kata Idris Mertosono, tokoh masyarakat Yosonegoro, Kabupaten Gorontalo.

Alat pengaduk ini adalah batang kayu silar yang sudah tua dan kering. Ini berfungsi sebagai sendok untuk mengaduk adonan agar matang rata dan tidak hangus.

Adonan jenang yang lengket tidak mudah dibolak-balik oleh orang yang tidak berpengalaman, sebab persediaan tenaga bisa habis sebelum jenang matang. Kaum pria biasanya yang menjadi pengayok jenang.

Rumping besi (wajan) yang digunakan cukup besar untuk mengaduk jenang ini. Pengapian pun harus stabil sepanjang proses memasak jenang.

Yang unik dari jenang suku Jaton ini adalah cita rasa dan cara menyajikannya. Untuk rasa, masyarakat biasa mencampur dengan pisang tertentu agar memiliki rasa jenang bercampur rasa pisang.

Namun, tidak semua pisang bisa larut dan menyatu dalam adonan. Jika salah memasukkan jenis pisang, akan menggumpal dan tidak bisa disajikan untuk tamu.

Ada juga yang mencampur adonan jenang dengan durian untuk mendapatkan cita rasa durian yang memikat. Selain itu, tidak jarang mereka juga mencampur dengan butiran kacang atau kenari, untuk memberi tambahan cita rasa yang gurih.

Baca juga: Ribuan Masyarakat Jaton Hadiri Festival Seni Budaya Jawa Tondano

“Kalau ada tambahan kacang atau kenari, jenang tidak bisa tahan lama,” kata Nurain Thayeb, warga Tondano.

Jenang yang cita rasa buah dan kacang ini selalu menjadi buruan para pengunjung bakdo kupat di kampung-kampung yang dihuni orang Jaton.

Jenang yang sudah matang di rumping ini lalu dibungkus dengan daun woka. Woka adalah tanaman palem yang banyak tumbuh di kebun atau pinggiran hutan.

Bungkusan jenang dibuat memanjang dengan ikatan di bagian ujungnya. Karena daun woka muda yang berwarna putih kehijauann, membuat tampilan jenang semakin manis dan cantik. Mengundang selera siapa saja yang melihatnya.

Sebenarnya jenang ini setiap hari bisa dinikmati, karena tersedia di sejumlah kios yang menjual makanan khas Jaton untuk oleh-oleh. Di pasar atau ada yang menjajakan jenang ini dari kampung ke kampung dengan harga Rp 2.500 per bungkusnya.

Selain jenang, biasanya ada wajik dengan bungkusan yang sama, dari daun woka muda.

Tradisi turun-temurun

Meskipun kelompok masyarakat Jaton terpisah oleh jarak yang jauh, mereka tetap memegang teguh tradisi lama yang diturunkan para Mbah mereka sejak awal abad XIX.

Di kampung Jawa, Tondano, Jumaydi Kholil juga bakayok di samping rumahnya. Ia membuat perapian dari 3 buah batu yang saling berdekatan.

Rumping besi diletakkan di atasnya. Kayu yang disiapkan kemudian dibakar. Api menyala, memanasi bahan jenang hingga bergolak.

Makin lama, makin lengket adonannya, warna kecokelatan makin menua. Gelembung panas saling timbul di permukaannya sebelum akhirnya meletus.

Ia sendiri mengerjakan pembuatan jenang ini. Ia belanja berbagai bahan, 2 kg tepung ketan, 1 kg tepung beras, 10 butir kelapa dan 7 kg gula merah aren dalam satu kali proses memasak.

Bakayok sampai lelah, namun tidak boleh lengah, jenang bisa hangus,” ujar Jumaydi Kholil, bercanda.

Baca juga: Jenang Kudus Itu Sangat Potensial, Harus Go International

Jumaydi sebenarnya bukan orang Jaton asli, sebab kedua orangtuanya adalah orang jawa asli yang tinggal di kampung jawa. Namun, Jumaydi lahir besar di daerah ini sehingga semua kebiasaannya sudah sama dengan orang Jaton.

Warga Jaton yang berada di Tondano Minahasa, Sulawesi Utara, tetap memegang adat tradisi, demikian juga warga Jaton yang berada di Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Mereka bangga dengan tradisi yang diturunkan para leluhur mereka.

Simbol persatuan

Bakdo kupat telah melekat pada Suku Jaton. Sehingga, pada sepekan setelah Idul Fitri, perkampungan Jaton akan dipenuhi tetamu dari berbagai penjuru daerah.

Mereka akan merayakan bakdo kupat bersama-sama.

“Bakdo kupat sebenarnya lambang silaturahim, karena pada momen ini semua sanak saudara, kenalan, kerabat, datang ke kampung Jawa,” kata Nurain Thayeb.

Bahkan, tetamu yang datang tidak hanya orang Islam, tetapi yang beragama lain pun tumpah ruah merasakan berkah bakdo kupat.

Peristiwa ini merupakan fenomena sosial yang unik karena tidak ada sekat dan hambatan dalam berinteraksi. Semua orang dari berbagai agama dapat datang bersilaturahim, mereka bisa mengatasi masalah perbedaan.

Yang ada adalah semangat kebersamaan sebagai sesama anak bangsa. “Semua yang datang merayakan bakdo kupat adalah saudara saya, meskipun lain suku, lain agama,” ujar Idris Mertosono.

Bakdo kupat bukan sekadar makan dan minum setelah masyarakat Jaton mengerjakan puasa Syawal. Inti perayaan bakdo kupat justru pada kebersamaannya, saling menguatkan dan saling bantu sesama anak bangsa dalam menjalani kehidupan ini.

Baca juga: Kenapa Ada 17 Jenis Jenang pada Peringatan Ulang Tahun Solo?

Ikatan persaudaraan dalam peristiwa ini menghilangkan sekat primordial, yang ada hanya kebersamaan. Jika ada perbedaan atau kekurangan akan diselesaikan di meja makan, sajian menu dan keramahan khas orang Jaton diyakini meluruhkan sikap keras kepala.

“Menjalani hidup itu tidak mudah, namun juga jangan dibuat susah,” kata Idris Mertosono.

Usai menyantap makanan yang penuh cita rasa, tetamu yang hadir akan pulang dengan membawa buah tangan, biasanya nasi bulu (lemang) dan jenang khas Jaton yang memikat.

Keramahan dan keterbukaan menerima orang lain meskipun tidak dikenal adalah kelebihan orang Jaton. Siapapun yang datang akan diterima dengan tangan terbuka.

“Selamat merayakan bakdo kupat, mari bangun kebersamaan untuk menguatkan tekat membangun negeri ini,” kata Nurain Thayeb.

Kompas TV Acara pre-event festival Jenang digelar di koridor Ngarsopuro, Solo, Jawa Tengah dengan tema Jenang Nusantara. Di acara ini beragam jenang atau bubur dimasak oleh koki berpengalaman
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com