Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dusun Mlangi, Kampung Pesantren Tempat "Mondok" Pelajar Non Muslim

Kompas.com - 09/05/2018, 09:51 WIB
Wijaya Kusuma,
Farid Assifa

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Nama Dusun Mlangi di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menjadi populer pasca-insiden penghadangan pelari maraton karena masalah busana, meskipun peristiwa itu sebenarnya terjadi di Dusun Sawahan yang berdampingan dengan Mlangi.

Pasca-peristiwa itu, Mlangi oleh sebagian netizen dianggap kampung intoleran. Padahal, faktanya kampung pesantren tersebut menjadi rujukan studi Islam oleh para mahasiswa asing, pendeta hingga pastor.

Misalnya, pada 23 hingga 25 Juli 2017, pesantren di Mlang menjadi tempat belajar mahasiswa asing beragama katolik dalam rangkaian kegiatan forum teologi Asian Youth. Mereka belajar tentang sistem belajar di madrasah.

Para mahasiswa asing ini menginap di Pondok Pesantren (ponpes) Aswaja Nusantara yang diasuh Muhammad Mustafid. Mereka ingin merasakan suasana Kampung Mlangi yang merupakan situs agama Islam tertua di DI Yogyakarta.

Baca juga : Ketika Warga Asing Belajar Islam di Kampung Mlangi

 

Ponpes di Mlangi juga pernah kedatangan 16 pelajar dan mahasiswa asing dari Amerika Serikat (AS) pada Jumat (9/6/2017). Mereka tidur bersama santri tanpa selimut dan kasur, mencuci pakaian di sungai, memetik sayur di lahan milik ponpes, dan lainnya.

"Kami juga sering kedatangan pendeta dan pastor yang ingin belajar tentang Islam di pesantren kami," kata Mustafid, Selasa (8/5/2018).

Baca juga : Pesantren Ini Kerap Jadi Tempat Belajar Islam Toleran Pelajar Asing

Sejarah Dusun Mlangi

Dusun Mlangi berada di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, terletak di sebelah Barat Kota Yogyakarta. Dusun Mlangi merupakan salah satu pusat pondok pesantren yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Mustafid menceritakan, Dusun Mlangi didirikan oleh Kiai Nur Iman, kakak dari Hamungkubuwono I tetapi beda ibu.

"Kiai Nur Iman ini kakak Hamungkubuwono I tetapi beda ibu. Nah, sebenarnya Beliau yang bertakhta, tetapi diserahkan ke adiknya, Hamungkubuwono I," jelasnya saat dikunjungi Kompas.com, Selasa.

Pada perjanjian Giyanti tahun 1755, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Namun Kiai Nur Iman memilih untuk hidup di luar keraton, berbaur bersama masyarakat. Dia juga sekaligus melanjutkan perjuangannya dalam bidang kebudayaan, pendidikan pesantren, dan berdakwah.

"Kyai Kiai Iman tetap melanjutkan perjuangannya berdakwah di mana-mana, kemudian terakhir menetap di Mlangi ini," urainya.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Aswaja Nusantara , Muhammad Mustafid KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Aswaja Nusantara , Muhammad Mustafid

Hamungkubuwono I sebagai raja lantas memberikan tanah di Mlangi kepada Kiai Nur Iman dan statusnya sebagai daerah pendidikan. Setelah itu, pada tahun 1758 di Mlangi didirikan Masjid Pathok Negoro.

"Beliau (Kiai Nur Iman) mendirikan pesantren, tetapi waktu itu sebutanya Langgar," jelas alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini.

Seiring berjalanya waktu, hingga saat ini di Mlangi terdapat 17 pondok pesantren. Santri yang ada di Mlangi pun mencapai sekitar 1.500 sampai 2.000 orang. Para santri yang ada di Mlangi berasal dari berbagai wilayah di Indonesia.

"Poin pentingnya Kiai Nur Iman membawa Islam yang mengakomodasi tradisi lokal. Kami menyebutnya Islam yang rahmatan lil 'alamin. Dari situ, tidak mengherankan kalau terjadi banyak keragaman pemikiran, pendapat, sampai organisasi di Mlangi juga beragam, ada Muhammadiyah ada NU," jelasnya.

Islam Nusantara

Mlangi sebagai salah satu pusat pondok pesantren sering menerima kunjungan dari berbagai komunitas, pelajar, maupun mahasiswa beragama non muslim. Tak hanya dalam negeri, yang datang ke Mlangi bahkan ada dari mancanegara.

"Kita sering mendapat kunjungan ada dari mahasiswa Sanata Dharma, Seminari Tinggi Kentungan, SMA Kolese De Britto , UKDW, dari luar negeri itu Amerika, Asia dan ada juga antropolog dari luar negeri. Ya, seingat saya sudah lama, sekitar sejak 10 tahunan ini," jelasnya.

Baca juga : 8 Poin Kesepakatan terkait Insiden Penghadangan Pelari di Yogyakarta

Dijelaskannya, kebanyakan mereka tinggal di Mlangi selama beberapa hari. Selama di dusun pesantren ini, mereka diajak keliling melihat keseharian dan kehidupan warga serta santri, mengikuti kegiatan di pesantren hingga berdialog bersama, sehingga mereka mengetahui Islam Nusantara yang sebenarnya.

"Islam itu damai, Mereka ke sini ingin tahu langsung tentang Islam itu dari tangan pertama bukan lewat fakta mediatik. Islam yang toleran dan transformatif. Mereka tinggal di sini, ikut kegiatan pesantren, berkeliling Mlangi, lalu berdialog, sharing, mau bertanya apa saja oke," katanya.

Diceritakannya pada bulan puasa tahun kemarin, juga ada kunjungan dari para siswa nonmuslim yang berasal dari sekolah di Yogyakarta. Mereka tinggal di Mlangi sekaligus untuk melihat keseharian masyarakat dan santri pada bulan puasa.

"Mereka juga ingin ikut merasakan puasa, ada yang kuat, ada juga yang enggak kuat. Enggak kuat juga enggak apa-apa, kita sediakan (makan dan minum), itu biasa, tidak masalah," katanya.

Pelajar asal Amerika Serikat saat berdialog dengan santri pondok pesantren Aswaja Nusantara di Mlangi, Yogyakarta, belum lama ini.Dok Pesantren Aswaja Nusantara Pelajar asal Amerika Serikat saat berdialog dengan santri pondok pesantren Aswaja Nusantara di Mlangi, Yogyakarta, belum lama ini.

Warga Mlangi dan para santri pun menerima kunjungan dari non muslim dengan tangan terbuka. Bahkan tidak ada jarak dalam berinteraksi dan saat berdialog.

"Ketika ada kalangan non muslim yang berkunjung dan live in di Mlangi diterima dengan tangan terbuka, tidak ada jarak dan lain-lain. Saat ada riset tentang masa depan pluralisme di Yogyakarta, Mlangi menjadi salah satu sampelnya," ungkap Mustafid.

Baca juga : Warga yang Menghadang Pelari Maraton di DIY Siap Meminta Maaf

Lewat kunjungan dan dialog ini, Mustafid mengatakan, ia sekaligus ingin mengampanyekan bahwa Islam itu toleran sekaligus transformatif.

"Toleran itu sangat respek terhadap keragaman, transformatif itu menggerakan tranformasi sosial, struktur masyarakat yang berkeadilan," tandas mantan aktivis Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII) ini.

Kompas TV Mereka membentuk kelompok bernama Santri Militan Jokowi atau Samijo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com