Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Warga Asing Belajar Islam di Kampung Mlangi

Kompas.com - 24/07/2017, 16:03 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Seorang warga negara asing (WNA) asal Korea Selatan, Paul Hwang berdiskusi dengan seorang guru di Kampung Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Senin (24/7/2017).

Keduanya membicarakan sistem pendidikan di madrasah tsanawiyah (MTs) yang ada di tengah Kampung Mlangi tersebut. Paul tak sendiri, ia ditemani tujuh WNA lain yang ikut bersamanya. Ketujuh WNA itu pun terlibat aktif dalam diskusi dengan guru wanita tersebut.

Selain berdiskusi, mereka berinteraksi dengan siswa madrasah yang baru saja selesai mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM). Ada yang berbincang-bincang, bertanya, dan ada pula yang swafoto.

Delapan WNA itu tergabung dalam Asian Lay Leader Forum. Tak hanya dari Korea Selatan, WNA yang menemani Paul berasal dari Vietnam, China, Filipina, India, dan Pakistan. Selaku tuan rumah, Indonesia juga mengirimkan perwakilannya dalam kegiatan tersebut.

(Baca juga: Pesantren Ini Kerap Jadi Tempat Belajar Islam Toleran Pelajar Asing)

 

Kedatangan mereka ke madrasah itu hanya satu dari beberapa rangkaian kegiatan bernama Asian Youth Academy Asian Theology Forum Asian Youth selama tiga hari, mulai dari 23-25 Juli 2017.

Di Kampung Mlangi, mereka menginap di Pondok Pesantren (ponpes) Aswaja Nusantara. Ya, mereka ingin merasakan suasana Kampung Mlangi yang merupakan situs agama Islam tertua di DI Yogyakarta.

Ponpes ini juga pernah kedatangan 16 pelajar dan mahasiswa asing dari Amerika Serikat (AS) pada Jumat (9/6/2017). Mulai dari tidur bersama santri tanpa selimut dan kasur, mencuci pakaian di sungai, memetik sayur di lahan milik ponpes, dan lainnya.

Mereka pun harus bangun lebih awal menyesuaikan para santri yang sudah mulai beraktivitas sejak pukul 04.00 WIB.

“Mereka ke sini untuk life in ponpes sekaligus juga untuk mendiskusikan bagaimana para santri menghadapi neoliberalisme di fase mutakhir,” kata Muhammad Mustafid, pemilik Ponpes Aswaja Nusantara ketika berbincang dengan Kompas.com.

Mustafid mengungkapkan, WNA yang datang tersebut merupakan teolog sekaligus aktivis yang fokus terhadap persoalan yang dialami masyarakat marjinal akibat globalisasi dalam konteks ekonomi, pendidikan, dan lainnya.

(Baca juga: Khairul Ghazali, Mantan Teroris yang Tobat dan Mendirikan Pesantren)

 

Itulah mengapa kedatangan mereka ke Kampung Mlangi mengangkat tema Youth in Asia Suffering Neoliberalism.

“Mereka sangat antusias terhadap pesantren dan melihat ini sebagai satu institusi yang punya akar sosikultural yang kuat, kemudian punya kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat di sekitar dan santri berbagai daerah,” ucap Mustafid.

Mustafid mengatakan, WNA asing itu menganggap ponpes sebagai kekuatan sosial yang bisa mengurangi dampak negatif neoliberalisme. Bukan berarti antiglobal secara mutlak, namun ponpes dianggap bisa memblokade aspek perusak yang muncul akibat neoliberalisme.

“Bahwa dalam Islam punya elemen kritik sosial sekaligus kekuatan yang transformatif. Bahasa kami itu Almukhafadhoh ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Mempertahankan yang bagus dan mengambil yang baik. Kalau dalam teori sosial, berarti mengambil yang positif dan mereduksi atau mengurangi dampak yang negatif,” kata Mustafid.

Meliya Findi, pendamping anggota Asian Lay Leader Forum mengatakan, sembilan peserta yang datang ke ponpes itu merupakan remaja Katolik yang berasal dari berbagai negara di Asia. Menurutnya,total peserta kegiatan Asian Lay Leader di Indonesia mencapai 60 orang.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com