Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (3)

Kompas.com - 05/03/2018, 08:52 WIB
Taufiqurrahman,
Farid Assifa

Tim Redaksi

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Pendapa pemujaan Dewi Kwan Im di Vihara Avalokitesva di Dusun Candi Utara, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, hampir tiap malam dipenuhi penduduk untuk menonton pementasan wayang kulit.

Mereka berasal dari beberapa desa yang berdekatan dengan lokasi vihara. Pementasan wayang kulit menjadi salah satu hiburan rakyat, selain kesenian ludruk dan saronen di Madura. Warga yang menonton tidak hanya orang tua. Anak-anak juga biasanya ikut bersama dengan orangtuanya.

Tontonan berlangsung hingga larut malam untuk menuntaskan satu episode cerita wayang. Namun keramaian ini sekitar 30 tahun lalu. Kini tak ada lagi pemandangan serupa di vihara.

(Selengkapnya baca: Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (1))

Seingat Kosala, pementasan wayang Madura terakhir kali pada tahun 2010 silam di saat pagelaran budaya bertajuk Semalam di Madura. Saat itu, grup wayang satu-satunya di Madura itu banyak ditonton masyarakat Madura. Bahkan wisatawan mancanegara juga ikut menonton. Banyak orang heran karena ada pentas wayang berbahasa Madura.

"Ternyata di Madura ada wayang juga. Ini pertama saya melihatnya," tutur Kosala menirukan ucapan salah satu penonton waktu itu. Namun semenjak itu, tak pernah ada lagi pementasan wayang di Madura.

(Baca juga : Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (2))

Memasuki usia yang sudah senja, Ki Loncet (70), seorang dalang wayang kulit Madura ingin istirahat dari dunia pewayangan.

Dia sudah menemukan sosok pengganti dirinya, yakni Abdul Kadir (50) untuk tampil sebagai dalang bahasa Madura. Abdul Kadir yang sudah puluhan tahun ikut bersama Ki Loncet, dari satu pentas ke pentas yang lain, dianggap sudah mumpuni.

Namun, sebelum serah terima dilakukan, Abdul Kadir lebih awal meninggal dunia. Abdul Kadir baru sekali melakukan pementasan wayang di depan Ki Loncet, sehingga Ki Loncet harus bertahan menyandang status sebagai dalang bahasa Madura.

Sebulan setelah kematian Abdul Kadir, Ki Loncet kemudian menyusul mangkat ke alam nirwana.

Meninggalnya dua dalang yang hampir bersamaan itu menyebabkan Madura vakum dalang wayang kulit. Kekosongan dalang ini terjadi dalam kurun waktu dari tahun 2001 sampai 2003. Pentas wayang kulit Madura pun matu suri.

Novem Ali Sahos Sudirman (48), warga Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, merasa terpanggil untuk meneruskan warisan Ki Loncet, warga Desa Blumbungan, dan Abdul Kadir, ayah kandung Novem Ali Sahos Sudirman sendiri.

Sudirman ingin menjadi dalang meneruskan pekerjaan ayahnya. Tahun 2003, Sudirman masih berusia 33 tahun. Ia belajar siang malam secara otodidak. Sebab ia tidak pernah diwarisi apapun oleh ayahnya.

Satu-satunya pengalaman Sudirman dalam dunia wayang adalah hanya melihat ayahnya saat menjadi penabuh gamelan wayang.

“Waktu kecil, saya sering melihat ayah saya nabuh gending, memainkan gamelan saat pementasan wayang di Klenteng Wihara Avalokitesvara,” ucap Ki Sudirman, biasa ia dipanggil saat ditemui, Jumat (2/3/2018) malam di kediamannya.

Baca juga : Kisah Difabel Pengemudi Ojek Online, Penumpang Kerap Batalkan Pesanan Setelah Bertemu (1)

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com