Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sungkowo, Perajin Keris Generasi ke-17 Empu Kerajaan Majapahit

Kompas.com - 19/10/2017, 06:45 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis


Di tengah besalen, terdapat tungku yang disebut prapen. Prapen itu tersambung dengan pompa tradisional yang bernama ububan. Di samping prapen terdapat kolam air berukuran kecil yang disebut kowen.
 
“Semuanya masih tradisional. Karena hasilnya akan beda kalau alatnya diganti,” ucap Sungkowo.
 
Hampir setiap hari Sungkowo menempa keris.  Namun dalam sehari, ia belum tentu menyelesaikan sebilah keris. Menurut dia, proses pembuatan keris itu bisa menghabiskan waktu sekitar 30 hari sampai 40 hari.
 
“Karena menempa itu harus dilakukan berulang kali,” ucap Sungkowo. Setidaknya ada 53 tahapan dalam membuat satu keris. Tahapan itu mulai dari menyiapkan bahan (besi tua), berdoa, sampai mengoles minyak pada tubuh keris. "Untuk membuat Saton (besi yang sudah ditempa) saja membutuhkan waktu seminggu," kata dia.

Baca juga: Badik, antara Fakta dan Mitos
 
Tak hanya proses pembuatannya yang dilakukan berulang, Sungkowo harus mentaati pantangan. Menurut dia, ada hari-hari tertentu yang menjadi pantangan. Itu mengapa ia tak menempa atau membuat keris pada hari pantangan itu.
 
“Seperti kemarin Selasa Pahing (19 September 2017), saya libur. Baru hari ini saya menempa lagi,” kata Sungkowo.
 
Dalam pembuatannya, Sungkowo juga terkadang harus berpuasa dan menjalani ritual tertentu. Hal itu dilakukannya agar proses pembuatannya bisa berjalan dengan lancar. Selain itu, ia ingin menjaga nilai-nilai tradisi dan budaya nenek moyang yang diajarkan kepadanya.
 
“Menempa keris itu awalnya ya tidak luput dari ritual. Itu rangkaian yang harus dilakoni,” kata Sungkowo.
 
Sungkowo menambahkan, menempa itu juga harus dalam keadaan emosi yang stabil. Jika menempa dalam keadaan marah, kata dia, hasil keris tidak akan baik. Ia pun memiliki keyakinan jika menempa dalam keadaan marah itu bisa membuat celaka sang pembuatnya.
 
“Kalau emosi tidak baik, lebih baik saya libur sampai reda,” kata Sungkowo.
 
Hampir semua kalangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri mengapresiasi karya-karyanya. Keluarga Kraton pun masih ada yang memintanya untuk membuatkan keris khusus.
 
Adapun setiap karyanya memiliki harga yang bervariasi, mulai dari jutaan sampai puluhan juta. Hal itu tergantung dari tingkat kesulitan pembuatan kerisnya atau bisa dilihat dari jenis pamor (motif).
 
“Ada ratusan pamor. Pamor ini disesuiakan dengan keinginan atau karakter pemesan,” tutur Sungkowo. “Misalnya beras wutah (beras tumpah), itu biasanya dipakai petani. Beras wutah itu memiliki makna kesejahteraan,” ucapnya menambahkan.
 
Generasi terakhir Empu Tumenggung Supadriyo
 
Meski sebagai keturunan empu pada masa Kerajaan Majapahit, keberadaannya di Yogyakarta bukan tanpa sebab. Ia menceritakan jika keturunan Empu Tumenggung Supadriyo itu sempat melayani pembuatan keris sejumlah kerajaan besar di Pulau Jawa.
 
“Keluarga kami juga pernah menjadi empu di Kerajaan Mataram,” kata Sungkowo.
 
Setelah Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, keturunan Empu Tumenggung Supadriyo ke-11 hijrah ke Yogyakarta atau tepatnya di daerah Ngento-ngento, Kecamatan Moyudan. Dipilihnya daerah Ngento-ngento itu lantaran dengan dengan cikal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu di Ambarketawang, Kecamatan Gamping.
 
“Waktu rajanya Mangkubumi pertama, empunya ada tiga, yaitu dari Ngento-ngento, Balangan dan Cebongan,” kata Sungkowo.
 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com