YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Di sebuah bangunan berukuran 6x4 meter yang disebut besalen, tiga pria tengah menempa besi. Masing-masing pria yang berusia di atas 40 tahun itu terlihat mengenakan koko hitam, namun satu di antaranya terlihat memakai ikat di kepalanya.
Pria dengan ikat di kepalanya itu bernama Sungkowo Harumbrojo. Pria berusia 63 tahun ini bukan lah seorang pandai besi biasa, melainkan seorang empu. Ia juga diketahui sebagai generasi ke-17 dari Empu Supadriyo, perajin keris dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14.
Sungkowo adalah putra dari Empu Djeno Harumbrodjo. Empu Djeno sendiri dikenal sebagai perajin keris ternama di DI Yogyakarta. Salah satu karyanya pun dimiliki Sultan Hamengkubuwono IX.
Meski memiliki darah keturunan empu, gelar itu tak serta merta didapatkan Sungkowo begitu saja. Gelar itu didapatkannya setelah menekuni profesi sebagai perajin keris. Ia mulai serius menekuni profesi sebagai empu itu sejak 1995.
"Waktu itu saya baru mulai menempa," kata Sungkowo ketika berbincang dengan Kompas.com di besalen atau bengkel pandai besi miliknya di Dusun Gatak, Desa Sumberagung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, Rabu (20/9/2017).
Sebelum menempa, Sungkowo mengaku bekerja di balai batik. Meski memiliki pekerjaan lain, dia tetap membantu Empu Djeno ketika sedang membuat keris. Kala itu dia hanya bertugas sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Tugasnya, yaitu menempa besi panas sesuai perintah empu, mengatur bara api, membantu proses pengikiran keris, dan lainnya.
"Selama menjadi panjak, selama itu saya terus diberi bimbingan," kata Sungkowo.
"Sebenarnya saya sudah bantu bapak itu sejak tahun 70-an," tambahnya.
Sungkowo mulai menjadi secara utuh pada 2006 setelah ayahnya mangkat. Ia pun terus berkarya sampai saat ini untuk meneruskan jejak ayahnya. Selama berkarya ia sendiri telah menghasilkan sejumlah keris.
“Jumlah pastinya saya lupa, tapi sudah ratusan,” kata Sungkowo.
Sebagai perajin keris, Sungkowo membuatnya dengan menggunakan perkakas yang ditinggalkan ayahnya yang tersimpan di besalen. Di besalen sendiri terdapat sejumlah perlatan kerja seperti kikir, palu berbagai macam ukuran, gergaji besi, pencapit besi, dan peralatan menempa lainnya.
Baca juga: Badik, antara Fakta dan Mitos
Tak hanya proses pembuatannya yang dilakukan berulang, Sungkowo harus mentaati pantangan. Menurut dia, ada hari-hari tertentu yang menjadi pantangan. Itu mengapa ia tak menempa atau membuat keris pada hari pantangan itu.
“Seperti kemarin Selasa Pahing (19 September 2017), saya libur. Baru hari ini saya menempa lagi,” kata Sungkowo.
Dalam pembuatannya, Sungkowo juga terkadang harus berpuasa dan menjalani ritual tertentu. Hal itu dilakukannya agar proses pembuatannya bisa berjalan dengan lancar. Selain itu, ia ingin menjaga nilai-nilai tradisi dan budaya nenek moyang yang diajarkan kepadanya.
“Menempa keris itu awalnya ya tidak luput dari ritual. Itu rangkaian yang harus dilakoni,” kata Sungkowo.
Sungkowo menambahkan, menempa itu juga harus dalam keadaan emosi yang stabil. Jika menempa dalam keadaan marah, kata dia, hasil keris tidak akan baik. Ia pun memiliki keyakinan jika menempa dalam keadaan marah itu bisa membuat celaka sang pembuatnya.
“Kalau emosi tidak baik, lebih baik saya libur sampai reda,” kata Sungkowo.
Hampir semua kalangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri mengapresiasi karya-karyanya. Keluarga Kraton pun masih ada yang memintanya untuk membuatkan keris khusus.
Adapun setiap karyanya memiliki harga yang bervariasi, mulai dari jutaan sampai puluhan juta. Hal itu tergantung dari tingkat kesulitan pembuatan kerisnya atau bisa dilihat dari jenis pamor (motif).
“Ada ratusan pamor. Pamor ini disesuiakan dengan keinginan atau karakter pemesan,” tutur Sungkowo. “Misalnya beras wutah (beras tumpah), itu biasanya dipakai petani. Beras wutah itu memiliki makna kesejahteraan,” ucapnya menambahkan.
Generasi terakhir Empu Tumenggung Supadriyo
Meski sebagai keturunan empu pada masa Kerajaan Majapahit, keberadaannya di Yogyakarta bukan tanpa sebab. Ia menceritakan jika keturunan Empu Tumenggung Supadriyo itu sempat melayani pembuatan keris sejumlah kerajaan besar di Pulau Jawa.
“Keluarga kami juga pernah menjadi empu di Kerajaan Mataram,” kata Sungkowo.
Setelah Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah, keturunan Empu Tumenggung Supadriyo ke-11 hijrah ke Yogyakarta atau tepatnya di daerah Ngento-ngento, Kecamatan Moyudan. Dipilihnya daerah Ngento-ngento itu lantaran dengan dengan cikal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu di Ambarketawang, Kecamatan Gamping.
“Waktu rajanya Mangkubumi pertama, empunya ada tiga, yaitu dari Ngento-ngento, Balangan dan Cebongan,” kata Sungkowo.
Baca juga: Rencong, dari Simbol Kewibawaan Menjadi Cendera Mata
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.