MADIUN, KOMPAS.com - Pasangan suami istri, Dimas Kurniawan dan Yati Maryati mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri Kota Madiun. Mereka menuntut jaksa penuntut umum mengajukan kasasi menyusul putusan hakim yang memvonis bebas pencabul anaknya.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Madiun memvonis bebas terdakwa pencabulan anak TK, SF (5), Bayu Samodra Wijaya (21), Senin (10/4/2017) kemarin. Vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yakni tujuh tahun penjara.
"Kami sangat kecewa dengan keputusan hakim yang membebaskan terdakwa pencabul anak kami. Padahal semua fakta-fakta di persidangan sudah kuat semua," ujar Dimas, ayah korban di Kantor Kejari Madiun Kota, Kamis (13/4/2017) .
(Baca juga: Cabuli Anak TK, Seorang Mahasiswa di Madiun Diancam 15 Tahun Penjara)
Tak hanya suami istri tersebut yang datang ke Kejari, anak korban pencabulan, SF pun hadir di Kejari. Mereka diterima Jaksa Penuntut Umum, Rini Suwandari.
Menurut Dimas, kedatanganya untuk meminta kejelasan sikap jaksa Kejari Madiun Kota terkait putusan bebas majelis hakim. "Kami ingin kejelasan apa yang dilakukan jaksa setelah putusan bebas itu. Kami ingin jaksa kasasi terhadap putusan itu," ungkap Dimas.
Senada dengan Dimas, istrinya, Yati Maryati mengaku sangat terpukul dengan putusan majelis hakim. Ia tak banyak berkomentar dan menyerahkan semua urusan kasus itu kepada suaminya.
Dalam pertemuan itu, Yati tampak terpukul. Ia enggan mengomentari putusan hakim yang membebaskan terdakwa pencabul anaknya. "Lebih baik saya tidak berkomentar daripada saya nanti emosi," ujar Yati sambil menyeka air matanya.
(Baca juga: Oknum Mahasiswa Tersangka Pencabulan Anak TK Akhirnya Ditahan)
Kepala Seksi Pidana Umum selaku Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum, Hambaliyanto mengatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Kami akan kasasi. Kami masih memiliki waktu dua minggu untuk menyusun kasasi," ucap Hambaliyanto, Kamis (13/4/2017).
Hambali mengaku kecewa dengan putusan hakim. Hakim berdalih, vonis bebas diberikan karena keterangan tiga saksi termasuk korban tidak bisa menjadi alat bukti.
"Mereka (hakim) tidak menganggap keterangan saksi korban dan teman-teman korban sebagai alat bukti karena katanya masih anak-anak," kata Hambali.
Seharusnya, sambung Hambali, hakim tetap mempertimbangkan kesaksian yang disampaikan sesuai dengan alat bukti lain, meskipun saksinya masih anak-anak.
"Masa korban anak tidak dianggap sebagai alat bukti. Kalau begitu semua korban anak-anak itu bebas diapain aja," tuturnya.
Tak hanya itu, majelis hakim menilai, psikolog yang dijadikan saksi ahli oleh tim jaksa penuntut umum bukanlah ahli. Kondisi itu menjadikan alat bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa berkurang.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.