Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekali-sekalinya, Pontang-panting Demi "Susi Air"...

Kompas.com - 10/12/2014, 06:26 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

Namun, kata Kirsing, situasi saat itu masih "panas" terkait saling gertak konfrontasi dengan Malaysia. Beredar cerita pada waktu itu, setiap kali pasukan gurkha--tentara bayaran yang rata-rata berasal dari kawasan Asia Selatan--hendak menyerang desa, maka yang pertama dihancurkan adalah lapangan terbangnya.

Sebagai salah satu negara jajahan Inggris--yang tetap "dipersatukan" dengan aliansi persemakmuran--Malaysia dibantu pasukan bayaran tersebut yang menginduk ke tentara Kerajaan Inggris. "Akhirnya bandaranya dibangun di sini, yang lebih jauh dari desa," ujar Kirsing.

Sembari mengobrol, langkah kaki kami perlahan mendekati akhir bagian jalan setapak yang datar. Di depan kami, tinggal "tersisa" kelanjutan jalan setapak yang terjal. Sejauh mata memandang, ujung jalan setapak tak terlihat di ketinggiannya.

Tetap berusaha berjalan biasa, kami mengira-ngira, jalan setapak menanjak ini tak kurang dari 50 meter jauhnya. "Mau saya bawakan tasnya?" tawar Kirsing seolah bisa menebak isi pikiran kami. Tentu saja kami tolak.

Kami tidak tahu apa yang menanti di depan, ternyata. Gengsi kami menerima tawaran Kirisn, berbayar mahal. Ketika Kirsing tetap nyerocos bercerita sepanjang jalan menanjak, kami hanya mendengarnya sekilas karena lebih sibuk mengatur napas dan langkah.

Saat Kirisng menunjuk ke sebuah pohon besar di sisi jalan setapak, kami bahkan sama sekali tak menanggapinya. Padahal, Kirsing sedang bercerita bahwa beruang hitam sering mendatangi pohon itu untuk mencari buah. "Hosh.. hosh.. hosh..," cuma itu reaksi kami, atau tepatnya "jawaban" dari pernafasan kami.

Kabar tambahannya, jalan setapak menanjak ini ternyata tak cuma 50 meter jauhnya.

Tanjakan berikutnya

Sudah berjalan 15 menit, jalan setapak menanjak ini sampai di bagian puncaknya. Lega. Kirsing gagal menutupi senyum melihat kami kesulitan mengatur napas dengan bulir-bulir keringat sebesar jagung di wajah.

Tiga menit, kami sejenak istirahat. Perjalanan berlanjut sejauh sekitar 100 meter, dengan permukaan jalan setapak cukup bersahabat dengan pernapasan "anak kota" seperti kami.

Namun, tak urung kami merutuk dalam hati. Ternyata, tanjakan yang tak kalah terjal dan panjang seperti sebelumnya kembali menghampar di depan mata. Padahal, jam tangan di pergelangan menunjukkan waktu sudah pukul 09.35 Wita.

Diawali tarikan napas panjang, kami bulatkan tekad melangkah lagi. Tas dan segala perlengkapan tetap kami sandang sendiri, terlanjur termakan gengsi. Kali ini kami paksakan kaki melangkah lebih cepat, mengingat penunjuk waktu yang tak melambat "mengasihani" kami.

Kirsing mengikuti percepatan langkah kami dengan tenang. Napasnya tetap teratur, keringat pun terlihat lebih wajar di wajahnya.

"Nah, ini jalan yang tembus ke desa," tiba-tiba sela Kirsing sembari membelah alang-alang yang menghalangi setapak di baliknya. "Tapi orang desa juga sudah jarang lewat sini. Mereka memilih naik ketinting, lebih cepat."

Atas nama napas tersengal, kami masih tak sanggup menanggapi cerita Kirsing. Masih dua kali tanjakan lagi yang harus kami lewati, dengan kondisi napas dan langkah kaki yang tak jauh beda, tentu saja. Namun, masih ada jalan setapak datar yang tak pendek sesudahnya, untuk membawa kami tiba di lapangan terbang desa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com