Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/11/2014, 12:02 WIB

KOMPAS.com
- Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang mampu membatasi kebutuhan. Dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan. (Epikuros, 342-270 SM)

Korup dan boros. Kedua kata itu kini tersemat kepada Riau, provinsi yang dikenal sebagai pusat budaya Melayu. Korup adalah fakta yang tidak terbantahkan.

Tiga gubernur di provinsi itu, setelah masa reformasi 1998, yakni Saleh Djasit (1998-2003), Rusli Zainal (2003-2013), dan Annas Maamun (2014), dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tahun 2010, Transparency International Indonesia menyematkan gelar kota terkorup di negeri ini kepada Pekanbaru, ibu kota Riau.

Perilaku korup itu tak hanya menjangkiti pejabat di tingkat provinsi, tetapi juga menyusup ke segala lini. Bupati/wali kota menjadi raja kecil di daerah, serta pejabat lain terlibat dalam kasus memperkaya diri sendiri, keluarga, dan orang dekatnya.

Azmi Rozali, mahasiswa doktoral di Universitas Nasional, mencatat ada 68 kasus korupsi yang melibatkan petinggi (eksekutif dan legislatif) di seluruh Riau. Selain gubernur, ada lima bupati, dari 12 kabupaten/kota di Riau, yang diadili karena terbelit korupsi. Mereka adalah Bupati Pelalawan Azmun Jaafar, Bupati Kampar Burhanudin, Bupati Siak Arwin AS, Bupati Indragiri Hulu Thamsir Rahman, dan Bupati Rokan Hulu Ramlan Zas. Wakil Bupati Pelalawan Marwan Ibrahim kini diadili terkait dugaan korupsi pengadaan lahan perkantoran.

”Dari 68 kasus korupsi itu, jumlah terdakwanya lebih dari 200 orang. Seperti kasus suap terkait Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012, tersangkanya belasan orang. Kasus korupsi penyalahgunaan izin kehutanan paling banyak menjerat kepala daerah, yakni tiga bupati dan seorang gubernur,” ujar Azmi.

Korupsi kini marak di Riau, diduga karena di provinsi berjuluk ”Lancang Kuning” itu nyaris tidak ada teladan kesederhanaan dari pemimpinnya.

Status duniawi

Dalam istilah Al Azhar, Ketua Lembaga Adat Melayu Riau, pejabat kerap memersonifikasi jabatannya dengan sifat kebendaan duniawi. Apa yang melekat dengan diri pejabat harus bisa meningkatkan status keduniawian, baik dalam bentuk kendaraan, rumah, pakaian, maupun bentuk lain.

”Kepemimpinan di Riau tidak lagi memiliki konsep kesederhanaan. Lebih dominan nafsu duniawi. Padahal, ada konsep wasathiyah yang diadopsi oleh budaya Melayu, yang berarti patut atau sederhana. Pejabat kini mengalami kemakmuran material, tetapi keropos moralnya. Mereka sebagian besar sarjana, tetapi gelar pendidikan tinggi tidak mampu membentuk karakter manusia yang baik,” katanya.

Gambaran dari Al Azhar itu tecermin dalam keseharian di Riau. Begitu seseorang menjabat kepala daerah, umumnya yang pertama dilakukan adalah membeli mobil dinas mewah seharga miliaran rupiah. Sepuluh dari
13 kepala daerah di Riau memiliki mobil dinas berharga di atas Rp 1 miliar.

Wardan, Bupati Indragiri Hilir yang dilantik tahun lalu, kini mengendarai mobil Land Cruiser terbaru seharga Rp 2 miliar. Padahal, kondisi mobil Land Cruiser bupati sebelumnya, Indra Muklis Adnan, masih bagus. Sebaliknya, kondisi jalanan di Indragiri Hilir boleh dikatakan yang terburuk di seantero Riau.

Ketika enam kabupaten/kota di Riau dimekarkan awal tahun 2000, prioritas yang dilakukan kepala daerah adalah membangun kompleks perkantoran dan rumah dinas mewah untuk dirinya. Wali Kota Pekanbaru Firdaus, misalnya, tak merasa bersalah membangun sebuah tenda di halaman rumah dinasnya seharga Rp 2 miliar. Ketua DPRD Riau pun tersenyum mengendarai dua mobil dinas senilai Rp 4,9 miliar.

Segala bentuk kemewahan bagi kepala daerah itu akhirnya menjadi virus yang merasuk ke seluruh sel dan sendi kehidupan pejabat dan pegawai. Pejabat berlomba-lomba mencari kekayaan dengan segala cara. Wakil rakyat yang semestinya menjadi pengawas pemerintahan justru mencemplungkan diri mengambil kesempatan pula.

Kepolisian dan kejaksaan di Riau pun tidak kalah mewah. Lihatlah pelataran Jalan Gajah Mada, Jalan Cut Nyak Din, Jalan Kartini, dan Jalan Sumatera di Pekanbaru yang setiap pagi dipenuhi ratusan mobil penegak hukum itu.

Anggaran dalam APBD lebih banyak untuk belanja pegawai, dengan segala macam bonus dan penghargaan yang tak jelas kriterianya. Program besar lain adalah pembangunan fisik yang kurang bermanfaat bagi rakyat. Gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau di Pekanbaru, misalnya, dibangun dengan biaya Rp 12 miliar. Padahal, gedung itu tak lebih luas dari 400 meter persegi.

Anggaran untuk kesejahteraan rakyat tak jelas pertanggungjawabannya. Jumlah warga miskin di Riau tak berkurang, yakni sampai September 2013 mencapai 522.530 orang, bertambah jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 481.300 orang. Di lapangan, jumlah warga miskin itu diyakini jauh lebih besar. Padahal, dalam lima tahun terakhir, APBD Riau bertambah lebih dari Rp 4 triliun. Peningkatan jumlah orang miskin tak sebanding dengan tingginya APBD Riau dan kabupaten/kota di provinsi itu.

Pada awal reformasi, Kabupaten Bengkalis, misalnya, memiliki APBD Rp 300 miliar. Kini sang induk yang sudah dipecah menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Meranti memiliki APBD sebesar Rp 4 triliun lebih. Namun, warga Kecamatan Bantan, Bengkalis, masih tetap miskin, tidak berubah, tetap hidup miskin. (Syahnan Rangkuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com