SEMARANG, KOMPAS.com - Selepas subuh, puluhan anak-anak berbaris di depan rumah Ketua RW 01 Pedurungan Tengah, Wasidarono untuk mengantri berebut berkah dari ketupat dengan bentuk unik dan sedekah uang.
Ini merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakukan warga Pedurungan, Kota Semarang, Jawa Tengah sejak 1950-an.
Dengan dibagikannya ketupat ini untuk anak-anak dalam tradisi syawalan di pekan kedua bulan Syawwal, tanda perayaan Idul Fitri berakhir.
Menurut Imam Masjid Roudhotul Muttaqin, Munawir, tradisi ini adalah tanda berakhirnya puasa sunah di awal Syawwal selama 6 hari, lalu dilanjutkan tradisi syawalan.
Baca juga: Ajang Silaturahmi, Pacuan Kuda Jadi Tradisi Warga Kebumen Saat Lebaran
"Tradisi syawalan ini disebut juga lebaran anak-anak untuk kampung sini, karena lebaran sudah berakhir," tutur Munawir yang memimpin trdisi di Jaten Cilik Jalan Taman Tlogo Mulyo I Kelurahan Pedurungan Tengah, Kecamatan Pedurungan.
Selepas subuh sekitar pukul 05.00 WIB, puluhan anak-anak telah bersiap rapi di masjid atau mushola di kawasan itu dengan membawa kantong plastik atau tas.
Tradisi syawalan dibuka dengan doa.
Setelah itu, mereka mulai berbaris mengular untuk mendapat ketupat unik tersebut dan uang sedekah lebaran mulai dari masjid, kemudian berkeliling rumah warga yang melakukan open house.
Warga mengenalnya dengan nama ketupat jembut. Ketupat ini sebenarnya sama seperti ketupat pada umumnya.
Hanya saja, kata Munawir, di dalam ketupat diisi berbagai sayuran seperti tauge, kubis, hingga parutan kelapa yang sudah dibumbui atau urap.
Ketupat ini pun bisa langsung disantap karena dilengkapi sayuran.
"Lalu sebagai tanda kita sudah saling memaafkan, melepaskan jabatan tangan dengan ditandai dibelahnya ketupat di tengahnya. Karena ketupat itu sebagai simbol jabatan tangan dan dibelah di tengahnya itu sebagai tanda berakhirnya hari raya Idul Fitri," jelas Munawir di lokasi.
Meski namanya cukup nyeleneh, makanan ini memiliki makna mendalam, yaitu perjuangan untuk saling memaafkan antar sesama dan terus menjaga silaturahmi.
Menurut Ketua RW 01 Pedurungan Tengah, Wasidarono, penamaan ketupat ini dipilih pendahulu agar mudah diingat oleh masyarakat setempat tanpa maksud tertentu.
"Peninggalan budaya orang tua enggak boleh ditinggalkan. Dulu bancakannya cuma sedikit, 5-10 rumah. Tahunya orang tua menyiapkan bancakan buat anak-anak kecil. Tradisi ini dipertahankan turun temurun beberapa generasi," kata Wasidarono usai membagikan ketupat di depan rumahnya.