Tim Kompas.com akan melakukan Tapak Tilas 208 Tahun Letusan Tambora untuk menelusuri jejak letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Nantikan persembahan tulisan berseri kami tentang dampak dahsyatnya letusan besar Tambora pada 10 April 1815.
DOMPU, KOMPAS.com - Adalah pada waktu tengah malam. Meletuplah bunyi seperti meriam. Habislah terkejut sekalian alam. Serasa dunia bagaikan karam.
Waktu subuh fajar pun merekah. Dunia diturunkan Allah bala celaka. Sekalian orang habislah duka. Bertangis-tangisan segala mereka.
Bunyi bahananya sangat berjabuh. Ditempuh air timpa habu. Berteriak memanggil anak dan ibu. Disangkanya dunia menjadi kelabu.
Demikian Khatib Lukman, 1830, dalam Syair Kesultanan Bima mengisahkan 'kiamat' Tambora April 1815 silam.
Baca juga: Mengenal Gunung Tambora yang Letusannya Membuat Dunia Merasakan Tahun Tanpa Musim Panas
Beberapa kutipan syair yang dipublikasikan oleh Henri Chambert Loir dalam bukunya yang berjudul Kerajaan Bima Dalam Sastra dan Sejarah itu seolah memberi gambaran betapa hebatnya letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dengan skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI), letusan gunung ini tercatat sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah manusia.
Skala letusannya empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Energinya disebut-sebut 170.000 kali lebih besar dari ledakan bom atom di Hiroshima di tahun 1945.
Baca juga: 4 Jalur Pendakian Gunung Tambora NTB Dibuka, Catat Syarat Mendakinya
Sementara dentumannya terdengar sampai ke Batavia (Jakarta), Makassar, Ternate, dan Bangka Belitung yang jaraknya mencapai 2.600 kilometer.
Jauh sebelum menggetarkan dunia pada 10 April 1815 malam, Gunung Tambora di Semenanjung Sanggar ini menjulang sempurna dengan ketinggian sekitar 4.300 meter di atas permukaan laut (MDPL).
Setelah menggelegak tiga hari berturut-turut yakni 10-13 April 1815, sepertiga tubuhnya runtuh. Kini tingginya hanya tersisa sekitar 2.851 MDPL dengan lubang kaldera sedalam 1,4 kilometer.
"Letusan Gunung Tambora 1815 itu menjadi letusan terdahsyat sepanjang sejarah, sampai saat ini masih terekam dengan baik. Skalanya 7 VEI, itu sama dengan skala letusan Samalas atau Gunung Rinjani di Pulau Lombok. Namun, karena Rinjani gunung api purba yang ribuan tahun lalu meletus sejarahnya tidak terekam dengan baik," kata Kepala Balai Taman Nasional Gunung Tambora (TNGT), Deny Rahadi.
Baca juga: Fakta Bersejarah Letusan Tambora, Iklim Dunia Berubah hingga Napoleon Kalah Perang
Dalam catatan sejarah, letusan Gunung Tambora mengakibatkan terjadinya darurat iklim selama beberapa tahun. Benua Eropa dan Amerika misalnya, tidak mengalami pergantian musim selama kurang lebih tiga tahun, sehingga terjadi kelaparan yang mengakibatkan ribuan jiwa meninggal.
Gillen D'Arcy dalam bukunya yang berjudul Tambora, Letusan Raksasa Dari Indonesia, lanjut Deny Rahadi, juga mengemukakan fakta bahwa tiga tahun setelah letusan tersebut hampir di mana pun hidup berarti lapar. Orang Jerman saat itu menyebut 1817 adalah 'Tahun Pengemis'.
Selain itu, kekalahan Napoleon Bonaparte di Palagan Waterloo juga disebut sebagai dampak tidak langsung dari letusan Gunung Tambora, 1815.